Renungan yang disodorkan Saudara Ignas Kleden berjudul "Mengimpikan sang Pemimpin" (TEMPO, 18 Juni, Kolom), sangat menggelitik. Ignas mempertanyakan, seorang pemimpin menciptakan masyarakatnya ataukah sebaliknya. Apakah ibu yang melahirkan anak, ataukah sang anak yang melahirkan ibu? Ignas kembali menampilkan pertanyaan klasik, mana yang lebih dulu, ayam atau telur. Akhirnya, persoalan paradigma dilontarkan Ignas: Apakah pendidikan di sekolah adalah sebab bagi lahirnya kepemimpinan atau hanya kondisinya? Kalau kita boleh memilah-milah, pemimpin tentu saja bukan cuma seorang. Di sebuah perusahaan, ada pemimpin puncak, madya, dan pelaksana. Di sebuah kampung, ada camat, lurah, RW, dan RT. Semua itu boleh saja kita ang,ejap pemimpin, menurut visi bawahannya masing-masing. Seorang kakak, misalnya, yang memimpin adik-adiknya tiga orang bersama-sama menuntut tambahan uang saku dari ibunya adalah pemimpin. Seorang dirigen yang memimpin sebuah orkes simfoni juga pemimpin. Batasannya, agaknya, rada kabur. Kalau tak salah cerna, tulisan Bung Ignas menyitir isu nasional yang sedang hangat menjadi pembicaraan. Yakni, ide baru dan orisinil dari Menhankam kita tentang kemungkinan mendirikan sekolah "bibit unggul". Sekolah itu merupakan kerja sama antara Taman Siswa, ABRI dan swasta. Sekolah itu untuk menyongsong generasi pasca-45 di tahun 2088 mendatang. Yang membuat saya agak berkeberatan adalah contoh-contoh tokoh yang Ignas kemukakan: Bung Karno Pak Harto dan Maria Moritessori. Argumentasinya, pemimpin-pemimpin besar itu bukan dihasilkan "sekolah" tetapi lahir sebagai anak zaman. Saya khawatir contoh-cohtoh itu terlalu "tinggi". Harus, diakui seorang tokoh "anak zaman jumlahnya memang tidak banyak. Kalau tidak, buku Who's Who akan penuh oleh sederetan nama yang jumlahnya mungkin jutaan. Saya ingin membuat analogi berikut. Di SMP, saya mempunyai teman ia bercita-cita lulus dengan nilai tertinggi di kelasnya untuk mencapai itu, nilai rata-rata ujiannya harus di atas delapan. Sebab, nilai rapor kompetitornya rata-rata delapan tiap kuartal. Karena ia lemah dalam mata pelajaran menggambar dan seni suara, ia mengambil les privat. Dalam ujian akhir, ternyata nilai mata pelajaran menggambar dan seni suaranya melonjak dari enam dan tujuh menjadi sembilan dan delapan. Apa artinya itu? Itu berarti untuk menjadi seorang pemimpin juara kaliber lokal (di kelas) tak dituntut talented bawaan lahir. Sebab, bisa dipelajari. Namun, menjadi tokoh sekaliber Leonardo da Vinci atau Heintje selain di-"sekolah"-kan, juga dituntut "bakat" luar biasa. Ada analogi lain. Untuk menjadi kapten kesebelasan RT 011. seseorang bisa hanya melalui "sekolah"nya Om Bertje. Tetapi untuk menjadi Ruud Gullit perlu "sekolah"-nya Rinus Michels dan bakat dari sono-nya. Namun terlepas dari pro dan kontra sekitar sekolah bibit unggul pemimpin dalam batas-batas tertentu bisa dicetak melalui sekolah Tinggal mana yang kita harapkan, pemimpin lokal atau kaliber dunia. Social know how pun bisa didapat lewat pendidikan. Maka, pertanyaan: Apakah sekolah merupakan sebab lahirnya pemimpin ataukah hanya kondisinya? Menurut saya, kedua-duanya benar. Mengapa sekolah di Negara Paman Sam dianggap lebih maju dan bermutu dari di negara kita? Padahal, setahu saya, materi, sarana, dan prasarana belajar di sini sudah sama dengan di sana. Perbedaannya hanya satu: kompetisinya. Di AS, rata-rata seorang guru memberikan assignment tiap minggu. Seorang siswa, kalau ingin mendapat grade A, dianjurkan membaca sekian belas text-book. Tinggi rendahnya penilaian bergantung pada dalam tidaknya penjabaran argumentasinya. Dalam ujian, sudah ada patokan: 20% mendapat nilai A, 20% nilai B, 20% nilai C, 20% nilai D, dan sisanya tidak lulus. Seorang siswa yang sering mendapat nilai A selalu diintip dan dikuntit saingan-saingannya. Bila si jagoan membaca 10 text-book di perpustakaan, maka si pengintip mencoba membaca 12. Itu untuk mengalahkan atau paling tidak menyamai nilai si pimpinan kelas itu. Itulah kompetisi. Di Indonesia, seorang siswa, kalau memperoleh nilai C saja, sudah sangat bersyukur. Pokoknya, asal lulus. Syukur-syukur, dosennya keliru memberi nilai. Dosen dituduh macam-macam. Dosen killer, bukunya tak ada di perpustakaan, atau segudang alasan lainnya. Sementara itu, dosen di sini juga kadang-kadang meresapi keberadaanya sebagai seorang motivator, komunikator, mediator, dan inspirator. Dapatkah seorang Einstein lahir di tengah-tengah pekerjaan rutinnya mencangkul di sawah dan hanya jebolan SD? Mungkinkah lahir seorang Maradona di lapangan penuh batu dan bola dari sabut kelapa? Ubahlah kondisi-nya dan sebab dari perubahan itu sehingga memungkinkan lahirnya Pele-Pele baru. Sering, memperbaiki atau menyempurnakan sesuatu jauh lebih sulit daripada membuat yang baru sama sekali. Meskipun sesuatu yang baru itu dibuat berdasarkan pertimbangan dan kesalahan-kesalahan lalu. Begitu 'kan, Mas Kleden? Itu sebabnya, mengapa Depnaker membuat BLK-BLK, bukan memperbaiki kursus-kursus keterampilan yang sudah ada sebelumnya. Juga, mengapa diadakan STAN (Sekolah linggi Akuntansi Negara) meski sudah ada kursus-kursus akuntansi dan perguruan tinggi jurusan itu. R.H. WIWOHO Jalan Tanjung Duren Raya 27 Kavling 523 Tomang Barat Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini