Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kekayaan Hutan Tropis dan Masalah Kebun Sawit

Mochamad Indrawan, peneliti Pusat Riset Perubahan Iklim FMIPA UI, memaparkan kekayaan hutan tropis yang tak bisa dibandingkan dengan kebun sawit di hutan.

18 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Belakangan ini muncul wacana kebun sawit sebagai “hutan terdegradasi”.

  • Hutan tropis kaya akan keanekaragaman hayati dan punya sistem yang khas.

  • Sawit adalah tanaman perkebunan, bukan tumbuhan hutan.

Mochamad Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Pusat Riset Perubahan Iklim FMIPA Universitas Indonesia dan pegiat Yayasan KEHATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Belakangan ini muncul wacana bahwa kebun atau tanaman sawit dapat dipandang sebagai “hutan terdegradasi” oleh sekelompok pekebun atau pengusaha sawit dan akademikus. Sayangnya, tidak ada kajian ilmiah ataupun penelaahan sejawat yang dapat mendukung asumsi tersebut.

Perbedaan antara “hutan” (ekosistem) alami dan kebun sawit tentu perlu kita cermati secara ilmiah. Kebijakan pun perlu dihasilkan berdasarkan kajian-kajian ilmiah.

Dari sudut ekologi, hutan alami memiliki berbagai ciri khas dan rentan terhadap gangguan manusia. Struktur dan fungsi hutan tropis humida sangat kaya dan rumit dengan berbagai interaksi. Karakter hutan tropis humida tidak dapat disamakan dengan hutan tanaman mana pun, apalagi yang hanya ditanami satu spesies (monokultur), seperti sawit atau akasia.

Hutan Tropis Humida

Keunikan hutan tropis humida dibentuk oleh banyak aspek ekologi. Aspek itu, antara lain, adalah struktur hutan, dinamika dan keseimbangan ekosistem, keanekaragaman hayati, siklus hara dan air, kerentanan tanah, iklim mikro, serta hubungan timbal balik dengan masyarakat tradisional.

Hutan ini disusun oleh berbagai bentuk tumbuhan, seperti pohon, terna (herba), liana (pemanjat), pencekik, epifit (penempel), saprofit (pengurai), dan parasit (Raunkier, 1934; Richards, 1956). Mereka saling mengisi dan memperkokoh struktur hutan. Empat hingga lima lapisan vegetasi berlomba untuk memanfaatkan cahaya matahari. Adapun kelompok spesies tertentu, yang hidup sebagai pencinta teduhan, lebih suka hidup di bawah bayangan pepohonan besar dan kecil.

Lapisan vegetasi paling atas adalah tajuk puncak, yang setinggi 60 meter atau lebih, sehingga tajuk mereka tidak bersentuhan lagi. Tudung dan tajuk puncak adalah dunia yang masih belum banyak kita ketahui serta menyimpan mikrokosmos tumbuhan dan satwa sendiri. Entah berapa ribu tumbuhan penempel dan pemanjat serta serangga kecil hidup di sana.

Berbagai unsur hutan akan menghadapi dinamika alam. Pohon akan mengalami gangguan, seperti penuaan atau tersambar petir, sehingga tumbang dan membentuk rumpang. Rumpang akan memberikan kesempatan spesies lain berkecambah sehingga terjadi pergantian spesies secara berurutan. Inilah proses yang dikenal sebagai “suksesi”, pertumbuhan ekosistem yang hanya dapat dilakukan oleh alam. Salah satu yang menakjubkan dalam lapisan udara hingga lantai hutan adalah fenomena “hujan benih”, yakni jatuhnya benih-benih di hutan; dan “bank benih”, yaitu beragam spesies tumbuhan yang dorman atau tertidur di tanah.

Hutan ini mengandung keanekaragaman flora dan fauna serta interaksi super-rumit di antara penyusun-penyusunnya. Suatu studi pengukuran hutan alami di Jambi mengungkapkan bahwa di setiap 200 meter persegi plot dapat ditemukan 180-190 spesies tumbuhan berbiji (Gillison, 2000; Beukema, 2007).

Interaksi antarspesies sering kali tidak dapat tergantikan. Misalnya, rangkong (Bucerotidae) menyebarkan biji beringin hutan. Beringin itu berbunga sepanjang tahun sehingga menjadi penunjang utama komunitas pemakan buah. Macan Jawa (Panthera pardus melas) memastikan keseimbangan dan kesehatan berbagai spesies satwa di hutan-hutan Pulau Jawa. Bahkan lebah hutan (Apidae) terbukti berperan penting dalam menyerbuk tanaman kopi di sekitar hutan alami.

Hutan ini memiliki siklus biologi, geologi, dan kimia yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem melalui mekanisme superkompleks. Melalui berbagai siklus alami, karbon dan berbagai unsur hara digerakkan melalui lingkaran-lingkaran proses, baik di tanah, udara, maupun kehidupan yang menggerakkan seluruh kehidupan ekosistem hutan.

Di antara berbagai unsur hara, yang mutlak dibutuhkan tumbuhan adalah nitrogen, fosfor, dan sulfur. Terurainya mereka sangat dipengaruhi jasad renik yang sangat aktif di permukaan dan bawah tanah serta sering kali hanya beradaptasi dengan ekosistem alami yang khas (MCGroddy & Silver, 2011).

Siklus air dan luruhan daun merupakan pendorong penting bagi perputaran hara. Begitu banyak proses yang terjadi, seperti penguapan, transpirasi (perjalanan air di dalam tubuh tumbuhan), kondensasi, presipitasi, dan air mengalir. Semuanya mewujudkan keseimbangan alami.

Tanpa tutupan hutan alami dengan strukturnya yang berlapis-lapis, berbagai tipe tanah di Indonesia pada umumnya miskin hara. Tingginya curah hujan dan suhu panas menyebabkan erosi cepat, pelapukan kimia, dan pencucian hara.

Pemiskinan hara dapat dicegah dengan siklus hutan, yakni ketika tumbuhan mati dan terurai secara cepat sehingga dapat diserap kembali oleh tumbuhan yang baru muncul. Dalam kata lain, pembukaan hutan akan mempercepat kerusakan struktur tanah.

Telah banyak pula penelitian yang membuktikan bagaimana hutan tropis humida memberikan fungsi ameliorasi iklim. Telah banyak bukti bahwa iklim mikro mempengaruhi berbagai proses ekologi penting. Pertumbuhan vegetasi dan siklus daur hara sangat ditentukan oleh kesesuaian iklim setempat.

Suatu penelitian lapangan di Borneo (Hardwick dkk, 2005) mengungkapkan bahwa suhu udara di bawah kanopi lebih sejuk 6,5 derajat Celsius dibanding kebun sawit. Luas permukaan daun di hutan tropis humida dapat dijadikan patokan akan iklim setempat dan data ini dapat dicandra melalui teknologi pengindraan jauh.

Interaksi Masyarakat Tradisional

Masyarakat tradisional, khususnya yang hidup di pinggiran hutan, memiliki interaksi ekologis sangat penting dengan ekosistem hutan. Di satu pihak, mereka dapat mengintervensi keutuhan hutan. Di lain pihak, berbagai unsur keanekaragaman hayati yang bernilai ekonomi, termasuk sebaran dan kelimpahan berbagai spesies “hidupan liar”, merupakan hasil praktik-praktik masyarakat tradisional, yaitu melalui pengetahuan yang dibangun ratusan atau bahkan ribuan tahun (Garnett dkk, 2018).

Masyarakat tradisional juga berperan penting atas pangan alami (wild food), baik dari tumbuhan, satwa, maupun jamur. Keanekaragaman hayati itulah yang akan menimbulkan kedaulatan pangan yang sangat dibutuhkan dunia (IPBES, 2019).

Masyarakat tradisional juga memodifikasi ekosistem hutan dengan memperhatikan keberlanjutannya. Contohnya, mereka membuat hutan-kebun yang menumbuhkan hasil domestikasi, seperti karet, di dalam hutan yang masih memiliki tumbuhan asli dan dibiarkan mengalami suksesi sehingga mendekati kekayaan hutan alami.

Yang paling dahsyat adalah mekanisme konservasi berbasis kearifan lokal yang dapat lebih kuat dari paradigma konservasi internasional. Contohnya, masyarakat adat Rambu Saratu di Mamasa, Sulawesi Barat, melindungi hutan yang mengandung mata air dengan aturan adat. Aturan itu sedemikian ketat sehingga tanpa dijaga pun masyarakat tidak berani memasukinya karena khawatir akan sanksi alam.

Kebun Sawit

Sawit (Elaeis guineensis) merupakan spesies pohon palem yang berasal dari Afrika. Namun, di Indonesia, sawit bukan merupakan unsur hutan alami. Ia adalah tanaman monokultur yang membentuk hanya satu lapisan tajuk. Walaupun berbentuk pohon, secara ekologi sawit merupakan tanaman perkebunan, bukan tumbuhan hutan. Di samping itu, tidak ada budaya ataupun kearifan lokal Indonesia yang berhubungan dengan sawit.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menegaskan sawit bukanlah tanaman hutan melalui Siaran Pers Nomor 032/HUMAS/PPIP/HMS.3/02/2022 tertanggal 7 Februari 2022. Hal ini patut diapresiasi. Dalam siaran tersebut, Kementerian menyatakan bahwa “praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non-prosedural di dalam kawasan hutan telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial yang harus diselesaikan”.

Sekitar 3,47 juta hektare kebun sawit telah ditanam di dalam area yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai kawasan hutan (KEHATI & Auriga, 2018). Atas “ketelanjuran” ini, dapat dilakukan pendekatan “jangka benah” (KEHATI, 2019), yakni memperkaya kebun monokultur itu dengan spesies hutan alami sehingga menjadi hutan-kebun sawit dan selanjutnya struktur serta fungsi hutan-kebun itu dapat ditingkatkan. Berdasarkan penelitian sementara oleh Teuscher dkk (2016), hutan-kebun sawit akan lebih sehat bagi ekosistem berupa peningkatan keanekaragaman hayati karena berlangsungnya suksesi alami. Polikultur sawit tersebut bahkan meningkatkan produktivitas tandan sawit. Menerapkan konsep “kebun-hutan” lebih menarik dibanding memproyeksikan sawit sebagai “hutan terdegradasi”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus