DALAM Pidato Kenegaraan 16 Agustus, Presiden Soeharto menegaskan, proteksi industri hulu perlu dihapuskan. Perlindungan tersebut mengakibatkan biaya tinggi bagi industri hilir, ujung tombak ekspor nonmigas kita. Perusahaan-perusahaan manufaktur yang bergerak di industri hilir pasti gembira mendengarnya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh masukan antara yang lebih murah. Dan perusahaan- perusahaan manufaktur yang bergerak di industri hulu didorong meningkatkan efisiensi dan daya saing. Sebenarnya sejak Paket Deregulasi Enam Mei 1986, perusahaan manufaktur yang berorientasi ekspor sudah dapat membeli masukan mereka dengan harga seperti di pasaran internasional. Perusahaan manufaktur yang mengekspor paling sedikit 85% dari hasil produksi mereka (kemudian diturunkan menjadi 65%) dibebaskan dari pembayaran bea masuk dan hambatan impor lainnya atas masukan yang mereka impor. Mereka juga diperbolehkan mengimpor secara langsung masukan yang diperlukan, tanpa melalui importir terdaftar. Di lain pihak perusahaan manufaktur yang mengekspor kurang dari 85% (kemudian diturunkan menjadi 65%) dari hasil produksinya juga diperbolehkan mengimpor masukan (yang sebenarnya dikenakan hambatan impor, seperti tarif bea masuk) dengan harga internasional. Ini jika pemasok domestik tidak dapat menjual masukan yang sama dengan harga yang sama dengan masukan yang diimpor. Dengan kemudahan pengembalian bea masuk yang dikelola secara efisien oleh Bapeksta, perusahaan manufaktur ini dapat memperoleh kembali bea masuk yang telah mereka bayar dalam waktu yang relatif singkat. Paket Deregulasi ini merupakan langkah kebijaksanaan pertama untuk mendorong industri hulu meningkatkan efisiensi dan daya saing mereka. Hingga, harga produk mereka dapat menyaingi harga masukan-masukan yang diimpor. Di samping kebijaksanaan kurs devisa yang tepat, yang kompetitif, maka sistem kemudahan pembebasan dan pengembalian bea masuk ternyata merupakan faktor pokok yang mendorong perusahaan manufaktur, terutama di industri hilir, meningkatkan ekspor mereka. Lonjakan yang pesat dalam ekspor hasil-hasil industri sejak tahun 1987, terutama tekstil dan garmen, alas kaki, dan hasil-hasil industri lainnya, seperti barang elektronika, terutama disebabkan oleh kemudahan yang dikelola Bapeksta dan kurs devisa yang kompetitif. Kemudahan yang diberikan Bapeksta ini ternyata juga merupakan faktor daya penarik bagi investor dari Jepang dan negara-negara industri baru Asia, terutama dari Korea Selatan dan Taiwan. Yakni untuk memindahkan industri hilir mereka, terutama industri tekstil, garmen, dan alas kaki ke Indonesia. Meskipun Paket Deregulasi Enam Mei dan paket-paket deregulasi berikutnya berhasil mengurangi ''kecenderungan antiekspor'', tidak dapat disangkal bahwa pergeseran dari kebijaksanaan substitusi impor ke yang berorientasi ekspor belum dilakukan secara menyeluruh dan tuntas. Bahkan pada waktu ini tingkat proteksi efektif rata-rata yang dinikmati sektor industri manufaktur nonmigas masih cukup tinggi. Lagi pula, tingkat proteksi efektif yang dinikmati berbagai industri manufaktur banyak berbeda satu sama lain, sedangkan kebijaksanaan tata niaga yang mengatur proteksi ini pada umumnya masih kurang transparan. Akibatnya, mengapa suatu industri manufaktur menikmati tingkat proteksi yang lebih tinggi daripada industri lain sering kurang jelas. Suatu konsekuensi daripada kebijaksanaan tata niaga yang masih tetap proteksionis adalah sektor pertanian dirugikan akibat proteksi tinggi yang masih dinikmati sektor industri manufaktur. Perusahaan manufaktur yang berorientasi pasar dalam negeri masih tetap menikmati proteksi yang lebih tinggi daripada perusahaan manufaktur yang berorientasi ekspor. Meskipun penghapusan proteksi bagi industri hulu sekarang ini oleh sementara orang mungkin dianggap terlambat sekali, pergeseran dari kebijaksanaan substitusi impor ke kebijaksanaan berorientasi ekspor memang tidak berjalan mulus. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan yang dihadapi Korea Selatan dan Taiwan sewaktu mereka pada awal dasawarsa 1960-an mengadakan pergeseran dalam strategi industrialisasi substitusi impor ke yang berorientasi ekspor. Salah satu unsur pokok dari pergeseran kebijaksanaan tersebut adalah perusahaan manufaktur yang berorientasi ekspor diperbolehkan membeli masukan yang mereka perlukan dengan harga internasional. Kebijaksanaan ini dapat diterapkan lancar di kedua negara ini karena sewaktu pergeseran itu dilakukan, proses industrialisasi substitusi impor di negara ini belum meluas ke hulu. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan di India, yang sejak Renana Pembangunan Lima Tahun Kedua suatu strategi industrialisasi yang ambisius dimulai. Tujuannya, melaksanakan proses substitusi impor yang meliputi baik industri hilir maupun hulu, tanpa pertimbangan apakah industri-industri manufaktur ini punya daya saing internasional atau tidak. India berhasil sekali dalam melaksanakan substitusi impor tahap pertama (industri hilir) dan tahap kedua dan ketiga (industri hulu). Tapi hasilnya, setelah empat dasawarsa, industrialisasi India yang ambisius ini belum dapat mengembangkan industri manufaktur yang mempunyai daya saing internasional yang tinggi. Lagi pula, kebijaksanaan berorientasi ekspor yang memberikan kemudahan bagi industri hilir untuk memperoleh masukan dengan harga internasional sulit diterapkan. Ini bertentangan dengan kepentingan industri hulu India yang mapan tapi tidak mempunyai daya saing internasional. Kita di Indonesia boleh merasa untung bahwa proses industrialisasi substitusi impor tahap kedua belum begitu maju sewaktu diadakan pergeseran dari strategi substitusi impor ke strategi berorientasi ekspor, pada pertengahan dasawarsa 1980- an. Pergeseran ini, meskipun tidak semulus dan tuntas seperti di Korea dan Taiwan, memang berjalan lebih lancar daripada di India. Dalam pada itu, usaha mengembangkan industri-industri hulu perlu dilanjutkan dengan menciptakan insentif yang lebih tepat untuk mendorong industri-industri tersebut meningkatkan efisiensi dan daya saing mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan pengurangan proteksi secara bertahap dalam waktu yang tidak terlampau panjang. Penulis adalah ahli peneliti utama pada Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini