Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kemenangan Amnesia, Ketika Dunia Terus-Menerus Mengulangi Kesalahan

Saya orang Malaysia. Pada 9 Mei 2018, negara saya melawan tren global yang mengarah pada otoritarianisme.

30 Desember 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya orang Malaysia. Pada 9 Mei 2018, negara saya melawan tren global yang mengarah pada otoritarianisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada waktu itu, gabungan kemarahan terhadap skandal 1MDB dan meningkatnya angka kebutuhan hidup menghasilkan gelombang anti-Najib Razak yang tidak terduga. Gelombang yang berhasil menjatuhkan kepemimpinan UMNO yang sudah bertahan selama enam puluh satu tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merasa gembira oleh pengalaman tampil dalam siaran langsung di televisi malam itu, saya pulang keesokan paginya dengan perasaan bahwa saya terlibat dalam sebuah perubahan yang bersejarah, yaitu kembalinya demokrasi liberal dan sebuah poros langka untuk menjauhi korupsi.

Ternyata saya salah.

Apa yang terjadi di Malaysia adalah sebuah jeda kecil dari goyangan global yang makin hari makin ke-kanan-kananan (dalam konteks spektrum politik). Apa yang saya sebut sebagai "Kemenangan Amnesia" mengacu kepada makin banyaknya negara yang menjadi nasionalistik, hanya melihat ke dalam, dan jujur saja, rasis.

Mari kembali ke 2016, sebagai tahun "annus horribilis" (tahun yang menyeramkan) bagi demokrasi.

Karim Raslan di sebuah pasar di Filipina pada tahun 2016.

Tiga negara. Dua pemilu – di Filipina dan Amerika Serikat – serta satu referendum, di Inggris. Saya menghabiskan banyak waktu untuk mengamatinya, dan di satu sisi mengalami ironi-ironi terkejam dari demokrasi.

Awalnya saya pikir saya kena tulah: seberapa besar kemungkinananya seorang penulis dapat menyaksikan sebuah pergantian kekuasaan yang begitu dramatis? Ternyata kemudian saya sadar bahwa sejarah selalu mempermainkan kita dan ide demokrasi liberal dari masa muda saya sedang terancam dan mulai menghilang.

Pada bulan Mei tahun itu, saya sedang berada di Manila ketika Rodrigo Duterte, walikota yang kerap berbicara kotor, menepis semua prediksi dan melenggang ke Malacanang dengan dukungan besar mayoritas.

Bulan berikutnya di London, saya melihat – dan terkaget-kaget – ketika Inggris melakukan suatu aksi bunuh diri dengan melakukan pemungutan suara untuk keluar dari Uni Eropa.

Dan pada bulan November, ketika musim dingin sedang melanda Amerika bagian Barat-Tengah, saya merinding melihat seorang bintang reality show televisi yang terkenal buruk, Donald Trump, membungkam semua komentator televisi, ketika ia mengalahkan Hillary Clinton dan mengamankan posisinya sebagai presiden.

Pemilih mengantri untuk memberikan suaranya pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 di salah satu lokasi pemilihan di Ann Arbour, Michigan.

Banyak analis menyalahkan persebaran data yang terlalu bebas, yaitu kampanye digital dan siklus Twitter yang tanpa henti. Meski saya setuju bahwa Facebook telah menjadi kanker yang mengerikan untuk masyarakat, saya tahu ada isu yang lebih merepotkan lagi.

Apakah saya justru sedang menyaksikan "Kemenangan Amnesia" ketika negara demi negara sepertinya menolak pelajaran dari sejarahnya masing-masing, ketika mereka memilih pemimpin yang vulgar dan bebal?

Namun, tentunya tidak semua orang terpengaruh oleh amnesia ini.

Ada satu momen yang kerap menghantui saya. Saya sedang menonton sebuah acara bincang-bincang politik sebelum Brexit, ketika seorang aktris berusia 86 tahun, Sheila Hancock, dengan potongan rambut pixie dan ketenangan yang luar biasa, menjelaskan kekuatan sejarah di balik berdirinya Uni Eropa.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyapa pendukungnya pada masa kampanye.

Dari ingatannya dan keluarganya, ia bercerita tentang betapa menyeramkannya perang dan kematian (55 juta jiwa dari Perang Dunia II saja) dan bagaimana cara membuat Eropa tetap damai. Ketika ia menggambarkan sebuah visi kawasan yang menarik dan bagaimana pentingnya menjaga agar perang tidak terjadi lagi, jelas bahwa Ny. Hancock tertambat pada sejarah, pengetahuan, dan pengalaman.

Ia merepresentasikan lawan dari "Kemenangan Amnesia". Namun, peringatannya yang seperti Cassandra – tenang, jelas, bak ramalan – tidak dihiraukan.

Ingatan kolektif kita – yang selalu lemah dan berjangka pendek – kian hari kian buruk. Media sosial menghancurkan hirarki pengetahuan. Sosok-sosok peneliti sejarah dan ekonomi direndahkan. Kita malah tertarik pada figur-figur yang berbicara paling lantang dan provokatif.

Mau tidak mau, suara-suara kasar ini (yang menjadikan berbicara di radio sebagai habitat favorit mereka) menjadi ujian bagi masyarakat kita. Dan ketika kita dihadapkan dengan kebijakan monumental – Brexit, pemakzulan Trump, atau (seperti di Malaysia) isu-isu tentang otoritas sipil dan syariah – saran-saran yang kita terima sudah tercabik oleh prasangka rasial dan fanatisme.

Amnesia ini mencekik masyarakat. Mereka mencegah masyarakat untuk bergerak progresif. Dan secara umum, simbol 80 tahun (setelah dua sampai tiga generasi) sangatlah penting.

Dalam kasus Eropa dan Amerika, generasi yang hidup di masa Perang Dunia II mulai berpulang. Yang tersisa untuk kita hanyalah lapisan tipis dari ingatan, dan mungkin beberapa film (seperti "Dunkirk" untuk orang Inggris yang menyalakan dongeng semangat juang), kenyataan yang hanya separuh, mimpi, dan dusta.

Kecepatan kita dalam melupakan sejarah juga mempercepat bagaimana kita mengabaikan norma dan standar sosial. Mengapa harus repot menghormati tatanan kuno sementara tidak ada yang peduli dengan sejarah? Yang penting hanyalah mengumpulkan kekuasaan.

Namun, ketika kita mulai melupakan pelajaran-pelajaran ini, kita tentu akan mengulangi kesalahan mereka.

Di India – negara demokrasi terbesar – kita melihat bagaimana survei di awal tahun ini perlahan-lahan mulai mengikis konstitusi pluralistik dan sekuler yang dibuat oleh Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru.

Pelajar di New Delhi melakukan protes akan lolosnya Undang-Undang Kewarganegaraan India

Orang-orang ini dan yang lainnya seperti Dr. BR Ambekar, sang ikon Dalit (kasta yang haram untuk disentuh), melihat tragedi Partisi juga kesalahan besar mereka terhadap Pakistan. Mereka menghormati sifat India yang kosmopolitan, dan menolak pembuatan sebuah bangsa yang secara terbuka mengusung paham agama (dalam kasus ini, Hindu).

Pada beberapa minggu terakhir, Narendra Modi dan anteknya, Amit Shah telah menghancurkan warisan mulia ini. Undang-undang baru telah lolos dan akan mencabut hak memilih populasi muslim India (sekitar 190 juta orang).

Kashmir yang mayoritas muslim pun sudah dikekang selama empat bulan. Di Assam, ada kamp-kamp yang dibangun untuk mereka yang tidak dianggap sebagai bangsa India. Skala dan kecepatannya sangat mengerikan.

Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada reli “Howdy, Modi!” di Houston, Texas.

Retorika yang muncul dari India ini lama-kelamaan mirip dengan pahitnya Rwanda dan Nazi Jerman, di mana istilah-istilah seperti "kecoak" dan "solusi terakhir" mulai disebarkan.

Saya ulangi: penolakan kita untuk belajar dari masa lalu berarti kita akan mengulangi kesalahan kita pada tahun 1930an dan 40an.

"Kemenangan Amnesia" adalah "Kemenangan Kejahatan".***

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus