Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kota yang menyimpan marah

Kawasan kuno, taman kota yang terbengkalai, dan pemukiman kumuh di mata aktor pembangunan kota adalah bernilai rendah. real estate, pertokoan, dan hotel mempunyai nilai tambah. pembangunan proyek itu punya manfaat.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia ada tiga jenis lingkungan kumuh yang menjadi perhatian para aktor pembangunan kota. Yang pertama adalah kawasan kuno yang sekarat, yang kedua adalah taman kota yang terbengkalai, dan yang ketiga adalah permukiman kumuh yang merana. Di kawasan kuno, tidak hanya peninggalan kolonial atau pecinan yang mengalami proses kematian. Berbagai kawasan tradisional sering pula bernasib sama, termasuk kawasan keraton peninggalan para raja dan sultan. Kesamaan dari ketiga jenis kawasan kumuh itu, nilai properti dari ketiganya sering merosot dengan tajam akibat eksternalitas negatif. Semakin besar matriks kekumuhan sebuah kawasan, semakin tajam pula penurunan nilai properti kawasan tersebut. Pada kawasan bersejarah, bangunan kuno yang dimiliki swasta pada umumnya lebih terawat dibandingkan dengan yang dimiliki pemerintah. Namun, pemerintah dan swasta sering berselera sama: cenderung merobohkan bangunan kuno. Hanya saja, karena kekurangan dana, pemerintah terkadang belum sempat, atau tertunda melakukannya. Ekonomi politik ruang percaya bahwa memproduksi ruang di perkotaan pada dasarnya bertujuan meningkatkan produktivitas ekonomi. Untuk itu, pasar harus dirangsang, dan berbagai institusi ekonomi masyarakat harus diintegrasikan melalui penyediaan berbagai sarana ruang modern. Sumber daya kota yang terbengkalai harus segera ditransformasikan ke dalam berbagai produk dan jasa baru, agar secara sosial dan ekonomis lebih berdaya guna. Aset kota apakah yang terbengkalai? Yang terbengkalai tentu saja bangunan kuno, ruang terbuka, dan permukiman kumuh. Produk dan jasa yang baru antara lain pertokoan, hotel, department store, terminal, apartemen, dan perumahan mewah. Pembangunan proyek-proyek tersebut secara sosial-ekonomis diharapkan bermanfaat bagi masyarakat karena, selain menyediakan sarana perkotaan, akan menyerap tenaga kerja dan menaikkan pendapatan warga. Kota yang sukses adalah kota yang berhasil menggelar berbagai proyek pembangunan karena sebuah kota pada dasarnya adalah sebuah mesin pertumbuhan atau a growth machine. Sayangnya, sistem dan teknik perpajakan perkotaan kita masih sederhana, dan public entrepreneurship pemerintah kota juga masih lemah. Akibatnya, pendapatan asli daerah tetap saja rendah. Bagi swasta, situasi seperti ini bisa dibaca sebagai peluang. Dan bagi pemerintah, kontribusi kekuatan swasta seperti corporate company dan developer menjadi penting dalam mesin pertumbuhan kota. Dalam menangkap peluang dan menjalankan mesin pertumbuhan, setiap corporate company dan developer pasti akan berpikir keras untuk mendapatkan lokasi yang paling tepat dan ekonomis bagi program investasi ruang yang dibutuhkan pasar. Doktrin real estate menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang sangat menentukan keberhasilan investasi. Faktor pertama adalah lokasi. Faktor kedua adalah lokasi. Dan faktor ketiga juga lokasi. Celakanya, kawasan kuno yang sekarat, taman kota yang terbengkalai, dan permukiman kumuh yang merana sering termasuk dalam skenario lokasi perkotaan yang panas. Ketiganya menjadi panas karena terletak pada lokasi yang strategis. Dan karena eksternalisasi negatif, ketiganya juga berharga rendah. Faktor lokasi memang sentral dalam setiap sistem produksi ruang perkotaan. Namun, lokasi harus terletak pada lahan spesifik. Karena itu, lahan-lahan spesifik yang diduduki bangunan kuno, taman kota, dan permukiman kumuh pada dasarnya adalah faktor produksi. Sebagai faktor produksi, taman kota akan dipandang sebagai ruang kosong belaka seolah-olah ruang yang hanya menunggu diisi dan dikolonisasi. Bangunan kuno dan permukiman kumuh akan dinilai terutama sebagai eksternalitas negatif yang hanya merusak harga lahan kawasan. Pembongkaran menjadi tak terhindarkan karena, menurut Paul Walter Clarke, ''Bangunan-bangunan tersebut menguasai lokasi tersebut. Jika lokasi lebih berharga daripada bangunannya, bangunan menghalangi realisasi dari nilai (rupiah) baru yang diharapkan. Dalam situasi seperti ini, hanya melalui penghancuran nilai lama (lingkungan dan bangunan), nilai yang diharapkan baru bisa diciptakan'' (The Economic Currency of Architectural Aesthetics, l992). Rangkaian ''kreasi yag destruktif'' ini, walau tak terasa sebagai gelombang besar, masih tetap terasa sebagai riak yang konstan di kota-kota Indonesia. Bila riak tersebut masih saja menandai pertumbuhan kota-kota kita, pada suatu saat nanti, kota-kota di Indonesia akan menjadi saksi bahwa kita adalah bangsa yang kurang menghargai hak warga dalam menggunakan ruang publik. Kota kita juga akan bersaksi bahwa masyarakat berpenghasilan menengah ke atas ternyata lebih berhak tinggal di perkotaan. Dan kota kita juga akan bersaksi bahwa kita pernah mengelola kota dengan cara yang tidak berkebudayaan. Kota semacam ini akan menyimpan marah karena di dalam dirinya tidak lagi terdapat lapisan-lapisan artifak kesejarahan, dan variasi kultural.*)Penulis adalah arsitek dan perencana kota, menjabat Ketua Jurusan Fakultas Teknik Arsitektur Unika Soegijapranata, Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus