Sehubungan dengan adanya polemik antara Sdr. Kwik Kian Gie dan Sdr. Abdul Karim (Liem) Feidryson Linggo mengenai penggantian nama dari golongan WNI Tionghoa (TEMPO, 12 September 1987, Komentar), saya ingin ikut menanggapi: 1. Landasan penggantian nama adalah UU Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarpa (L.N. Nomor 15 Tahun 1961, penjelasan dalam TLN nomor 2154). 2. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang itu ditegaskan bahwa penggantian dan penambahan nama keluarga adalah juga untuk menghilangkan hambatan asimilasi. 3. UU ini menurut konsideransnya merupakan penjabaran Tap MPRS (nomor I dan II tahun 1960 karena sebelum tahun 1961 tidak ada Tap MPRS lainnya), tapi tak ada ketentuan yang bernada asimilasi dalam induk ketetapan-ketetapan itu. 4. Tap MPRS Nomor I Tahun 1960 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan adanya Tap MPR Nomor V Tahun 1973 pasal 1 ayat (4), sedang Tap MPRS Nomor II Tahun 1960 sudah lebih dulu dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni dengan Tap MPRS Nomor XXXVIII Tahun 1968 pasal 1. 5. Sebaliknya, pada tahun 1973, dengan Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 digariskan Wawasan Nusantara, dan sejak itu bagi insan Indonesia yang penting bukan lagi asimilasi lahiriah, apalagi hanya melalui penggantian nama atau penambahan nama, melainkan: a. Merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita Bangsa. b. Mengakui Pancasila sebagai satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju sasarannya. Mengapa instansi pemerintah yang berwenang, yakni Departemen Kehakiman tak memahami hal ini. Bahkan tetap asyik mengurus soal ganti nama? Berdasarkan data tersebut, patut sekali dihargai mereka yang tidak merasa perlu berganti nama. JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo, S.H. 52 Jakarta 12870
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini