Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH malang Anandira Puspitasari. Ibu satu anak ini bak sudah jatuh tertimpa tangga. Upayanya mencari keadilan atas dugaan perselingkuhan sang suami, Letnan Satu Malik Hanro Agam, belum membuahkan hasil. Namun Anandira malah terancam menjadi korban kriminalisasi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah Anandira kembali menarik perhatian publik sebulan terakhir. Kepolisian Daerah Bali menangkapnya di kawasan Cibubur, Jawa Barat, pada Kamis, 4 April 2024. Anandira ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyebaran informasi elektronik tanpa hak, yang dilarang oleh Pasal 32 ayat 1 UU ITE. Polisi belakangan menangguhkan penahanan Anandira—yang kini melayangkan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka.
Sebelumnya, tepat setahun lalu, Anandira dan Agam menjadi buah bibir di media sosial dan pemberitaan sejumlah media massa. Anandira menguak dugaan perselingkuhan dan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) suaminya. Dalam perkara ini, Pengadilan Militer III-14 Denpasar memvonis Lettu Agam hukuman 8 bulan penjara tanpa pemecatan pada Desember 2023. Agam, dokter militer yang bertugas di Kesehatan Daerah Militer XI/Udayana, hanya dinyatakan terbukti menelantarkan istrinya. Kasus dugaan perselingkuhan ini dalam proses kasasi.
Di tengah upaya hukum itu, Anandira kini justru terancam pidana. Polisi menindaklanjuti laporan Bianca Allysa, perempuan yang sebelumnya disebut-sebut menjalin hubungan dengan Lettu Agam. Bianca, anak Kepala Kepolisian Resor Kota Malang Komisaris Besar Budi Hermanto, melaporkan akun Instagram @ayoberanilaporkan6 milik Hari Soelistya, yang sebelumnya menjadi kuasa hukum Anandira. Polisi lebih dulu menetapkan Hari sebagai tersangka atas unggahan yang berisi dugaan percakapan online antara Agam dan Bianca tersebut.
Riwayat itulah yang menjadi awal kejanggalan tindakan kepolisian. Penyidik menjerat Anandira atas unggahan di akun media sosial milik orang lain. Sekalipun Anandira menjadi sumber dari materi unggahan di media sosial yang dipersoalkan, polisi semestinya melihat bahwa tindakan perempuan 34 tahun tersebut sebagai upaya membela diri. Anandira berhak dan berkepentingan melindungi diri dan keluarganya yang terancam oleh perilaku sang suami.
Penetapan status tersangka atas Anandira juga tampak dipaksakan. Polisi menggunakan Pasal 32 UU ITE, delik pidana yang umumnya digunakan dalam menindak penyebaran informasi atau data pribadi. Penggunaan pasal tersebut ditengarai hanya sebagai siasat agar penyidik tetap bisa menyeret Anandira.
Sebelumnya, penegak hukum kerap menggunakan Pasal 27 UU ITE dalam menangani kasus penyebaran informasi tentang perselingkuhan dan sejenisnya. Pihak yang dituduh melaporkan penyebaran kabar yang merendahkan martabat dan mencemarkan namanya. Penegak hukum tidak bisa lagi menggunakan pasal karet tersebut karena telah diubah dalam revisi UU ITE yang disahkan pada Januari 2024.
Tak ada jalan lain, harapan kini tersisa di tangan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pengadilan harus mengabulkan permohonan praperadilan Anandira dan menyatakan penetapan status tersangka oleh Polda Bali batal demi hukum. Jika dibiarkan berlanjut, penetapan status tersangka secara serampangan terhadap Anandira akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Nyatanya, sekalipun telah direvisi, UU ITE tetap menjadi ancaman serius bagi setiap warga negara karena masih menyediakan banyak ruang bagi kriminalisasi.