Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA anak itu Tulus Haryadi. Bulan lalu umurnya genap setahun. Anak yang tampak ceria ini tumbuh sehat dan aktif. Orang-orang di lingkungannya mengatakan, "Kami mengasuhnya bersama-sama." Namun siapa menyangka Tulus memiliki latar belakang kelam. Ia dilahirkan dari rahim seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang tergopoh-gopoh pulang dari Timur Tengah. Begitu pesawat mendarat, ibu yang mengandungnya langsung menuju toilet Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta—untuk melahirkannya.
Pak Najib, petugas kargo di bandara yang kebetulan berada di dekat toilet itu, membantu sebisanya. Setelah sedikit pulih dari persalinan darurat, perempuan itu pun meninggalkan anak tak berdosa yang lahir dari ibu yang menderita karena pemerkosaan dan penganiayaan. Di toilet Terminal 3, setidaknya sudah dua TKW melahirkan. Di perkampungan dekat Bandara Soekarno-Hatta, sudah belasan anak diadopsi penduduk setempat. Mereka anak-anak TKW yang telantar, yang tak mendapat pengakuan dari ibu dan bapak biologisnya.
Ini secuplik gambaran beratnya taruhan yang harus diambil para tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya TKW, yang mengais rezeki di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Menurut data yang dihimpun Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), pada 2002 tercatat begitu banyak masalah yang menimpa TKI: penelantaran (2.478), penipuan (1.685), penyekapan (470), pelecehan seksual (31), pemerkosaan (27), bahkan kematian (177).
Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2002 juga memperlihatkan, dari 319.029 TKI yang pulang melewati Terminal 3, sedikitnya 37.508 orang (11,75 persen) mengaku terkena masalah, dari penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, pemecatan sepihak, hingga gaji yang tidak dibayar. Di balik cerita sukses TKI, kekerasan demi kekerasan tampaknya mewarnai bisnis tenaga kerja ini. Di Bandara Juanda, Surabaya, peti mati pun berdatangan, walau umumnya luput dari perhatian kita.
Bandara megah Soekarno-Hatta menjadi saksi derita anak bangsa ini. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Januari-September 2003 menunjukkan, setidaknya 27.308 TKI (12,14 persen) yang pulang melalui Terminal 3 mengadu mendapat masalah. Luka di badan akibat pukulan atau siraman air panas ataupun cairan kimia, penipuan, pemerkosaan, dan gaji tak dibayar mewarnai pengaduan mereka. Di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, arus pasien TKW bergantian keluar-masuk untuk mendapat perawatan karena gangguan jiwa. Saat Nurcholish Madjid menjenguk, satu dari mereka berdiri di tempat tidur menyanyikan Indonesia Raya. Suaranya parau, tatapan wajahnya kosong.
Apa dosa negeri ini? Bila kita lihat gambar besar masalah ini, pertama, semuanya terjadi akibat gagalnya negara menciptakan lapangan kerja, khususnya untuk penduduk usia muda lapisan bawah. Selama krisis terjadi, jumlah penduduk miskin meningkat. Angka pengangguran menggila. Pada 2002 diperkirakan penganggur terbuka mencapai 9,1 juta orang, sementara penganggur terselubung 33,7 juta (pidato presiden di Sidang Tahunan MPR 2003). Angka yang lebih besar ditunjukkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional proyeksi 2003: penganggur terbuka mencapai 10,13 juta orang (9,85 persen dari angkatan kerja), dan pada 2004 mencapai 10,83 juta orang (10,32 persen dari angkatan kerja). Lonjakan angka ini terlihat jelas jika dibandingkan dengan angka 1996, semasa Orde Baru, yang hanya mencapai 4,3 juta (4,86 persen dari angkatan kerja). Tak pelak lagi, arus pencari kerja meledak, dan tuntutan untuk menjadi TKI, bagaimanapun risikonya, akan tetap tinggi.
Kedua, meledaknya tuntutan pencari kerja ini mengalami komplikasi dengan gagalnya negara meningkatkan akses dan kualitas pendidikan untuk rakyat. Dalam World Education Forum di Dakar, Senegal, pada 2000, Indonesia masuk ke dalam negara yang disebut gagal menjalankan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Saat ini situasi terlihat semakin buruk dengan banyaknya fasilitas sekolah yang roboh karena lapuk atau terbakar karena konflik sosial. Akibatnya, bursa angkatan kerja penuh dengan tenaga kerja berpendidikan rendah. Mereka hanya mampu menempati pekerjaan buruh kasar seperti pembantu rumah tangga. Akibatnya, tenaga kerja yang menjadi TKI pun rentan kedudukannya.
Sialnya, dalam situasi ini, nasib TKI semakin tak beruntung akibat manajemen negara yang amburadul. Tidak seperti Filipina, Indonesia ternyata setengah hati dalam mengupayakan perlindungan tenaga kerja. Coba lihat, sejak awal pemberangkatan hingga penempatan dan pemulangan, para TKI terlalu sering menjadi sasaran penipuan, eksploitasi, dan penyiksaan. Upaya perlindungan hanya berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 104A/2002 yang tanpa gigi. Itu pun disinyalir banyak pasal yang lebih berpihak pada perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PPJTKI), bukan pada TKI. Padahal sumbangan TKI terhadap devisa pada 2002 saja mencapai US$ 1.029 juta!
Agar republik ini tidak menjadi republik biadab, DPR dan pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Perjanjian bilateral juga harus segera diperjuangkan. Dalam masa jeda, tak salah bila peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) diberlakukan sebagai payung hukum bagi langkah-langkah darurat. Minimal, langkah darurat itu meliputi penyelamatan TKI yang saat ini banyak terkatung-katung di luar negeri, seperti tersekap di rumah majikan atau di penjara, ataupun mereka yang tiba di Terminal 3 dalam keadaan sakit.
Hari ini kita semua bertanya: siapa lagi politikus yang mampu menyaksikan kebiadaban berjalan setiap hari tak henti dipersembahkan di Terminal 3 Soekarno-Hatta?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo