ADA tiga dampak penting apabila normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-RRC diresmikan pada 8 Agustus mendatang. Dari segi diplomasi, normalisasi diharapkan dapat meningkatkan peran Indonesia di berbagai forum internasional, terutama di Asia Pasifik. Selama ini, usaha membangun kerja sama politik di antara "4 besar" (Jepang, Amerika, Soviet, RRC) terasa janggal selama hubungan diplomatik RI-RRC belum cair. Maka, momentum penandatanganan hubungan diplomatik RI-RRC -- yakni 8 Agustus, bertepatan dengan ulang tahun ke-23 ASEAN -- bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memprakarsai langkah ke arah pelembagaan post-ministerial meeting para menlu ASEAN dengan para menlu Amerika, Jepang, Soviet, dan RRC. Forum pertemuan menlu ASEAN-menlu empat besar itu bisa merumuskan apa sesungguhnya perimbangan kepentingan Jepang, Ametika, Soviet, dan RRC di Asia Tenggara. Kalau berhasil, forum itu bisa menjadi percontohan untuk memantapkan iklim politik di kawasan-kawasan lainnya. Terobosan inilah yang bisa diperoleh dari normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC. Di bidang ekonomi, normalisasi hubungan akan memungkinkan Indonesia memperluas jaringan pemasaran barang dan jasa kita. Proteksionisme di Jepang, Amerika, dan Eropa selang 15 tahun terakhir telah memacu kita untuk mencari peluang-peluang baru. Sekitar 12-15 persen dari bea masuk barang-barang Indonesia ke RRC akan diturunkan setelah peresmian hubungan diplomatik. Ekspor kita ke RRC, yang berkisar pada 460-500 juta dolar setahun, akan meningkat meskipun pasar RRC belumlah sebesar yang diharapkan. Sementara itu, hubungan dagang kita dengan Hong Kong, Taiwan, dan Singapura tidak akan terganggu. Pada dasarnya, hubungan dagang bisa menembus batasan politik. Persetujuan peningkatan perdagangan RI-RRC yang disepakati lima tahun lalu di Singapura adalah konsekuensi logis dari desakan proteksionisme di negara-negara maju. Namun, dampak terpenting dari hubungan diplomatik RI-RRC adalah terhadap pembangunan politik kita. Akibat sejarah kolonial dan aneka ragam masalah "pribumi-nonpribumi" selama tahun-tahun kemerdekaan, segala sesuatu yang bertalian dengan "Cina" (sebagai bangsa, sebagai negara, sebagai budaya, sebagai kekuatan ekonomi) telah merasuk ke dalam endapan kecurigaan, purbasangka, serta kecemburuan dalam tubuh politik kita. Tetapi kita semua -- apa pun keturunan darah kita -- bertekad terus mengikhtiarkan agar "normalisasi hubungan pribumi-nonpribumi" lebih dimantapkan sebagai salah satu unsur penting dari normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC. Kita harus menyelesaikan, paling tidak, mulai melembagakan, suatu kedewasaan politik, terutama di kalangan generasi muda Indonesia dari semua golongan dan keturunan. Bukankah darah mereka pertama kali tumpah di Tanah Air Indonesia? Karena itu, normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC adalah saat yang amat penting bagi pertumbuhan kita sebagai bangsa. Ia adalah uji coba kenegaraan yang menyentuh kehidupan ekonomi, budaya, dan kemasyarakatan kita semua. Dunia luar -- tidak hanya Taiwan, Hong Kong, Singapura -- akan mengamati dengan cermat perkembangan setelah 8 Agustus 1990 nanti. Kita yang akan merayakan ulang tahun ke-45 kemerdekaan Republik Indonesia ("45 tahunnya Angkatan '45") bertekad membuktikan kepada dunia luar bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat. Normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC adalah bukti dan tekad dan kedewasaan kita. Kecurigaan dan purbasangka itu memuncak menjelang dan sesudah Gerakan 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia sejak 1963 memilih "jalan Cina" menuju perebutan kekuasaan negara. Akibatnya, semua orang Indonesia keturunan Cina kena getahnya. Segala jenis dan bentuk infiltrasi, subversi, dan aksi-aksi negatif dipukul rata dan dialamatkan kepada mereka. Karena itu, setelah berpuluh tahun lamanya kita usahakan pemantapan kehidupan politik, kita bertekad agar setelah normalisasi hubungan RI-RRC dikukuhkan, pematangan kehidupan politik kita dilanjutkan melalui tindakan-tindakan kongkret. Kelirulah kalau merumuskan masalah pemantapan ini sekadar sebagai "masalah minoritas". Orang pribumi harus bersikap dan bertindak terbuka, toleran, dan matang. Proses ini tidak mudah. Normalisasi hubungan RI-RRC tidak akan dengan sekejap menghapuskan kecurigaan dan purbasangka yang berpuluh-puluh tahun lamanya mengendap dalam benak berbagai lapisan masyarakat Indonesia pribumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini