Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harun Al Rasid
Pengamat hukum tata negara.
BARU-baru ini Jakarta Lawyers Club menyelenggarakan diskusi dengan topik "Apakah Gus Dur bisa dikenai impeachment?" Jawabannya sudah jelas, "Tidak bisa!" Alasannya, lembaga impeachment tidak dikenal dalam hukum tata negara Indonesia.
Pertama-tama mungkin perlu diketahui dahulu apakah yang dimaksud dengan istilah impeachment. Menurut kamus Webster, artinya adalah tindakan mengajukan seorang pejabat negara di hadapan pengadilan yang berwenang atas dakwaan melakukan perbuatan yang salah (to bring a public official before the proper tribunal on a charge of wrongdoing). Di Amerika Serikat soal impeachment ini sudah diatur dalam undang-undang dasarnya. Pengaturannya sebagai berikut: Pertama, yang berwenang melakukan dakwaan adalah DPR. Kedua, yang berwenang mengadili ialah Senat, dan jika yang menjadi terdakwa adalah presiden, sidang dipimpin oleh ketua mahkamah agung. Ketiga, perbuatan yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan impeachment ialah pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan lainnya dan pelanggaran (treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors). Keempat, keputusan diambil dengan persetujuan dua pertiga suara anggota yang hadir. Kelima, sanksi utama ialah dilepas dari jabatan (removal from office). Terakhir, jika ada unsur pidana, prosesnya dilanjutkan oleh pengadilan biasa. Pada hakikatnya lembaga impeachment ini dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat menjatuhkan presiden dalam masa jabatannya, meskipun beliau dipilih langsung oleh rakyat. Namun, perlu dicatat bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Amerika selama lebih dari dua abad, dan telah mengenal 42 presiden, belum seorang presiden pun yang pernah lengser karena impeachment ini. Karena alasan di atas, topik diskusi Jakarta Lawyers Club itu lebih tepat kalau rumusannya berbunyi "Apakah Gus Dur bisa dilepas dari jabatannya (dijatuhkan) sebelum masa jabatannya habis?" Dalam hal ini jawabannya: Bisa, yaitu melalui pertanggungjawaban presiden. Ketentuan soal ini tercantum dalam Pasal 4 Ketetapan MPR No. III Tahun 1978, yang mengatakan presiden dapat diberhentikan karena "sungguh-sungguh melanggar haluan negara". Namun, perlu dicatat bahwa prosedur untuk memberhentikan presiden itu berliku-liku. Pertama-tama, DPR harus menyampaikan memorandum kepada presiden yang berisi peringatan mengenai tindakan presiden yang dianggap melanggar haluan negara. Jika dalam tiga bulan presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut, DPR menyampaikan memorandum kedua. Bila dalam waktu satu bulan presiden juga tidak memperhatikannya, baru DPR dapat meminta MPR supaya mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Ketentuan tentang pemberhentian presiden yang diatur dalam ketetapan MPR itu menambah dasar untuk pergantian presiden, sehingga Pasal 8 UUD 1945 lengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Jika presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban atau diberhentikan dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya." Jadi, ada beberapa jenis peristiwa yang dapat menjadi dasar pergantian presiden. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sudah dua kali terjadi pergantian presiden. Yang pertama pada 22 Februari 1967, ketika Presiden Sukarno diganti oleh Jenderal Soeharto. Yang dijadikan dasar pergantian (vervangingsgrond) ialah "tidak dapat melakukan kewajiban". Yang kedua terjadi pada 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto diganti oleh Prof. Habibie. Saat itu, yang menjadi dasar pergantian ialah "berhenti". Akhir-akhir ini, menjelang sidang tahunan MPR 2000, yang menurut rencana akan dilangsungkan bulan Agustus, muncul berbagai macam spekulasi politik bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan "dijatuhkan". Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kalau melalui jalur pertanggungjawaban politik, tidaklah mudah melepas presiden dari jabatannya. Perlu dicatat bahwa pemilihan presiden secara konstitusional dan demokratis dengan menerapkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 untuk pertama kali terjadi pada sidang umum MPR tahun lalu, tepatnya pada 20 Oktober 1999. Ada pihak yang menilai kinerja Gus Dur selama sembilan bulan ini tidak memuaskan dan perlu dilakukan pergantian presiden untuk mencegah makin terpuruknya bangsa ini. Di lain pihak, ada yang menilai kinerjanya cukup baik dan perlu diberi peringatan saja yang bersifat konstruktif. Memang dalam memantapkan kehidupan bernegara adalah ideal jika Gus Dur sebagai presiden RI yang ke-4 diberi kesempatan untuk mengakhiri masa jabatannya secara wajar. Lagipula, pergantian presiden belum tentu akan dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi negara dewasa ini. Hal ini semoga dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh para elite politik. Bagaimanapun, kalau memang terpaksa dan setelah dipertimbangkan secara seksama mengenai buruk baiknya masalah pergantian presiden, seyogianya pemecahan masalah dilakukan secara konstitusional. Maksudnya, dengan memegang teguh "aturan main" yang berlaku dan tidak lagi merupakan penyelesaian politik untuk golongan tertentu dengan menggunakan "kemasan konstitusi". Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |