BETAPA cepat arah angin berganti. Jailani Naro, 60 tahun, yang beberapa bulan silam didukung bulat oleh segenap jajaran PPP, tiba-tiba kini mulai dihantam. Sejumlah pimpinan PPP di daerah, yang dulu mendukung, kini menantangnya. Mereka menolak menjadikan Naro sebagai satu-satunya calon Ketua Umum PPP di muktamar Agustus mendatang. "Apa artinya muktamar jika calon ketua sudah diputuskan jauh sebelumnya?" kata Karmani, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jawa Tengah. Karmani tak sendirian. Ia didukung oleh 35 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang ada di provinsi itu. Para ketua DPC se-Jawa Tenah memang telah berkumpul di Semarang, Rabu pekan lalu, untuk sebuah Konperensi Kerja Wilayah (Konkerwil) dengan acara tunggal: masalah Muktamar II PPP. Keputusan dari perhelatan dengan 200-an hadirin itu ialah mengamanatkan kepada DPP PPP untuk menyelenggarakan muktamar tepat waktu, yaitu Agustus 1989, dan muktamar itu harus sehat dan demokratis. Artinya, semua peserta dapat menyuarakan aspirasinya. Karena itu, dalam suasana pramuktamar kini, kegiatan dukung-mendukung seorang calon harus dihindarkan. Selain itu, Konkerwil ini juga menyusun kriteria personalia DPP yang akan dipilih di muktamar: bertakwa dan berakhlak karimah, mampu mengimplementasikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, serta jauh dari sikap otoriter dan nepotisme. Keputusan yang mirip dibuat oleh Konkerwil PPP Sumatera Utara, 5-7 Maret yang lalu. Sekalipun kabarnya sejumlah cabang menantang, toh Konkerwil itu menuntut pada DPP agar peserta muktamar nanti ditentukan oleh DPW dan DPC masing-masing, tidak oleh DPP, seperti yang terjadi pada Muktamar I di Ancol, Jakarta, 1984. Untuk kriteria calon pimpinan PPP, diputuskan hendaknya ia seorang yang sudah melewati jenjang kepemimpinan partai, tidak tiba-tiba sudah meloncat ke DPP. DKI Jakarta malah lebih keras. H.M. Djufrie, Ketua DPW Jakarta, menegaskan kepada wartawan Senin pekan lalu bahwa PPP Jakarta menolak pencalonan Naro dalam muktamar nanti. "Ini demi menyelamatkan partai," katanya. Djufrie menilai, sebagai ketua partai,Naro telah mengabaikan tugas-tugas negara. Untuk tuduhan itu, memang alasan yang dipakai oleh dokter tamatan UGM ini bukan baru. Hal ini sudah pernah dipersoalkan Syarifuddin Harahap dan Badrut Tamam Achda, dua penantang Naro beberapa bulan seusai Muktamar 1. Yaitu adanya materi AD/ART PPP produk muktamar yang bertentangan dengan UU Nomor 3/1975. Misalnya, masih tercantum istilah ranting dan anak cabang untuk kepengurusan PPP tingkat desa dan kecamatan, padahal itu bertentangan dengan asas massa mengambang, yang menentukan bahwa kepengurusan parpol dan Golkar hanya diperkenankan sampai tingkat kabupaten. Selain itu muktamar masih menetapkan Ka'bah sebagai lambang PPP, padahal partai itu sudah menerima asas Pancasila. Sesungguhnya DPP PPP, melalui sejumlah SK yang dikeluarkan pada Desember 1984, telah memperbaiki semua itu, termasuk mengganti Ka'bah dengan lambang bintang. Maka, gempuran Djufrie ini memang terasa mengada-ada. Namun, selain itu, Djufrie masih punya senjata lain. Ia mengingatkan koreksi Presiden Soeharto terhadap Naro lewat buku otobiografi, Soeharto -- Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. "Otobiografi itu sebagai petunjuk bahwa Pak Naro itu dalam kepemimpinannya punya kekurangankekurangan yang mestinya bisa dia selesaikan," ujar Djufrie. Sebagai mandataris MPR, menurut Wakil Ketua DPRD DKI itu, wewenang untuk menilai sesuatu ada pada Presiden. "Otomatis Bapak Presiden punya kriteria kriteria terhadap penilaiannya," kata Djufrie. Terlepas dari benar tidaknya pendapat Djufrie, beberapa peristiwa ini bisa menjadi contoh betapa kini dukungan terhadap sosok Haji Jailani Naro tak lagi utuh. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Padahal, kekukuhan dukungan jajaran PPP terhadapnya ketika mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden di Sidang Umum MPR Maret tahun lalu sungguh layak dicatat sebagai kredit tersendiri untuk Naro. Betapa tidak. Ketika itu 93 anggota MPR dari fraksi bintang itu secara kompak mendukung Naro. Bahkan ketika tekanan mulai bermunculan untuk memundurkan Naro sebagai calon -- misalnya Sekjen Golkar saat itu, Sarwono Kusumaatmadja, meminta Naro mundur saja karena ia pasti kalah -- semua anggota F-PP mengadakan baiat (sumpah) untuk memilih Naro bila terjadi voting pemilihan Wapres di Sidang MPR. Baiat itu dilakukan di Ruang Hotel Sahid Jaya, malam hari, 8 Maret 1988, dipimpin oleh Kiai Mohammad Basri dari Jawa Barat. Sebelumnya, dalam sidang Dewan Partai di Jakarta, 15-16 Januari 1988, untuk mempersiapkan diri menghadapi sidang Umum MPR, berbagai pujian dan dukungan berhamburan ke arah Ketua Umum PPP itu. Sidang Dewan Partai adalah sebuah forum setingkat di bawah muktamar, dihadiri oleh seluruh pengurus DPP, Majelis Pertimbangan Partai (MPP, semacam lembaga penasihat DPP), anggota F-PP, serta ketua DPW seluruh Indonesia. Forum inilah yang memutuskan agar Naro dicalonkan sebagai Wakil Presiden. Keputusan lain meminta Naro untuk bersedia terus memimpin PPP dalam periode yang sedang berjalan, dan kesediaannya dicalonkan dalam periode yang akan datang. Semua DPW dan DPC PPP di seluruh Indonesia diharapkan memperjuangkan terpilihnya Naro di muktamar. Keputusan ini ditandantangani oleh Hasan Rahaya, Ali Tamin, dan Fadjaruddin Tamar, selaku pimpinan sidang pleno Dewan Partai itu. Dengan hasil Dewan Partai ini, sebenarnya muktamar Agustus mendatang itu cuma meminta kesediaan Naro dipilih sebagai Ketua Umum PPP. Begitu di depan muktamar Naro menyatakan bersedia dipilih, maka palu sudah bisa diketukkan. Bukankah peserta muktamar tak lain dari utusan DPW dan DPC yang sudah bertekad untuk memilih Naro? Maka, tak aneh kalau Sekjen DPP PPP Mardinsyah menyatakan bahwa sudah tertutup kemungkinan untuk memunculkan tokoh selain Naro. "Nanti dalam muktamar, kami langsung akan minta kesediaan Pak Naro, sebelum mengukuhkannya sebagai Ketua Umum PPP," ujar Mardinsyah, seperti dikutip Jawa Pos, 11 September 1988. Dan PPP nampaknya sudah bersiap untuk menyongsong muktamar itu. Untuk mempersiapkan materi muktamar, dibentuk tiga tim dengan SK DPP, 21 September 1988, masing-masing dipimpin oleh Darussamin, Ismail Hasan Metareum, dan Muhammad Baidhowi. Mereka adalah ketua DPP PPP. Tapi pada 30 September 1988, dalam sebuah rapat, terjadilah pertentangan antara kubu Naro dan Hartono Mardjono, Yusuf Syakir, Ismail Hasan Metareum, serta Husnie Thamrin. Pokok soal ialah munculnya keterangan Husnie Thamrin, Wakil Sekjen PPP, di harian Jawa Pos beberapa hari sebelum rapat itu, bahwa ia melihat sejumlah calon ketua umum layak ditampilkan di muktamar yang datang, selain Naro. Untuk itu, bekas Ketua Umum KAPPI itu menyebut nama Mardinsyah, Darussamin, Hartono Mardjono, Yusuf Syakir, dan Ismail Hasan Metareum. Maka, dalam rapat itu, Naro meminta ketegasan sikap orang-orang yang disebutkan Husnie. Mardinsyah dan Darussamin -- keduanya dikenal orang dekat Naro segera mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tak bersedia dicalonkan. Tapi Yusuf Syakir, Hartono Mardjono, dan Ismail Hasan Metareum tak bersedia membuat pernyataan yang sama. Menurut beberapa sumber, keengganan tokoh-tokoh itu membuat suasana pertemuan jadi panas. Sampai datang magrib, pertemuan akhirnya bubar, tanpa ada kesesuaian antara Naro dan Hartono Mardjono dan kawan-kawan. Kepada TEMPO, Husnie Thamrin mengatakan, sejak September lalu, saat muktamar mulai dipersiapkan, mereka sudah berharap untuk menjadikannya sarana pengembangan demokrasi. Artinya, di dalam muktamar itu tidak mesti yang muncul calon tunggal, apa lagi merangkap sebagai formatir tunggal. "Kalau Pak Naro nanti terpilih di muktamar, sekalipun dengan saingan yang banyak, berarti dia memang kuat dan didukung banyak orang," katanya. Muktamar dengan calon tunggal dan formatir tunggal, menurut Husnie, sudah terbukti tak menjamin kekompakan dan suasana solid. Ia menunjuk Muktamar I Ancol, saat Naro menjadi ketua umum sekaligus formatir tunggal untuk menyusun komposisi DPP PPP. "Baru dua bulan sudah muncul konflik. Ada usaha kudeta Syarifuddin Harahap, gerakan Soedardji dan Zamroni, dan lainlainrya. Jadi bagi PPP, sejarah sudah membuktikan sistem formatir tunggal tak cocok," katanya. Selain itu, ada hal lain yang tak kalah penting. Husnie dan kawan-kawan ingin menjaga citra Naro, yang di Sidang Umum MPR sudah menjadi kampiun demokrasi ketika tampil sebagai calon Wapres. "Bahkan secara lantang Naro waktu itu menyatakan siap menjadi tumbal demokrasi. Jadi, kami ingin ucapannya itu ia tampilkan dalam muktamar," kata Husnie. Dalam pandangan Husnie Thamrin, tak semestinya Naro menginginkan dirinya sebagai calon sekaligus formatir tunggal, sementara di MPR ia berjuang agar calon Wapres tak tunggal, demi hak demokrasi. Untuk itu, Husnie merasa tak salah melempar sejumlah nama sebagai pesaing Naro dalam muktamar, seperti yang ia lakukan di Jawa Pos edisi September 1988 itu. Sikap seperti inilah kemudian didukung oleh sekitar separuh teman-teman Husnie Thamrin di pengurus harian DPP PPP, serta berbagai pimpinan daerah PPP, seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, Bali, serta sejumlah daerah lainnya. Meskipun sebenarnya, sejak Oktober tahun lalu, sejumlah pengurus DPP yang dekat dengan Naro pada turun ke daerah-daerah, berkampanye agar cabang-cabang membuat pernyataan mendukung keputusan Sidang Dewan Partai Januari 1988 itu, melalui Konkerwil. Dukungan pun berdatangan dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung, kemudian disusul daerah-daerah lainnya. Sampai akhir Maret lalu, seperti diungkapkan Sekjen Mardinsyah, sudah 60% cabang dan wilayah mengeluarkan dukungan untuk mencalonkan Naro dalam muktamar. Dengan demikian sebenarnya, pernyataan Mardinsyah, September tahun lalu, bahwa muktamar tinggal minta kesediaan Naro, belum pas betul. Setidaknya, kalau data 60% yang disebutkan Mardinsyah akurat, masih ada 40% cabang dan wilayah yang belum mendukung Naro. Menurut M. Yusuf Anwar Ghofar, 60 tahun, Ketua DPW PPP Jawa Barat, cabang atau wilayah yang membelot itu menunjukkan pimpinan DPW-nya tidak konsekuen. Padahal 6 pimpinan wilayah -- kecuali Irian Jaya yang tak hadir karena alasan transportasi -- yang menghadiri Sidang Dewan Partai, Januari 1988, sudah menyetujui akan mencalonkan Naro. Sepulangnya ke daerah, menurut Ghofar, mestinya mereka harus konsekuen pada keputusan Sidang Dewan Partai itu, sehingga cabang-cabang yang ada di daerahnya harus juga membuat dukungan sesuai dengan jiwa keputusan Sidang Dewan Partai itu. "Bagi saya, seluruh jajaran DPW PPP di Jawa Barat terikat untuk mencalonkan Naro dalam muktamar nanti," katanya. Bagi Ghofar, masa kepemimpinan Naro adalah masa yang istimewa: manajemen partai berjalan sampai ke tingkat bawah dan administrasi beres. Kekompakan PPP dalam Sidang Umum MPR juga suatu keistimewaan bagi anggota DPR ini. "Sepanjang umur PPP, baru sekali ini hal seperti itu bisa terjadi," katanya bangga. Bukankah dalam kepemimpinan Naro perolehan suara PPP terus merosot di dua Pemilu? Dalam Pemilu 1977, di bawah Ketua Umum H.M.S. Mintaredja, PPP memperoleh 99 kursi DPR. Di bawah Naro, dalam Pemilu 1982, kursi itu surut jadi 94, dan anjlok lagi menjadi 61, dalam Pemilu 1987 yang lalu. "Tapi apakah itu karena salah Pak Naro? Apa anggota pengurus lainnya tak ikut bertanggung jawab?" kata Ghofar, yang dilahirkan di kota yang sama dengan Naro, Palembang. Begitu pula dengan pencalonan Naro dalam Sidang Umum MPR, yang kemudian disinggung Pak Harto di buku otobiografinya, menurut Ghofar, " Kalau itu dianggap kesalahan, seolah-oleh pencalonan itu dianggap memecah belah fraksi lain, dengan cara-cara komunis, misalnya, itu adalah tanggung jawab partai, yang mencalonkannya" katanya berapi-api. Ketua DPW Jawa Barat itu amat keberatan kalau sekarang ada temannya separtai yang mengkambinghitamkan Naro karena Sidang Umum MPR itu, seperti agaknya yang dilakukan H.M. Djufrie, Ketua DPW Jakarta itu. "Di mana konsekuensi kita sebagai politisi, dan lebih-lebih sebagai muslim?" katanya tetap bersemangat. Sebenarnya, menurut Ghofar, pencalonan Naro sebagai Wapres itu harus dilihat dari segi nawaitu (niat). Katanya, "Kalau nawaitu pencalonan itu untuk memecah belah, itu salah. Tapi nawaitu PPP, untuk menunjukkan pada warga negara dan dunia luar, bahwa demokrasi di sini sehat." Soeleiman Fadeli, Ketua DPW PPP Jawa Timur, mendukung pernyataan Ghofar. Terobosan yang dilakukan Naro, katanya, mewarnai demokrasi Pancasila. Soeleiman menghubungkannya dengan pernyataan Menko Polkam Sudomo, seusai mengadakan pertemuan dengan BP7 Kamis pekan lalu, tentang perlunya dipikirkan dari sekarang tentang konsensus pemilihan Presiden dan Wakil Presiden empat tahun mendatang. (Lihat Nasional: Kerindu Jenderal Soemitro). "Menurut kami, pernyataan Pak Domo itu merupakan pembenaran terhadap penampilan politik PPP," kata Soeleiman. Tapi kenapa Naro mesti jadi calon tunggal di muktamar? Soeleiman tak melihat kandidat lain. "Beberapa nama yang beredar sekarang itu, menurut saya, cuma orang-orang dari papan bawah, yang kualitasnya tak sebanding dengan Naro," katanya. Tapi bagi Husnie Thamrin dan kawan-kawannya, itu tak perlu diperdebatkan di luar muktamar. Yang penting dipersoalkan ialah adanya berbagai konperensi kerja wilayah yang berbuah dukungan-dukungan pada Naro. Dan dukungan itu disertai pula dengan gertakan halus. "Kalau tak membuat dukungan, dianggap indisipliner dan tak loyal. Orang jadi ngeri karena mengingat pengalaman muktamar 1984, di mana para, penantang Naro tak diundang ke muktamar," katanya. Menurut Husnie, hal itu menyebabkan sampai ada wilayah PPP, yang meski tak berkenan pada Naro, terpaksa menunda-nunda Konkerwil, karena takut disuruh membuat pernyataan. Bahwa kini kubu Naro memforsir dukungan dari bawah, kata Husnie, karena Naro merasa kurang dapat dukungan dari "atas". Husnie membaca pertanda itu dari catatannya selaku Wakil Sekjen PPP: selama memimpin PPP lima tahun ini, belum sekali pun Naro -- dalam kapasitas selaku pimpinan partai -- bertemu dengan Kepala Negara. "Sebelum muktamar 1984, begitu mudahnya Naro berkomunikasi dengan Presiden," ujarnya. "Menurut saya, kalau Pak Naro sudah mendapat restu dari atas, dukungan dari bawah tidak ia pedulikan, seperti menjelang muktamar 1984." Lalu ada pula yang mengembus-embuskan bahwa Naro didukung oleh Depdagri. Boleh jadi tak semua kabar ini benar. Paling tidak, seperti kabar yang beredar di Medan, bahwa Dirjen Sospol Depdagri Harisoegiman mempengaruhi pengurus DPW PPP Sumatera Utara agar mendukung Naro dalam muktamar, ternyata tak benar. Harisoegiman memang pernah ditanya oleh salah seorang pengurus PPP Sumatera Utara, ketika berkunjung ke Medan, Maret lalu. "Dia tanya bagaimana PPP" kata Harisoegiman. "Lha, saya menjawab Ketuanya sekarang kan Naro, jadi sebagai pembina politik, saya katakan Naro jangan dirongrong, tapi didukun." Dari sini rupanya asal berita tadi. "Padahal kalau dia tanya soal muktamar yang akan datang, saya tak akan menjawab begitu." Sebab, menurut Dirjen Sospol itu, sikap Depdagri dalam muktamar nanti ialah memberi kebebasan pada peserta muktamar untuk mandiri. Tapi sebaliknya, Harisoegiman juga mendengar beredarnya selentingan seolah-olah sekarang Naro tak disukai Pemerintah. "Saya kira, itu perlu diluruskan," ujarnya. Ditegaskan Hari, bahwa Pemerintah berprinsip pada asas legalitas dan konstitusi, padahal Naro adalah hasil pilihan muktamar. "Jadi ndak benar Pemerintah tak suka pada Naro," katanya. Dirjen Sospol itu juga berpendapat, tak perlu menghubung-hubungkan apa yang tertulis di Bab 100 otobiografi Pak Harto dengan muktamar PPP mendatang. Memang, Mendagri Rudini sudah menegaskan bahwa pihaknya tak mendukung siapa pun -- termasuk Naro -- dalam muktamar mendatang. Itu, menurut Husnie Thamrin, ditandaskan Rudini, ketika menerima Husnie Thamrin dan kawan-kawan di ruang kerjanya, 29 Maret yang lalu. Mereka yang menemui Mendagri terdiri dari Hartono Mardjono, Wakil Ketua DPA dan Wakil Ketua MPP - PPP, Ismail Hasan Metareurn, Ketua DPP, Yudo Paripurno, Zarkasih Nur, dan Husnie Thamrin, masing-masing Wakil Sekjen DPP. "Mendagri mengharapkan agar muktamar berjalan dengan demokratis, konstitusional, dan mandiri," kata Husnie. Kepada TEMPO di Bandung, Senin pekan ini, Mendagri Rudini menyatakan bahwa bila dalam muktamar nanti calon yang muncul lebih dari satu, itu adalah konstitusional. "Tapi kalau nanti dipaksakan dengan calon tunggal, ya, itu terserah mereka. Bila menurut konstitusi mereka itu sudah demokratis, ya, tentu demokratis bagi mereka. Tapi bagi orang lain tentu tak akan dianggap demokratis," katanya. Dari sini agaknya bisa ditafsirkan bahwa Mendagri kurang berkenan pada calon tunggal. Bila uasana yang diinginkan Rudini ini bisa terwujud, ini berita baik. Sebab, ini berarti suksesi kepemimpinan dalam partai politik Indonesia akan memasuki babak baru. Sudah agak lama terasa bahwa di dalam setiap muktamar atau kongres parpol dan Golkar, sang Ketua Umum sebenarnya sudah terpilih sebelum kongres dibuka. Menko Polkam Sudomo juga menegaskan bahwa Pemerintah tak akan main dukung-dukungan terhadap para calon di muktamar PPP nanti. Maka ketika Naro menemuinya, melaporkan persiapan muktamar, Kamis pekan lalu, kata Sudomo, "Saya katakan atur saja yang baik, jangan gontok-gontokan," katanya kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Dengan suasana seperti ini, maka nama para kandidat selain Naro pun beredar: Hartono Mardjono, Yusuf Syakir, Ismail Hasan Metareum, dan Chalid Mawardi. Tiga nama pertama adalah oang-orang yang duduk dalarn kepengurusan PPP sekarang. Sed2ngkan Chalid Mawardi, bekas Ketua Umum GP Anshor, adalah bekas Dubes RI di Syria. Ia pernah menjabat Wakil Sekjen PPP, ketika pertama didirikan, 1973. Belakangan muncul nama H.M. Djufrie, Ketua DPW DKI, dan Karmani Ketua DPW Jawa Tengah. Tapi yang lebih menarik, semua nama-nama itu, tampaknya siap maju bila ada yang mencalonkannya di muktamar. "Saya sendiri tak tahu kalau ada yang mendukung saya di muktamar nanti. Yang penting, muktamar berjalan demokratis. Siapa yang terpilih terserah saja. Terima kasih kalau ada yang mendukung saya," kata Ismail Hasan Metareum. "Apakah saya bersedia dicalonkan atau tidak, itu tergantung muktamar. Sebab secara konstitusional, daerah-daerahlah yang akan mengajukan calon," kata Hartono Mardjono, bekas Ketua DPW PPP DKI itu Pada masa ia menjabat ketua itulah, 1977, PPP mengalahkan Golkar dalam Pemil.l di wilavah Ibu Kota yang prestisius itu. Pernyataan yang lebih blak-blakan keluar dari Chalid Mawardi. "Dari kalangan NU, tidak ada upaya secara keorganisasian untuk mendukung saya menjadi Ketua Umum di muktamar nanti. Tapi secara perorangan, satu-satunya calon yang akan diajukan oleh NU adalah saya," katanya. Kiai Syamsuri Baidlawi, tokoh tua NU di PPP, melihat kans Chalid Mawardi memang ada. "Chalid itu kan orang yang bisa diterima Pemerintah," katanya. Meski demikian, dia dan teman-temannya sesama NU di PPP masih belum menentukan sikap. "Nanti kami bersikap di muktamar," ujar kiai itu. Bagaimana Naro? Ia rupanya memilih diam. Yang diketahui, selain bertemu Menko Polkam Sudomo, Jumat pekan lalu, Naro bertemu dengan Mendagri Rudini Tak seorang tahu, jurus apa kini yang sedang disiapkan Naro, sedangkan daerahdaerah yang menantangnya bertambah banyak saja. Jawa Timur, misalnya, salah satu provinsi pendukung utamanya, sejak dua pekan lalu, mulai bocor, setelah Zaenal Mukodas, Wakil Ketua DPC Ponorogo, mulai berteriak-teriak menentang Naro, dengan tuduhan bahwa sang ketua itu otoriter dan melakukan nepotisme. Sedang Jawa Tengah dan Sumatera Utara, dengan kriteria yang dihasilkan Konkerwil masing-masing, kelihatan jelas menyodok Naro. Syarat yang diajukan Jateng, bahwa seorang ketua umum harus tidak otoriter dan melakukan nepotisme mudah ditebak, memang ditembakkan ke arah Naro. Soal nepotisme ini memang tuduhan lama, sejak Naro mencantumkan anak dan adik-adiknya dalam daftar calon anggota DPR dan MPR pada Pemilu 1987 -- dan akhirnya terpilih. Tuduhan ini menguat setelah Naro, dengan surat keputusan yang ditandatanganinya pada 21 September 1987, mengangkat anaknya, Hussein Naro, serta adik-adiknya -- Ny. Djailinar Oetomo Naro dan Eddy Wibowo Naro -- masing-masing sebagai Ketua Departemen Luar Negeri, Ketua Departemen Pendidikan, serta Ketua Departemen Cendekiawan DPP PPP. Ketiganya menggantikan kedudukan Tamam Achda dkk., yang dipecat pada 1985. Soal kriteria yang dibuat DPW Sum-Ut, bahwa sang calon ketua umum harus melalui jenjang organisasi, tak pelak lagi menyindir Naro, yang naik ke puncak PPP tanpa melewati jenjang organisasi. Yang kini menjadi pertanyaan: apakah guncangan ini akan menjatuhkan Naro dari pucuk pimpinan PPP? Soalnya, Naro memang tak bisa dianggap enteng. Ia berani, terkadang sering nekat, dan bisa cepat bertindak. Hubungannya yang erat dengan kalangan pemerintah di masa lalu (Naro pernah menjadi anggota FKP di DPR) sering dimanfaatkannya dengan baik. Selicin belut, beberapa kali ia lolos dari ancaman bahaya. Maret 1985, misalnya, dengan "restu" beberapa pejabat tinggi, Syarifuddin Harahap, Soedardji (kini almarhum), Tamam Achda, dan tokoh NU Syah Manaf, pernah mencoba mengudeta Naro. Isu lambang Ka'bah yang masih tercantum dalam AD/ART PPP hasil muktamar Ancol dipakai memojokkan Naro belum konsisten menerima asas tunggal Pancasila . Ketika itu Naro betul-betul terpepet. Sebuah muktamar luar biasa konon sudah disiapkan untuk menyingkirkannya, sekaligus meluruskan AD/ART tadi. Malah nama Sulastomo, bekas tokoh HMI dan Sekjen PPP, sudah disebut-sebut sebagai pengganti. Toh Naro bisa lolos. Dengan cepat ia mengeluarkan SK untuk menyesuaikan AD/ART PPP dengan Ketetapan MPR, sehingga alasan untuk penyelenggaraan muktamar luar biasa dipatahkan. Dengan sigap pula ia bisa membalikkan keadaan. Akhirnya, Syarifuddin Harahap dkk. malah yang terpental. Mereka dipecat dari PPP. Kemudian bekas Ketua Umum HMI Ridwan Saidi, pembantu setianya, juga ia depak tanpa ada risiko. Sekarang, dengan pola formula baru yang dipatok Rudini, akankah Naro lolos untuk kesekian kalinya?Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Tri Budianto Soekarno, Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini