Saya ingin mengemontari tulisan Saudara Bambang Rahardjo M. (TEMPO, 1 April 1989) tenang jumenengan Sultan Hamengkubuwono X. Pemberian gelar Sultan oleh kerabat Keraton Yogyakarta, baru-baru ini, didasarkan pada penetapan HB IX semasa Mangkubumi berusia 36. Mangkubumi ditetapkan bergelar G.K.P.H. Ini langkah pertama (petunjuk) bahwa ia dicalonkan untuk menjadi putra mahkota. Julukan (gelar tambahan) Kalipatullah Panatagama haruslah diartikan hanya dalam lingkup Keraton Yogyakarta dan bukan dalam lingkup suatu negara Republik Indonesia. Dengar demikian, tak akan menimbulkan kerancuan. Perlu diketahui bahwa Presiden Soekarno pun, dalam Piagam Penetapan bertanggal 14 Agustus 1945, juga menggunakan gelar tersebut untuk HB IX. Bila diperbandingkan, maka "kirab" HB IX sudah jauh berbeda dengan "kirab" HB IX. Waktu itu "kirab" mengelilingi Kota Yogyakata. Sedangkan HB X hanya sebatas keraton saja. Jadi, jauh lebih sempit. Bila kita mengamati lebih mendalam pidato jumenengan HB X dan melihat kehadiran puluhan menteri serta pejabat-pejabat tinggi, maka jumenengan itu tak bertentangan dengan pemerintah RI. Pertanyaan mungkin timbul, adakah dasar hukum yang bisa di jadikan landasan. Ternyata, memang ada. Yakni pasal 18 UUD 1945, yang penjelasannya, antara lain berbunyi "Dalam wilayah Republik Indonesia terdapat 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Daerah-daerah itu mempunyai susunan aslidan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa." Perlu saya kemukakan, uraian Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo dalam buku Tahta Untuk Rakyat, terbitan PT Gramedia Jakarta, 1982, halaman 66, antara menyebutkan, "Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut."ISWANDONO POERWODINOTO Raya Malaka 160 Jakarta 13460
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini