Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Komisi Informasi Pusat mengenai kasus Alfamart merupakan peringatan penting bagi siapa pun yang menggalang dana publik. Penyaluran sumbangan harus transparan. Kendati bukan lembaga negara, jaringan bisnis minimarket milik PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk itu diwajibkan membuka laporan penggunaan donasi konsumen.
Sebagai pihak yang dilaporkan ke Komisi Informasi oleh konsumen, Alfamart sebaiknya menerima putusan itu. Argumen bahwa perusahaan ini berbentuk perseroan—bukan badan publik—sehingga tak wajib melayani permintaan informasi sulit diterima akal. Sebab, KIP hanya meminta Alfamart mengungkap laporan sumbangan, bukan laporan keuangan perusahaan. Kalaupun perusahaan ini hanya menampung sementara dan tidak menyalurkan donasi secara langsung, itu tak membuatnya lepas dari tanggung jawab.
Jangan lupa pengertian "badan publik" dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi cukup luas. Bukan cuma lembaga negara seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang menggunakan anggaran negara, melainkan juga lembaga nonpemerintah yang menerima sumbangan masyarakat.
Alfamart memang mengumumkan dana yang terkumpul dan nama lembaga penyalur secara gelondongan di situs perusahaan. Tapi hal itu belum memadai. Alfamart sebaiknya membuka laporan yang lebih terinci. Bila perlu, perusahaan ini membuat laporan real time penerimaan dana, seraya melampirkan semua laporan detail dari lembaga penyalur dana.
Tak hanya buat pelanggan Alfamart, putusan Komisi Informasi itu juga penting bagi publik demi menyehatkan praktek filantropi di Indonesia. Inisiatif masyarakat menggalang dana yang menjamur—terutama saat musim bencana—tak perlu dilarang. Pemerintah hanya perlu memastikan semangat orang untuk bederma tak disalahgunakan oleh penggalang dana. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap organisasi penampung donasi bisa terpelihara.
Aturan penggalangan dana sejauh ini belum memuliakan masyarakat sebagai donatur. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang hanya mewajibkan penggalang dana membuat laporan kepada Menteri Sosial atau kepala daerah pemberi izin. Aturan ini terasa janggal. Undang-undang ini semestinya diperbarui karena, dalam etika filantropi dunia, tanggung jawab penggalang dana adalah kepada penyumbang, bukan kepada pemerintah.
Asosiasi lembaga filantropi di Amerika Serikat, misalnya, telah menerapkan kode etik yang diberi nama Donor's Bill of Rights. Kode etik yang dibuat pada 1993 itu antara lain menyatakan, di samping mendapatkan jaminan bahwa sumbangan mereka akan sampai kepada orang yang berhak, donor berhak memperoleh laporan mutakhir dan detail atas pengelolaan dana.
Di negara kita, Dewan Pers pun telah meluncurkan Kode Etik Filantropi Media Massa pada 2013. Dewan Pers merumuskan kode etik itu setelah sejumlah perusahaan media membuka rekening sumbangan dana kemanusiaan. Seperti halnya Donor's Bill of Rights, etika filantropi versi Dewan Pers menekankan pentingnya akuntabilitas dan keterbukaan.
Itu sebabnya putusan Komisi Informasi merupakan preseden yang bagus dan perlu disokong. Di tengah keterbatasan aturan tentang donasi dalam undang-undang, komisi ini telah berupaya menegakkan prinsip keterbukaan dalam penyaluran dana masyarakat. Prinsip ini seharusnya pula dipegang oleh hakim andai kata kasus pengelolaan donasi Alfamart itu bermuara hingga pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo