Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pesulap Merah dan Alam Pikir Abad Pertengahan

Upaya Pesulap Merah untuk membuktikan bahwa keajaiban dan kegaiban para dukun ternyata trik sulap seperti mengajak kita keluar dari alam Abad Pertengahan yang penuh mitos dan takhayul.

19 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Tempo/Imam Yunni
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pesulap Merah bikin geger di dunia maya karena datang ke Padepokan Nur Dzat Sejati.

  • Dia sering membuktikan bahwa keajaiban dan kegaiban para dukun ternyata hanya trik sulap.

  • Upayanya seakan-akan mengajak kita meninggalkan alam pikir Abad Pertengahan yang diselimuti mitos dan takhayul.

Kemala Atmojo
Wartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Marcel Radhival alias Pesulap Merah tak cuma bikin geger di dunia maya, tapi juga bikin "keributan" di dunia nyata. Kedatangannya ke Padepokan Nur Dzat Sejati milik Samsudin di Blitar untuk semacam "pembuktian" telah memicu protes warga sekitar yang meminta padepokan itu ditutup. Sebagian masyarakat mulai sadar bahwa apa yang dilakukan Samsudin ternyata trik sulap belaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pesulap Merah juga tampil di stasiun televisi, podcast, beberapa kanal YouTube, dan media sosial lainnya untuk menunjukkan aneka trik sulap yang selama ini dipercaya banyak orang sebagai "keajaiban" yang hanya bisa dilakukan oleh dukun atau orang sakti. Akibatnya, dia dilaporkan ke polisi oleh beberapa dukun. Salah satu alasan mereka, akibat ulah Pesulap Merah, jumlah klien mereka menurun. Selain itu, Pesulap Merah dianggap tidak etis karena telah membongkar "aib" orang di muka publik.

Bagi orang Indonesia, fenomena perdukunan bukanlah hal baru. Banyak orang, dari pejabat sampai masyarakat biasa, percaya kepada dukun. Mereka datang ke dukun atau "orang sakti" untuk berbagai keperluan, dari pesugihan, santet, susuk kecantikan, pelaris, hingga kepentingan agar naik jabatan. Begitu populernya dukun, sampai-sampai ada ungkapan populer "cinta ditolak, dukun bertindak".

Saya salut kepada Pesulap Merah bukan lantaran trik sulapnya—meskipun sulap selalu menghibur—melainkan karena keberaniannya untuk menantang secara terbuka atau semacam "pembuktian" kepada mereka yang selama ini mengaku sebagai dukun. Selain itu, entah disadari atau tidak, dia seakan-akan—setidaknya dugaan saya—sedang mengajak kita untuk keluar atau bergerak maju dari alam pikir Abad Pertengahan menuju alam pikir abad modern.

Dalam dunia filsafat, Abad Pertengahan dibagi dalam dua periode, yakni zaman Patristik (abad ke-2 sampai ke-7) dan zaman Skolastik (sejak abad ke-9 sampai akhir abad ke-16). Jadi, Abad Pertengahan kira-kira berakhir pada 1492, tapi ada juga yang menyebutkan sampai 1500. Abad Pertengahan ini menjadi zaman peralihan antara Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern, yang diawali dengan masa Renaisans di Italia pada abad ke-15 sampai akhir abad ke-16.

Dari perspektif sejarah, menurut Sartono Kartodirdjo, nilai-nilai hidup bagi orang Abad Pertengahan tidak terletak pada masa kini, melainkan pada masa setelah ini (akhirat). Dalam pandangan Abad Pertengahan, hidup yang singkat sekarang ini dianggap sebagai semacam percobaan dan harus dipandang sebagai sub-specie aeternitatis. Kehidupan manusiawi merupakan suatu persiapan untuk tujuan surgawi dan sejarah adalah pendidikan bagi manusia. Manusia adalah pengembara di bumi ini dan tujuan perjalanannya adalah keabadian.

Pandangan Sartono ini mirip dengan pemikiran Thomas Aquinas, salah satu pemikir besar Abad Pertengahan, tentang etika. Thomas menerima pendapat Aristoteles bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Namun kebahagiaan itu tidak terletak pada pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini, sebagaimana diajarkan Aristoteles, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka. Kebahagiaan di alam baka tidak lain adalah memandang Allah sebagai sumber segala kebahagiaan. "Tatapan yang membahagiakan" adalah tujuan terakhir manusia. Baru di surga kelak manusia boleh bertatap muka dengan Dia yang mampu memberikan kepuasan sepenuh-penuhnya.

Ada beberapa ciri umum lain yang menandai Abad Pertengahan. Dalam hal pemikiran (filsafat), memang tidak semua berisi dogma atau ajaran resmi gereja. Sudah banyak juga pemikir yang mencoba menggunakan rasionya untuk memahami Kitab Suci, meski tidak jarang mereka harus berurusan dengan otoritas gereja. Tapi boleh disebut bahwa pemikiran yang dominan pada masa itu adalah filsafat agama.

Setelah Abad Pertengahan, kita masuk pada zaman Renaisans (kelahiran kembali). Kebudayaan Yunani-Romawi kuno ditafsirkan kembali secara baru. Sementara pada zaman klasik manusia dipandang sebagai bagian dari alam atau polis, pada zaman Renaisans (abad ke-15 dan ke-16)  manusia dipahami sebagai pribadi. Setiap orang bukan sekadar umat manusia, melainkan individu-individu yang bebas untuk melakukan sesuatu dan menganut keyakinan tertentu. Kemuliaan manusia terletak pada kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa alam.

Setelah itu kita masuk ke zaman Pencerahan (Aufklarung) di Inggris dan Prancis (abad ke-17 dan ke-18). Ada dua peristiwa penting di zaman ini, yakni Revolusi Agung di Inggris pada 1688 dan Revolusi Prancis pada 1789. Intinya, pada masa ini, manusia mulai mencari cahaya baru dengan rasionya. Orang berusaha lepas dari sikap tidak dewasa atas kesalahannya sendiri, yang terletak dalam keengganan manusia untuk memanfaaatkan akal budinya. Orang lebih suka bergantung pada otoritas lain di luar dirinya. Maka, semboyan yang didengungkan pada masa ini adalah "beranilah berpikir sendiri".

Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional, yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes, "cogito ergo sum" ("saya berpikir, maka saya ada"). Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, adalah Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Auguste Comte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.

Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini dicirikan dengan tiga hal, yakni subyektivitas, kritik, dan kemajuan. "Subyektivitas" adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Sementara di Abad Pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, ataupun kelompok kolektif, di zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.

Makna "kritik" di sini adalah bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tapi juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Intinya, kebebasan untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau ororitas. Dalam bahasa Immanuel Kant, "bangun dari tidur dogmatis".

Adapun "kemajuan" adalah bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh subyektivitas dan daya kritik itu.

Bisa jadi Pesulap Merah tidak dengan kesadaran penuh—plus konsep modernitas—mau membawa sebagian dari kita ke abad modern. Barangkali yang dilakukannya hanya sebatas keinginan agar masyarakat tidak gampang percaya pada hal-hal gaib dan takhayul yang dilakukan oleh beberapa orang dengan imbalan materi. Untuk itulah dia tunjukkan secara terbuka apa yang selama ini dianggap sebagai keajaiban atau kegaiban ternyata cuma trik sulap belaka.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus