INILAH hasil lompatan jauh ke depan Deng Xiaoping. Lihat saja Jalan Beijing, jalan terbesar di Guangzhou, Provinsi Guang Dong, di Cina selatan. Hampir semua toko di kota itu penuh orang berdesak. Mereka tak cuma melihat-lihat, tapi berbelanja. Sebuah gaun wanita seharga 250 RMB (Ren Min Bi) atau sekitar Rp 90.000 gaji seorang dosen dengan masa kerja 12 tahun sekitar Rp 108.000 bukan lagi tergolong pakaian mewah di sana. Restoran di GITIC Hotel menawarkan bufet seharga 225 RMB per orang. Itu pun tetap diminati penghuni hotel, yang tak hanya pengusaha lokal, juga keluarga yang sedang merayakan ulang tahun. Sebagai hiburan selagi makan, ditampilkan tarian balet di lantai dansa. Belakangan orang Guangzhou mulai keranjingan berjudi di pacuan kuda. Setiap hari Minggu, ribuan orang berkumpul di Guangzhou Horse Racing Centre, lapangan pacuan kuda yang megah, serba elektronik dan komputer, berdiri setahun yang lalu. Di lapangan parkir berbaris sepeda, sepeda motor, bus mini, mobil tua, sampai BMW dan Mercedes Benz. "Semua orang sedang keranjingan, dari yang sekadar melihat sampai yang berjudi," kata David, seorang mahasiswa, kepada wartawan TEMPO Liston P. Siregar. Harga tanda masuk 10 RMB, atau hampir Rp 3.500 seharga double cheeseburger dan segelas Coca-cola di restoran McDonald's di kota itu bukan masalah buat orang Guangzhou. Semua ini bisa menjadi petunjuk, betapa perekonomian di kota provinsi itu memang sedang marak. Provinsi Guangdong sejak 1979 merupakan kawasan pertama di Cina dijadikan daerah khusus pengembangan ekonomi dan teknologi. Hasilnya luar biasa. Sampai tahun 1993, di provinsi itu sudah berdiri 25.000 perusahaan asing, baik yang 100% modal asing maupun patungan, dengan nilai ekspor mencapai US$ 9 miliar. Para investor asing berduyun-duyun masuk ke sana, antara lain, karena tawaran pembebasan pajak yang menarik. Semua perusahaan modal asing di daerah khusus ekonomi ini, misalnya, dibebaskan dari pajak pendapatan daerah dan pajak impor barang produksi, peralatan komunikasi, serta bahan baku. Sedangkan pajak penghasilan perusahaan di sana besarnya hanya 15% dibebaskan selama dua tahun sejak perusahaan itu memperoleh keuntungan. Pada tahun ketiga sampai kelima, mereka masih mendapat potongan 50%. Industri pertanian, peternakan, dan kehutanan, selama 10 tahun memperoleh keringanan pajak 15% sampai 30%. Ada pula kebijakan pengembalian pajak sebesar 40% jika pendapatan perusahaan diinvestasikan kembali. Jumlah itu menjadi 100% bila reinvestasi tadi untuk memproduksi komoditi ekspor dan berteknologi tinggi. Banyak lagi kemudahan lain. Penggunaan tanah pada masa ekonomi terpusat dulu sepenuhnya dikuasai dan dikelola negara tak ada masalah, sekalipun hak milik atas tanah masih di tangan pemerintah. Soalnya, izin hak guna tanah diberikan selama 60 tahun. "Tapi dijamin itu bisa diperpanjang. Kenapa mesti takut-takut lagi?" kata Chen Yan Shuo, penasihat Asosiasi Manufaktur dan Perdagangan Ekspor Provinsi Guangdong. Prosedur pembebasan tanah gampang. Rupanya, rantai birokrasi yang panjang pada zaman orde lama membuat pemerintah RRC era reformasi sepertinya anti birokrasi. Permohonan cukup diajukan ke Biro Tanah Nasional, lalu sekitar dua minggu kemudian sudah keluar rekomendasi pembebasan tanah. "Di tingkat kecamatan, lebih gampang. Sampaikan saja ke camat berapa banyak tanah yang diperlukan, mereka akan mengurusnya," kata Chen. Para camat memang bersemangat menyambut modal asing. Motifnya tak hanya untuk merangsang perekonomian daerahnya, juga karena mengharapkan limpahan langsung rezeki investasi. Camat biasanya kebagian posisi komisaris di perusahaan asing setempat. "Itu sebabnya ada camat yang menolak diangkat jadi bupati," kata Chen tersenyum. Memang ada yang menyoroti serba tak jelasnya berbagai peraturan di sana. Tapi dalam suasana bergemuruhnya investasi sekarang, banyak orang asing yang kurang mempedulikan masalah itu. "Jangan tanya bagaimana cara investasi di sini. Lakukan saja, dan Anda akan tahu," kata Natenapa Kongsri, Wakil Konsul Kerajaan Thailand di Guangzhou, sambil tersenyum. Misalnya, tak jelas apakah di daerah itu ada ketentuan upah buruh minimum. Di Investment Handbook, semacam buku pegangan untuk para investor, yang resmi diterbitkan pemerintah Provinsi Guangdong, hanya tertulis empat peraturan tentang manajemen buruh, dan di situ soal tersebut tak diuraikan sedikit pun. Dengan demikian, tak jelas pula batas usia minimal buruh di negeri ini. "Saya dengar ada perusahaan yang menggunakan buruh berusia 13 tahun," kata Kongsri. Sebatas yang didengar Kongsri, buruh di sana minimal harus dibayar 250 yuan per bulan atau sekitar Rp 87.000. Kalau itu benar, jumlahnya tak jauh berbeda dengan upah buruh minimum di Indonesia. Tampaknya para investor tak perlu merisaukan masalah itu. Soalnya, pemerintah RRC sendiri, yang harus mengurusi 1,3 miliar penduduk, belum melihat masalah ini sebagai sesuatu yang harus diprioritaskan. Yang jauh lebih penting bagi pemerintah adalah menjamin kehadiran modal asing, untuk mendongkrak perekonomian negeri. Investor masih tetap ragu? "Jangan tanam 100% modal asing, tapi buat saja joint venture," saran Natenapa Kongsri. Dengan cara itu, pemodal asing tinggal berkutat dengan urusan ma- najemen dan teknologi. Selebihnya, dari perizinan sampai pengerahan tenaga kerja, menjadi tugas mitra lokal. Di atas kertas, tanpa mitra lokal pun mestinya tak banyak hambatan. Dalam proses perizinan, misalnya, dua puluh hari setelah proposal dan studi kelayakan diajukan, komite administratif tingkat provinsi pasti akan memberikan respons, apakah usulan itu harus diperbaiki atau langsung disetujui. Untuk proyek di atas nilai US$ 30 juta saja perlu pengesahan pemerintah pusat di Beijing. Masih ada daya tarik kawasan ini. Jumlah penduduk provinsi ini mencapai 63 juta. Jumlah itu lebih besar daripada penduduk Korea Selatan yang hanya 45 juta, atau Taiwan yang cuma 22 juta. Pasar yang mandul total pada zaman revolusi kebudayaan, 1966-1976, sekarang betul-betul subur. Lima belas tahun lalu, Chen masih ingat, tiap bulan ia mendapat 40 kupon untuk jatah susu, kopi, gula, minyak, dan pakaian. "Sekarang semua orang punya uang. Apa saja yang dijual pasti laku," kata Chen. Harga-harga di Guangzhou memang terus meroket. Natenapa Kongsri, wakil konsul Thailand tadi, sering kaget. Ia mudik ke Thailand dua minggu, dan setibanya di Guangzhou ia pergi ke pasar membeli ayam. "Harganya naik dua kali lipat. Saya protes, kenapa harga itu bisa naik hanya dalam dua minggu," keluhnya. Penjual tak peduli, toh pembeli lain tetap menyambar ayamnya. Kini, empat belas tahun setelah langkah pertama reformasi ekonomi diayunkan Deng Xiaoping, Provinsi Guangdong tetap saja masih lapar investasi asing. Pasar mata uang asing sudah pula diizinkan, sehingga pemodal asing tak perlu lagi bingung me- nukar mata uang RMB ke mata uang asing. Tempat penukaran uang asing bisa ditemukan di mana saja. Mau kurs yang rendah bisa ditukar di hotel, stasiun kereta api, bandar udara, atau bank pemerintah. Mau kurs yang lebih tinggi, silakan pergi ke pinggir jalan semacam di Pasar Baru, Jakarta tapi dengan risiko tertipu. Dan pula perbedaan nilai kurs itu kecil saja. Menurut Liu Xiaodong, peneliti dari Jinan University, deregulasi di bidang moneter merupakan langkah terakhir dari reformasi ekonomi RRC. Kini, pemerintah Provinsi Guangdong sudah punya bank sendiri. Itu bank pertama yang bukan milik pe- merintah pusat, di RRC. Lantas awal Desember lalu, seorang pengusaha Hong Kong sudah mengantongi izin prinsip untuk ope- rasi bank swasta di Shenzhen, kota kedua terbesar di provinsi ini, yang terletak di dekat perbatasan Hong Kong. "Jika sistem keuangan sudah dibenahi seluruhnya, praktis tak ada lagi faktor negatif dalam investasi di RRC," kata Liu. Sampai saat ini pemerintah RRC memang belum memberlakukan sistem devisa bebas. Hanya mata uang RMB yang bebas dibawa keluar daratan RRC. Pendapatan dalam bentuk mata uang asing masih harus disimpan dalam rekening bank di wilayah RRC. Untuk mentransfernya ke luar negeri, diperlukan izin dari biro pengawasan mata uang asing. Semua transaksi mata uang asing di dalam wilayah RRC harus dilakukan lewat bank setempat. "Saya dengar tahun depan peraturan itu akan dihapus," kata Liu. Soalnya, sudah merupakan tekad pemerintah RRC untuk tetap merangsang peningkatan produksi sampai tahun 2010 lewat tawaran fasilitas investasi seperti sekarang. "Targetnya, pada tahun 2010, RRC sudah sama dengan Korea Selatan atau Taiwan," kata Chen Yan Shuo, ketua asosiasi tadi. Setelah target itu tercapai, mungkin saja RRC akan membatasi diri pada teknologi tinggi maupun yang padat modal. Dalam akselerasi pembangunan seperti ini ada pengamat mengatakan Guangdong tumbuh 21% setahun berbagai kendala pun segera mengancam. Pemerintah Guangdong sekarang mengharapkan investor menanam modal di bidang infrastruktur, seperti jalan raya, jalan kereta api, jembatan, atau pembangkit listrik. Soalnya, pemerintah rupanya tak sanggup mengikuti laju pertumbuhan ekonomi sektor swasta yang rakus melahap infrastruktur. "Selama sepuluh tahun sudah dibangun 1.000 jem- batan di Provinsi Guangdong. Kalau tak ada reformasi, mungkin butuh 100 tahun untuk membangun 100 jembatan itu," kata Chen. Untuk perusahaan listrik swasta, pemerintah pun telah memberikan rangsangan. Perusahaan listrik swasta, misalnya, bo- leh menjual produknya itu dengan harga pasar 62 sen/kWh, alias hampir dua kali lipat dari harga listrik pemerintah. Kini, pem- bangkit listrik swasta yang sudah beroperasi, antara lain, milik perusahaan patungan pengusaha Hong Kong dengan pemerintah Guangdong, dengan kapasitas 175 juta kWh. Pembangunan jalan bebas hambatan dari Guangzhou ke Shenzhen sepanjang sekitar 200 km juga dibangun dengan bantuan modal dari Hong Kong. Tapi soal infrastruktur itu mulai mengganggu. Yang jelas, Guangzhou Automobile Peugeot Company, pabrik mobil di kawasan industri Huangpu, sudah dirugikan. Mulai berproduksi tahun 1988 dengan kapasitas 15.000 unit per tahun. Pabrik yang 22% sa- hamnya dimiliki Peugeot itu labanya terus meningkat. Tahun 1992 kapasitas produksi diangkat menjadi 30.000 unit/tahun, dengan produksi masih sebatas 25.000 unit. Hasilnya, perolehan laba setelah dipotong pajak mencapai 1,7 miliar RMB. Maka, produksi tahun 1993 siap digenjot sampai 30.000 unit/tahun. Rencana itu buyar setelah Juni 1993 pemerintah Guangdong membatasi pembelian mobil sedan pribadi. Hanya perusahaan yang boleh membeli mobil pribadi, itu pun setelah mendapat pengesahan pemerintah. "Banyak mobil yang terpaksa diparkir begitu saja, padahal sebelumnya kami punya daftar antrean pembeli yang panjang," kata Michael Chapus, salah seorang manajer di perusahaan itu. Maka, tahun 1993, Peugeot hanya punya target sebatas mempertahankan laba tahun 1992 dengan penjualan kurang dari 25.000 unit. Kebijakan ini, sepanjang yang didengar Chapus, karena lalu lintas di Guangzhou sudah hampir tak terkendali. Memang seperti disaksikan TEMPO, jumlah mobil di Guangzhou jauh di atas daya tampung jalan. Jalan masuk ke Guangzhou dari kawasan industri Huangpu selalu macet total, hingga jarak belasan kilometer harus ditempuh satu jam lebih. Di dalam kota keadaan itu lebih buruk. Mobil mewah semacam Mercedes Benz 500 SEL atau BMW 720, ataupun truk-truk besar, harus berhadapan dengan sepeda di persimpangan. Banyak persimpangan yang belum dilengkapi lampu lalu lintas, hanya diatur orang-orang tua dengan bendera merah di tangan, yang kenyataannya hanya bisa menonton barisan mobil dan sepeda berlalu-lalang. Karena itulah, walau tampaknya semua mulus, investor asing tetap perlu berhati-hati. "Mereka terlalu bersemangat dan ingin meningkatkan produksi tanpa banyak pertimbangan," kata Kelvin Abrahams, manajer senior perusahaan kaca Guangdong ACI Glass. Perusahaan ini juga sedang punya problem. Dalam langkah perluasan pabrik, pihak ACI dari Australia harus menghadapi mitra lokal yang ingin meningkatkan produksi sampai 1.200 ton/hari, atau dua kali peningkatan produksi ideal. Mitra lokal berpegang pada angka pertumbuhan ekonomi di sana. Tapi sebagai penghasil kaca botol bir, patokan yang semestinya, menurut mitra Australia, adalah pertumbuhan industri bir, yang ternyata belum siap menampung tambahan produksi yang diusulkan mitra lokal. "Lagi pula, tenaga kerja yang tersedia membuat persiapan produksi tak semudah yang mereka bayangkan," kata Kelvin Abrahams. Padahal, ACI Australia justru ingin membuat pabrik lebih efisien. Dalam proses produksi botol, sebagai perbandingan, di Eropa satu line produksi membutuhkan 40 buruh, di Australia 55 orang, dan di Indonesia sekitar 100 orang. Di RRC untuk kapasitas yang sama dibutuhkan 250 orang. "Kami harus mempekerjakan banyak sekali buruh yang sama sekali buta dalam produksi gelas," kata Kelvin. Adapun di tingkat manajemen, banyak pejabat Guangdong Glass yang harus duduk sebagai direktur atau manajer tapi sebenarnya tak bekerja. "Hobi mereka berkaraoke di lantai paling atas kantor kami," keluh Abrahams. Rendahnya kualitas tenaga kerja memang merupakan kendala. Jelas bukan sebuah pekerjaan mudah untuk mengubah para pegawai negeri dan petani RRC itu, untuk dengan cepat menjadi pekerja di sektor industri. Instruksi harus selalu diulang-ulang, sering diperlukan penjelasan lewat gambar-gambar untuk prosedur teknis. Akibatnya, setiap tahun Peugeot terpaksa mengirim 100 pekerja lokal ke Prancis untuk latihan selama dua minggu. "Ini biaya yang besar, tapi tak ada pilihan lain," kata Francois Touevrey, wakil manajer personalia perusahaan mobil itu. Tak sedikit pula yang masih bekerja dengan gaya nonreformasi. "Kalau berurusan dengan orang sini, semuanya serbasulit. Namun, selalu diikuti dengan kata tapi kalau begini, begitu, bisa saja," ujar Loekman Sahib, Manajer Umum Garuda Indonesia di Guangzhou. Kata begini atau begitu itu tak lain dari isyarat minta uang pelicin. Itu terjadi antara lain, menurut Loekman, karena banyak peraturan yang belum punya standar baku, dan tentu saja bisa bikin investor frustrasi. Pabrik mobil Peugeot, misalnya, harus melayani para pejabat yang minta mobil gratis, khususnya setelah ada ketentuan pembatasan mobil pribadi tadi. "Hari ini ada yang datang, besok ada lagi yang datang. Jumlahnya tak banyak, tapi kami terganggu dengan cara seperti itu," kata Michael Chapus. Di kalangan pegawai bea cukai, sogok-menyogok kabarnya cukup ramai, khususnya di sepanjang perbatasan Hong Kong dan Macao. "Pegawai yang bertugas sedikit tapi urusan makin banyak, jadi perlu uang untuk mempercepat urusan. Yang memulai ini orang Hong Kong dan Macao," kata sebuah sumber TEMPO. Ia menunjuk Mercedes Benz maupun BMW yang banyak dimiliki Wu Jing atau polisi perbatasan yang diberi pelat nomor Wu Jing. "Itu semua mobil selundupan. Dan karena diambil polisi, tak ada yang berani mengganggu," tambah sumber tadi. Tapi Liu Xiaodong, pengamat tadi, tak tampak khawatir. "Satu-satunya masalah untuk investasi di sini adalah inflasi yang mencapai 20%," kata Liu Xiaodong.Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini