DIA tergolong pandai bergaul, periang, dan punya humor. Sebagai politikus, dia juga terkenal lincah, pandai berkelit, dan tahan banting. Dialah J. Naro. orang nomor satu di Partai Persatuan Pembangunan selama 10 tahun. Selama kurun waktu itu setiap halangan yang menghadangnya bisa dia singkirkan. Tapi belakangan ini, tak lama sejak dia menyandang "gelar" sebagai bekas calon Wakil Presiden RI, muncul tantangan berat yang ingin menghalau Naro dari singgasananya. Ada kubu Chalid Mawardi, bekas dubes RI di Syria dan pimpinan GP Ansor. Kelompok ini didukung sejumlah tokoh NU. Ada lagi kubu Hartono Mardjono, Wakil Ketua DPA, yang konon direstui oleh beberapa pejabat tinggi pemerintah. Kedua kekuatan itu, tak ayal lagi, siap untuk menjepit kepemimpinan Naro lewat Muktamar II PPP Agustus mendatang. Pukulan lain datang dari beberapa tokoh partai yang tadinya berada di kubu Naro, seperti Aisyah Amini, Husnie Thamrin, Yusuf Syakir, dan Ali Thamin. Mereka telah pindah ke kubu "lawan", atau paling tidak membuat kubu sendiri yang "netral". Sementara pengamat melihat, kali ini Naro akan terpelanting. Tapi Naro menantang, "Mari kita bertanding di muktamar." Dukungan terhadap dirinya masih luas sampai awal pekan ini. Dari 27 DPW, baru lima yang menolaknya. Lantas, dari 261 DPC, pengurus cabang di tingkat kabupaten dan kodya, hanya 62 yang menolak pernyataan setia. Gerakan yang anti-Naro bisa saja bertambah hingga tibanya muktamar. Tapi, apa pun yang akan terjadi, beberapa sepak terjangnya yang kontroversial tampaknya akan dicatat sejarah. Yang paling menonjol adalah dalam SU MPR 1988 lalu. Ketika itu, di luar dugaan, Naro berani melangkah melawan arus, dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Alkisah, kekecewaan atas anjloknya perolehan suara dalam Pemilu 87, dari 26% pada Pemilu 82 menjadi 15,25, seperti terobati. Nama Naro berkibar, dan PPP mendapat simpati dari banyak kalangan. Namun, ambisi politik Naro hingga sejauh itu nampaknya kurang berkenan di hati Presiden. Ini jelas tertulis dalam otobiografi Presiden: Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Dalam buku yang sudah beredar luas itu. Soeharto menilai tindakan Naro, "Kurang tepat, karena hanya berpegang pada hak, tanpa melaksanakan kewajiban" (baca juga boks: Mengapa Harus Ngotot-ngototan). Naro tak secara langsung berkomentar ketika ditanya tentang kritik berat itu. Tapi dalam pidato tertulisnya, pada peringatan hari jadi PPP ke-16 bulan Januari silam, dia bicara soal "kolesterolisasi politik". Fenomena itu, menurut Naro, menimbulkan kehidupan politik yang tidak sehat. "Karena alur politik yang aspiratif, kritis, dan korektif akan tersumbat akibat penimbunan kolesterol politik, yang bertumpu pada mengentalnya pendekatan sekuriti dan penekanan stabilitas," tutur Naro. Partai berlambang Ka'bah itu menolak anggapan bahwa Naro telah bicara keras. Pun menolak tuduhn bahwa pidato Naro merupakan jawaban atas kritik Presiden. "Siapa bilang pernyataan itu keras? Dulu-dulu Pak Naro juga sudah bilang begitu," ujar Sekjen PPP Mardinsyah. Boleh jadi begitu. Tapi istilah baru "kolesterol politik" yang dilemparkan J. Naro sempat merebut halaman muka berbagai koran. Siapa dia sebenarnya? Nama aslinya adalah Jailani, putra Haji Datuk Naro, asal Solok, Sumatera Barat, bekas pegawai tinggi Departemen Pertanian. Di masa remajanya, Jailani pernah ikut Tentara Pelajar di Palembang, tempat dia lahir dan dibesarkan. Merantau ke Yogyakarta, di Fakultas Hukum UGM dia hanya sampai sarjana muda. Pindah ke Jakarta, dia berhasil meraih gelar sarjana hukum dari FH-UI. Di kampus Salemba itu pula, Naro, yang oleh teman-teman dekatnya biasa dipanggil dengan sebutan John, berkenalan dengan putri Mr. Moh. Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI. Lalu menikahinya. Mungkin jarang yang tahu, J. Naro adalah kakak ipar Iwan Tirta. Di masa mahasiswanya, Naro yang pernah menghuni asrama mahasiswa Pegangsaan Timur 17, Jakarta, juga dikenal aktif dalam Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD). Naro pernah menjabat sebagai jaksa di Karawang. Kemudian menjabat Kepala Dinas Reserse Kejaksaan Tinggi Jakarta, dan Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar pada 1962. Dia juga pernah giat sebentar dalam Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) 1966-67, yang dipimpin Adnan Bujung Nasution. Pada periode itu juga, dia berkenalan dengan Uddin Syamsuddin, Ketua Jamiatul Al Washliyah, sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Naro terpikat masuk organisasi yang berpusat di Medan tu. Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) hendak dibentuk, awal 1968, mulailah nama Jailani Naro masuk pelataran partai politik. Ketika itu Parmusi agak kesulitan memasang tokoh-tokohnya untuk didudukkan sebagai pimpinan partai. Maklum, pemerintah menghendaki agar partai baru itu tidak mengulangi jejak partai Islam Masjumi, yang dibubarkan di aman Bung Karno. Dua kali daftar calon fungsionaris Parmusi diajukan ke pemerintah, dua kali pula ditolak. Pada daftar nama yang ketiga, nama Jailani Naro ikut tercantum. Ketika itulah susunan pengurus partai disetujui. dan namanya berkibar menjadi Ketua III, mewakili Al Washliyah Puncak kepemimpinan Parmusi kala itu dijabat oleh Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun. Baru beberapa bulan menjadi pengurus partai, Jailani Naro mulai membuat "ulah". Dia mencoba mendongkel kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Lalu membentuk pengurus tandingan bersama Imron Kadir. Pimpinan Parmusi kontan membalas dengan memecat Naro dan Imron dari keanggotaan partai. Keributan pun pecah. Akibatnya mudah diduga: pemerintah segera turun tangan dengan tujuan menengahi. Itu berarti Djarnawi dan Naro sama-sama diminta minggir, dan Mintaredja yang tampil sebagai ketua umum. Tak seperti Djarnawi, yang mudik ke Yogya, Naro terus bermain dalam Parmusi. Usai Pemilu 1971, nama Naro kembali beredar. Dia menjabat anggota DPR dan duduk di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Parmusi, sebagai Ketua Bidang Politik. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbentuk, Januari 1973, sebagai hasil fusi empat partai Islam yang ada waktu itu: Parmusi, NU, Perti, dan PSII. Nama Naro pun menjadi sejajar dengan tokoh seperti Idham Cholid, Syaifuddin Zuhri, K . H . Masykur, Mintaredja, dan M. Gobel. Pada susunan pengurus pusat PPP yang pertama, J. Naro tercantum sebagai salah satu ketua. Partai Persatuan berhasil meraup kemajuan pada Pemilu 1977, dengan menjaring 29,9% suara pemilih. Angka perolehan itu 2,1% lebih banyak dibanding hasil suara gabungan 4 partai -- Parmusi, NU, Perti, PSII -- pada Pemilu 1971. Bahkan di daerah pemilihan DKI, PPP mengungguli Golkar dengan perbandingan suara 44: 38. Boleh jadi, sukses itulah yang membuat FPP "terlalu bersemangat" selama SU MPR Maret 1978. Dari 219 materi GBHN yang dibahas. FPP menolak dicantumkannya 69 (31) materi, termasuk di antaranya soal P4, aliran kepercayaan, dan KNPI. Ketika keputusan soal P4 diambil, FPP melakukan walk out, sehingga rantap itu terpaksa diputuskan lewat oting. Keputusan voting juga diambil untuk materi aliran kepercayaan dan KNPI. Sikap keras dari FPP itu tampaknya menimbulan kekecewaan pemerintah. Maka, predikat oposisi pun sempat melekat pada PPP. Jabatan Mintaredja sebagai Menteri Sosial, pada Kabinet Pembangunan I, tak bisa diperpanjang. Bahkan tahun itu juga Ketua Umum PPP ini harus meninggalkan kursinya, dan menyerahkan kepada Naro. Tanpa melalui muktamar. Bahwa Naro yang kemudian memegang pimpinan partai, Agustus 1978, memang agak di luar dugaan. Misi yang dibawa ketua baru ini pun mudah ditebak: membersihkan partai dari pikiran-pikiran oposan. Kebijaksanaan itu dilaksanakannya menjelang Pemilu 1982. Ketika itu Naro menyingkirkan tokoh-tokoh keras, terutama dari kalangan NU, dengan tak memberinya nomor jadi di DPR. Hal itu pula yang dijadikan salah satu alasan mengapa NU meninggalkan PPP, setelah Muktamar Situbondo 1984. Naro pun mulai dituding otoriter. Di tengah perdebatan tentang pembagian kursi di antara kelompok NU, MI (Parmusi), Perti. dan PSII, rupanya Ketua Umum PPP ini punya perhitungan sendiri. Daftar calon anggota DPR dia kirimkan ke panitia pemilihan, tanpa menunggu konsensus. Sebagian tokoh PPP menentang, sebagian lain membela. Salah satu tokoh yang mendukung kebijaksanaan Naro adalah Sudardji, dari MI, yang kemudian menjadiKetua FPP di DPR pada periode 1983-88. Merosotnya perolehan suara PP dalam Pemilu 82 (dari 29,9% menjadi 26%) tak menggoyahkan kekuasaan Naro. Bahkan di awal tahun 1984, Naro berhasil memasukkan pengikutnya untuk mengisi 24 kursi dari 37 yang tersedia di DPP. Dengan komposisi pengurus pusat seperti itulah dia mengatur Muktamar I PPP di Ancol, Agustus 1984. Hasilnya muktamar pun berpihak pada Naro. Tokoh sekuat Idham Cholid dan Sofyan pun pagi-pagi telah menyingkir dari bursa ketua umum. Maka, secara mulus Naro terpilih sebagai ketua umum periode 1984-89. Pada forum itu pula, J. Naro berhasil mengegolkan asas tunggal sebagai landasan PPP. Sesungguhnya, banyak juga jasa J. Naro buat pemerintah. Tapi itu pula yang membuat Narg hanyak dicerca dan dipuja orang.Putut Tri Husudo, Muchsin Lubis & Tri Budianto S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini