SEORANG~ komisaris bank ternyata tidak kebal terhadap peraturan yang berlaku, bahkan di banknya sendiri. Paling t~idak, itulah yang tejadi pada Bank ~Nasional Bukittinggi (BNB). Seorang komisarisnya mengambil kredit pada bank itu, dan pada saat jatuh tempo ternyata kreditnya macet. Pada waktu diperiksa, ternyata ia punya utang pada bank lain, dengan menggunakan agunan yang sama. Adakah maaf baginya~ Mengingat ia adalah seorang ang~ota dewan ko~misaris pada bank itu? Tidak, ternyata Perusahaannya disita, persis dengan peraturan yang berlaku. Mestinya itu merupakan cerita yang lumrah, tetapi ternyata menjadi luar biasa, karena itu terjadi di Indonesia. Kisah itu dimuat di majalah bisnis Su~asembada beberapa bulan yang lalu. Kisah itu juga menjadi contoh kasus yang sering disebut oleh Direktur Utama Bank Duta Drs. Abdulgani. Sebagai seorang dengan rasa kebangsaan yang kuat, Abdulgani menyebut contoh kasus itu sebagai bukti bahwa kaum swasta bumiputra punya potensi yang baik untuk membangun bank yang sehat. "Sulit membayangkan kasus itu terjadi di masyarakat kita," katanya. Bank Duta meman~ memberikan bantuan teknis untuk pengembangan Bank Nasional Bukittinggi yang tahun lalu telah membuka cabangnya di Jakarta. "Tapi bukan karena bantuan teknis Bank Duta bila Bank Nasional kini makin berkibar," kata Abdulgani, seperti biasa lo~w profile. "Sejak dulu Bank Nasional memang sudah punya dasar yang kukuh untuk menjadi bank swasta nasional yang dapat diandalkan." Bank Nasional pada kenyataannya adalah bank swasta nasional pertama yang didirikan pada 1930 -- jauk sebelum bank-bank swasta nasional lainnya bertumbuh. Awalnya adalah sebuah koperasi para pedagang di Bukittinggi -- Himpunan Saudagar Indonesia yang menyelenggarakan pooling of funds untuk mendukung permagaan mereka. Dari awal sesederhana itu Bank Nasional berkembang menjadi bank yang sahamnya dipegang oleh 3.000 orang. Kiek alias kiat para urang aw~ak ini tidak lain adalah disiplin yang ketat para pemegang saham dan direksinya. Salah satu contoh adalah kasus penyitaan perusahaan milik anggota dewan komisaris itu tadi. ~contoh lain ? Coba kita simak laporan tahun 1934, ketika Bank Nasional baru berusia empat tahun. Pada tahun itu Bank Nasional membuat keuntungan sebesar Rp 773,52. Menyadari bahwa Bank Nasional adalah bank yang semua peserta sahamnya adalah ban~gsa Indonesia yang beragama Islam, maka Bank Nasional membayar zakat fitrah sebesar Rp 350. Sisanya semula akan dibagi begini: 20% untuk pengurus, 20% untuk dana cadangan, dan 60% dibagi sebagai dividen pemegang saham yang ketika itu berjumlah 119 orang. Seorang anggota tiba-tiba mengusulkan agar sisa yang 60% itu tak usah dibagi lagi melainkan disimpan sebagai dana cadangan. Usul yang bagus, tentu saja. Tetapi, demi disiplin, pemungutan suara pun dilakukan Ternyata, hanya 17 pemegang saham sal.~ yang rnemilih agar diadakan pembagian dividen. Sebuah kesadaran membangur yang patut dibanggakan. Tak heran bila bank ini kemudian memperoleh perhatian Bung Hatta yanK baru pulang dan Negeri Belanda. Bung Hatta sangat mendukung upaya memperbesar dana cadangan bank. Ia memberikan beberapa contoh tentang usaha-usaha dan bank-bank besar asin~ yang sukses karena mempunyai dana cadangan yang besar. Bahkan ketika dalam pembuangan di Bandaneira. Bung Hatta masih sempa~ menuliskan karangan berjudul Bank Nasional di Masa Dalang dalam rangka per-ingatan dasawarsa Bank Nasional. Karangan itu sara~ den~an petunjuk-petunjuk untuk memajukan Bank Nasional. Bun~ Hatta pulalah yang memperkenalkan berbagai jenis kredit dan cara memasarkannya kepada masyarakat. Tak heran pula bila Bank Nasional hingga~ kini tidak terlalu kesulitan memasarkan uangnya. Dari dana Rp 54,5 milyar ya dapat dihimpunnya pada 1986, 77o/.. dap disalurkan kembali sebagai kredit. Disiplin tinggi yang diterapkan ~ling~kungan Bank Nasional juga tampak pada strukrur kepegawaian. Semua pimpinannya berasa~ dari para kerani bank di masa la~lu yang ditingkatkan kemampuannya. "Tak ada istilah memasukkan anak atau keponakan di Bank Nasional," kata Abdulgani. Dukungan Bank Nasional terhadap perjuangan pun tidak kecil artinya. Pada masa revolusi, Bank Nasional menyerahkan uang dan emas untuk dana perjuangan. Uang pemerintah yang ditempatkan di bank itu dalam keadaan yang kacau pun - selalu dikembalikan dan dipertanggungjawabkan dengan tertib. Sukses Bank Nasional Bukittinggi membuktikan salahnya anggapan yang menyatakan bahwa selama ini daerah hanya bisa membangun bila ada tetesan dana dari Pusat. nengan kekuatannya sendiri, Bank Nasional telah mempersiapkan diri menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi daerah yang dapat diandalkan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini