DONGENG bisa banyak ditulis tentang Timur. Raja bangsa
pengembara di Asia Tengah ini butahuruf, tapi bisa bicara
tentang sejarah dan ajaran agama dengan para ulama. Ia menyukai
permainan catur, ia dengan tangkasnya bisa berhari-hari
bertempur. Ia tahan cuaca terpanas, ia tahan musim terdingin. Ia
membangun kota indah di Samarkand, tapi ia selalu resah dan
berpindah dari peperangan ke peperangan.
Ia meninggal di bulan Pebruari tahun 1405, beberapa saat setelah
melancarkan serbuan penaklukan ke Tiongkok. Umurnya 69 tahun dan
ia mati mungkin lantaran terlampau banyak minum. Pewaris
keahlian perang dari Jengis Khan ini memang termashur akan
keserba-berlebihannya dalam kekejaman sebagai pemenang, dalam
kemewahan sebagai penguasa, dan dalm ketangguhannya sebagai
prajurit.
Tak heran bila para penyair kemudian tergerak. Marlowe menulis
Tamburlaine the Great, tentang kemiskinan dan keterlantaran
berpuluh negeri yang dijarahnya. Tapi Goethe menyair penuh kagum
kepada hasilnya:
Haruskah siksaan ini merundung
Bila akhirnya suka menggunung?
***
Jika sejarah hanya dihitung hasil akhirnya, memang penindasan
bisa diam-diam diampuni -- oleh sang sejarawan.
Demikianlah di tahun 1853 Karl Marx mengutip Gocthe tepat di
baris itu. Hat nicht Myriaden Seelen/Timurs Herrschaft
aufgeziehrt? Ia berbicara tentang penjajahan Inggeris di tanah
Hindustan, tapi ternyata ia tak mengutuknya sekuat leher. Bahkan
tulisnya: "Inggeris harus memenuhi sebuah misi ganda di India.
Yang satu bersifat destruktif, yang lain bersifat melahirkan
kembali. Yang satu penghapusan masyarakat Asiatik. Yang lain
meletakkan dasar bagi masyarakat Barat di Asia."
Ternyata seperti kaum missionaris dan kolonialis Barat, Karl
Marx juga melihat penghancuran masyarakat gaya pribumi Asia
sebagai kemustian. Di sinilah agaknya nampak garis sayup-sayup
antara Marx di satu pihak, dengan Mao dan Pol Pot di pihak lain.
Mao Tse-tung mencoba melenyapkan ajaran lama Konghucu. Pol Pot
mencoba mencabut adat Kamboja. Mereka berbicara atas nama tentu
saja, revolusi.
Tapi dapatkah revolusi mengubah yang lama? Dapatkah Mao dan Pol
Pot mencontohkan bongkahnya dasar dari masyarakat tradisionil,
tempat tegak apa yang disebut Marx sebagai "despotisme
Oriental"?
Memang ada yang runtuh dari revolusi Cina dan ada yang binasa
dalam revolusi Kamboja. Tapi kita juga tahu bahwa itu tak
merubah despotisme lama menjadi senyuman.
Adakah Asia sebenarnya tak bisa bergerak ?
***
Tentu saja bohong bahwa Asia tak kunjung bergerak. Di tahun 1656
ada seorang Belanda bernama Rijckloff van Goens berkunjung ke
Mataram, ketika kerajaan ini masih muda tapi kukuh jangkauan
pemerintahannya. Van Goens mungkin tak teliti dan pakai kaca
mata orang Kumpeni. Tapi menarik juga dicatat:
Raja Mataram biasanya tiap minggu tiga kali muncul dalam
paseban. Tapi hampir tiap hari para bangsawan, sejak pangeran
sampai priyayi kecil, diharuskan hadir dan menunggu dari pagi:
jangan-jangan baginda kebetulan nongol. Sebab kalau raja nongol
dan mereka tak sowan, keberuntungan hidup dan nyawa bisa
melayang.
Demikianlah beberapa ratus orang berkerumun. Suatu kali raja
hadir dan meminta sesuatu, tanpa menyebut kepada siapa. Maka
bertabrak-tabrakanlah para bangsawan itu serentak mencoba
melayaninya. Dan sementara orang-orang itu berkeringat, baginda
tersenyum geli . . .
Lelucon atau kekejaman? Mungkin kedua-duanya. Untunglah kita di
tahun 1979 dan percaya bahwa apapun keagungannya, Timur Leng
atau Amangkurat I tak bisa berulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini