Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANGATLAH beralasan jika belakangan sejumlah pihak mengkhawatirkan nasib kemerdekaan pers di negeri ini. Indeks kemerdekaan pers sedunia tahun 2003 yang diterbitkan Reporters Sans Frontieres (RSF, Wartawan Tanpa Tapal Batas, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bermarkas di Paris) pada pertengahan Oktober lalu menempatkan Indonesia pada posisi 111 dari 166 negara yang disurvei. Ketika survei serupa dilakukan pertama kali tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 57 dari 139 negara. Tahun ini, posisi kita setingkat di bawah Mesir, selevel di atas Rwanda. Posisi lima teratas ditempati Finlandia, Eslandia, Belanda, Norwegia, Denmark. Sementara itu, tangga terbawah diduduki Korea Utara. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia di bawah Thailand (82) dan Malaysia (105), namun di atas Filipina (119), Singapura (144), Vietnam (159), Laos dan Myanmar (masing-masing 163 dan 164).
Ada 53 kriteria yang dipakai dalam penyusunan indeks yang mencakup periode 1 September 2002 hingga 1 September 2003 tersebut. Beberapa di antaranya: pelanggaran yang berdampak langsung terhadap wartawan (pembunuhan, pemenjaraan, penyerangan, ancaman), ataupun terhadap lembaga pers (penyensoran, larangan terbit, pelecehan). Selain itu, dilihat pula kondisi peradilan dalam memproses perkara yang berhubungan dengan pers, serta "kekebalan" yang dinikmati para pelanggar kemerdekaan pers. Semua pelanggaran terhadap kemerdekaan pers dimasukkan, tidak hanya yang dilakukan pemerintah atau negara, tapi juga oleh kelompok tertentu seperti milisi dan massa pendukung organisasi.
Tak bisa lain, penurunan peringkat ini adalah pertanda mengerasnya upaya "menjinakkan" pers. Dari sini bisa muncul dua kemungkinan. Pertama, pers akan gamang untuk tetap teguh mempertahankan kemerdekaannya. Perlu dicatat bahwa kemerdekaan pers yang patut dipertahankan itu tentu saja bukan kemerdekaan absolut tanpa batas, melainkan kemerdekaan dengan koridor yang jelas: kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999. Kedua, munculnya resistansi dari kalangan pers yang dapat berbuntut pada gesekan antara pendukung kemerdekaan pers dan penentangnya. Kedua kemungkinan ini sama kontraproduktifnya terhadap proses demokrasi secara keseluruhan.
Indeks ini juga memperburuk citra Indonesia di panggung internasional. Ia seakan melengkapi "prestasi" lainnya yang diraih belum lama berselang, yaitu dalam hal pembangunan manusia, yang dilaporkan UNDP, dan "juara" keenam negara terkorup sedunia versi Transparency International.
Perkembangan ini sebuah langkah mundur yang menyedihkan. Kita masih ingat betapa lima tahun lalu hadirnya kemerdekaan pers disambut gembira banyak pihak, kecuali tentu oleh mereka yang takut dosa-dosanya terungkap. Tapi, tak lama berselang, terjadilah proses pembalikan diskursus oleh pihak-pihak yang gusar melihat hadirnya pers yang merdeka. Mereka menuding pers yang merdeka lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat, pers telah melakukan "trial by the press", pers telah "kebablasan", sampai kepada niat merevisi Undang-Undang Pers No. 40/1999 karena dinilai kelewat liberal.
Harus diakui, memang ada sejumlah ekses yang dibawa kemerdekaan pers. Namun, mestinya, penyelesaiannya bukanlah melalui pemberangusan pers, melainkan lewat dialog yang intelek dan beradab, tempat semua pihak melakukan koreksi diri. Pers juga harus serius meningkatkan profesionalismenya.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Tentu sulit meminta para pelanggar kemerdekaan pers menghentikan aksi mereka secara sukarela. Karena itulah, intervensi dari pemimpin bangsa diperlukan. Mereka harus menegaskan dukungan akan pentingnya keberadaan sebuah pers yang merdeka bagi demokrasi. Peran semacam ini, misalnya, dijalankan oleh Thomas Jefferson, salah seorang "guru bangsa" Amerika, lewat salah satu ucapan masyhurnya, "Dasar pemerintahan kita adalah opini rakyat banyak ..., dan jika saya harus memilih antara pemerintahan tanpa surat kabar dan surat kabar tanpa pemerintahan, saya tidak akan berpikir panjang untuk memilih yang terakhir." Pada masanya, Jefferson sendiri berkali-kali jadi korban "kebrutalan" pers, tapi ia tak pernah surut dengan pendiriannya.
Survei RSF terbaru ini ibarat isyarat awal: bukan tak mungkin Indonesia kembali masuk ke terowongan gelap informasi seperti di era Orde Baru. Ketika itu, semua tampak gemerlap di luar, tapi sebetulnya membusuk di dalam. Andaikan saat itu pers boleh lantang menyuarakan kebe-naran, besar kemungkinan kita dapat terhindar dari krisis yang parah ini. Seperti pernah dinyatakan Amartya Zen, yang beberapa tahun lalu meraih hadiah Nobel untuk bidang ekonomi, "Bencana kelaparan tak pernah terjadi di negeri yang memiliki pers yang merdeka."
(tulisan ini merupakan pendapat pribadi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo