Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOALISI yang dibuhulkan sekadar untuk mendapatkan tiket pencalonan presiden bisa dipastikan mudah retak. Dalam koalisi semacam ini, tarik-ulur dilakukan dengan menggunakan kompensasi atas elektabilitas calon presiden atau suara partai politik. Yang juga sayup-sayup terdengar: transaksi uang berkedok mahar atau cost sharing kampanye. Ada pragmatisme di sini. Juga, meminjam istilah yang terasa sarkastis: politik dagang sapi.
Saat ini Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa telah merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Mereka sepakat menyokong Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden. Tapi koalisi ini masih menghadapi ujian berat, yakni penentuan calon wakil presiden pendamping Jokowi, yang masih alot setidaknya hingga akhir pekan lalu.
Poros yang lain, Prabowo Subianto, malah terlihat lebih rapuh. Partai Persatuan Pembangunan maju-mundur mendukung Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya ini. Jikapun Ketua Umum PPP mendeklarasikan diri mendukung Prabowo, masih terdengar suara berbeda dari elite di lapis tengah.
Dalam hal calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo, anggota koalisi sempat tak sepakat. Skenario Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden ternyata tak diterima begitu saja. Partai Keadilan Sejahtera menjagokan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Jangan berharap ada transparansi perihal bagaimana "jual-beli" ini terjadi. Spekulasi politik transaksional, karena itu, tak pernah benar-benar bisa ditampik. Politik akhirnya bukan sekadar siapa mendapatkan apa, melainkan juga siapa mendapatkan berapa—sesuatu yang merujuk pada keuntungan materi.
Platform partai dan rekam jejak kandidat tampaknya tak menjadi pertimbangan utama dalam merajut koalisi. Orang bisa saja menyoroti figur Prabowo yang pernah tersangkut urusan penculikan aktivis pada ujung era Orde Baru. Tapi kubu penyokong Prabowo akan dengan mudah menangkis serangan lawan politik karena PDIP pun memasangkan Prabowo dengan Megawati pada Pemilihan Umum 2009.
Koalisi yang serba pragmatis terkesan pula mengabaikan ideologi. Gerindra, yang menyokong gagasan pemurnian agama, mungkin gampang sepaham dengan PPP dan PKS. Tapi cukup aneh bila hal itu dilakukan PAN, yang selama ini mengklaim diri sebagai partai yang pluralis.
Manuver yang ganjil, bahkan lucu, terjadi pula pada partai lain. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, misalnya, pontang-panting agar tak jomblo. Ia sempat datang ke rumah Prabowo di kawasan Sentul, Bogor. Tapi, beberapa hari berselang, dengan penampilan yang lebih sederhana, ia mengikat janji koalisi dengan Jokowi di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Belakangan ia berjabat tangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk poros ketiga.
Memperoleh 16 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Golkar lama terkatung-katung. Begitu pula Partai Demokrat, yang menguasai sekitar 11 persen kursi—sedikit di bawah Gerindra, yang mendapat 13 persen kursi. Seperti Golkar, partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono ini paceklik figur yang bisa menandingi popularitas Jokowi dan Prabowo.
Politik dagang sapi sebetulnya bisa dikurangi bila koalisi dilakukan jauh-jauh hari. Sayangnya, hal ini baru bisa dilakukan pada 2019, saat pemilihan presiden dan anggota legislatif diselenggarakan secara bersamaan, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Ini pun tak menjamin lenyapnya tawar-menawar dalam mendapatkan kursi menteri.
Koalisi tak dibutuhkan lagi andai muncul satu partai yang dominan. Masalahnya, situasi ini hanya terwujud bila kita menganut sistem distrik dalam pemilu, bukan sistem proporsional seperti sekarang. Kendati jumlah partai telah dikurangi lewat aturan electoral threshold, tetap saja tak bisa muncul partai yang menang mutlak.
Kalangan partai politik cenderung menampik sistem distrik karena akan membuat partai kecil tersingkir. Bayangkan bila pola "satu daerah pemilihan, satu kursi" diberlakukan. Dengan hasil pemilu legislatif seperti sekarang, PDIP, yang menguasai 38 dari 77 daerah pemilihan, akan mendapat 49 persen kursi parlemen. Urutan kedua ditempati Golkar dengan 32 persen kursi. Partai lain hanya mendapat sedikit kursi, bahkan PPP dan PKS tidak kebagian kursi lantaran tak menang di satu pun daerah pemilihan.
Namun, tanpa perubahan sistem pemilihan, politik transaksional dalam membentuk koalisi selalu muncul pada setiap pemilu. Hilir dari itu semua adalah terbentuknya pemerintahan yang tak efektif: para menteri dari partai politik yang siap mengembalikan "modal" yang sudah mereka keluarkan sepanjang proses kawin-mawin koalisi berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo