B.J. Boland, penulis The Struggle of Islam in Modern Indonesia, dalam kata pengantar bukunya menulis, pengindonesiaan bahasa Arab tidak seragam. Ia menulis buku itu pada 1969. Dan, andai kata ia membaca buku, majalah, atau koran berbahasa Indonesia saat ini, mungkin ia akan bertanya lagi, "Lho, kok, masih kacau?" Memang, meski sejak 1972, Departemen P dan K telah menerbitkan buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (kita singkat PEBID) dan telah disebarluaskan, hal itu masih belum mencapai sasarannya yang tepat. Khususnya mengenai pengindonesiaan bahasa Arab. Pengindonesiaan di sini, artinya, bahasa Arab menjadi unsur serapan, yang kemudian di jadikan kosakata bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia ternyata banyak menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain. Dari bahasa Arab diperkirakan ada 12%, terutama unsur-unsur yang berkaitan dengan istilah-istilah agama Islam dengan segala aspeknya: ibadat, hukum, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat Islami. Namun, sejauh yang saya amati dari pelbagai majalah yang terbit di Ibu Kota -- khususnya Panji Masyarakat (PM) dan TEMPO sebagai sampel -- tampaknya pengindonesiaan bahasa Arabnya tidak seragam. Lihat tabel berikut: Pengindonesiaan Transkripsi PM TEMPO 1. Khotibun (khotib) khatib katib 2. Khutbatun (khutbah) khutbah kotbah 3. Masjidun (masjid) mesjid masjid 4. Romadhonun (romadhon) ramadhan ramadan S. Musholla (musholla) mushalla musala 6. Sholatun (sholat) shalat salat 7. Ummatun (ummat) ummat umat Sumber: Panji Masyarakat, edisi 1 Juli 1985 TEMPO, edisi 6 Juli 1985 Mahmud Yunus, Kamus Arab -- Indonesia, 1973, YPPPA, Jakarta Dari contoh di atas, kita dapat melihat perbedaan cara pengindonesiaan pada kedua majalah tersebut. Panji Masyarakat sebagai majalah agama Islam yang peredarannya luas, dan TEMPO, majalah mingguan umum yang juga beroplah besar dan berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mungkin punya pedoman sendiri-sendiri dalam menulis pengindonesiaan tersebut. Dan, apabila kita telusuri, dalam buku PEBID akan tampak pula bahwa dalam buku pedoman itu (halaman 32-42) contoh penulisan untuk unsur serapan bahasa Arab tidak lengkap. Yang paling banyak, contoh pengindonesiaan unsur-unsur bahasa asing yang berhuruf Latin (Inggris, Belanda, Portugis, dan lain-lain). Untuk unsur bahasa Arab hanya terwakili contoh kata: akhir dan khusus. Barangkali, di sinilah letak kekacauannya . Kalau kita ulas pengindonesiaan pada tabel di atas, akan kita dapati alasan-alasan berikut: Khotib dan khutbah: PM menulis khatib dan khutbah. Itu benar, karena dalam buku PEBID (hlm. 35) dinyatakan: penulisan kh (Arab) tetap kh. TEMPO menulis katib dan khotbah. Ini mungkin didasarkan pada contoh penulisan: charisma menjadi karisma: cholera menjadi kolera (halaman 33). Memang, sebelum ada perubahan penulisan tj menjadi c, dan ch menjadi kh, kata-kata khotib dan khutbah dulu chotib dan chutbah. Kalau ini dasar penulisannya, maka kata-kata: khusus, akhlak, akhir, khas, seharusnya juga bisa diubah menjadi kusus, aklak, akir, kas. Menurut saya, penulisan di TEMPO bisa demikian karena, barangkali, ia menyesuaikan lafal bunyi lidah orang Jawa yang sering kurang tepat mengucapkan fonem kho' (Arab). Misalnya pada kata ciri khas, jimakhir dan khianat, mereka sering mengucapkan ari kas, jimakir, dan kianat. Jika TEMPO mengubahnya katib dan kotib, kata katib itu nanti akan mempunyai arti ganda, yaitu: orang yang memberi khotbah di masjid, dan penulis seperti pada katibul awwal (Arab), artinya sekretaris satu. Dalam kasus ini, saya cenderung menuliskan khatib dan khutbah. Alasannya, bukankah penulisan anarchie dan oligarchie bisa menjadi anarki dan oligarki? (PEBID, hlm.40) Romadhon, masjid, mushollah, sholat, ummat. Saya tidak tahu alasan-alasan penulisan yang berbeda pada kedua majalah itu mengenai pengindonesiaan unsur serapan bahasa Arab tersebut. Di dalam buku PEBID juga tidak dijelaskan cara pengindonesiaan huruf-huruf dh dan sh (romadhon, musholla, sholat), dan alasan pergantian bunyi hidup o menjadi a. Sedang penulisan ummat, musholla menjadi umat dan musala, sejauh yang saya mengerti dalam bahasa Indonesia ada kecenderungan menghilangkan adanya fonem rangkap, kecuali pada kata-kata: Allah, Muhammad, bismillah, dan sebagainya. Dalam buku Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (J.S. Badudu, 1984, Gramedia, Jakarta), tidak dijelaskan cara pengindonesiaan dh dan sh. Tapi di sana dicantumkan cara penulisan akhiran iah, i, dan wi (bahasa Arab) seperti pada kata: ilmiah, rohani, dan duniawi. Sedang W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976, Balai Pustaka) menulis romadhon, masjid, musholla, sholat, ummat, menjadi: Ramadan, masjid, musala, salat, dan umat. Juga penulisan khotib dan khutbah menjadi: khatib dan khotbah. Jika dilihat pada tabel akan menjadi seperti ini: PM TEMPO Kamus Umum BI 1. Khatibkatib khatib 2. Khutbahkotbah khotbah 3. Mesjidmasjid masjid 4. Ramadhan ramadan ramadan S. Mushalla musala musala 6. Shalat salat salat 7. Ummat umat umat Jadi, jika Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai standar penulisan unsur serapan bahasa Arab, buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan seharusnya mencantumkan pedoman yang lebih lengkap mengenai cara-cara pengindonesiaan bahasa Arab tersebut. Sebab, tidak hanya tujuh buah contoh di atas yang harus dituliskan secara benar, melainkan banyak sekali. Dan, dari yang banyak itu, masih banyak pula orang menuliskannya dengan keliru. Misalnya contoh kata Ramadan masih ditulis dengan: Rhomadon, Romadzon, Rhamadan . Dengan demikian, adanya kekacauan penulisan ini menimbulkan citra, seolah-olah, cara pengindonesiaan bahasa Arab seenak orang yang mau menuliskannya. Masih individual. Apabila ragu-ragu dalam menulis dengan cara yang benar, saya kira lebih baik menuliskan transkripsinya saja, dan digarisbawahi (cetak miring), agar bisa diketahui bahwa kata itu adalah unsur bahasa asing. Agar pengindonesiaan bahasa Arab khususnya, dan bahasa asing lain pada umumnya, bisa memasyarakat, kuncinya selain ada pada para penulis sendiri, perhatian juga ditujukan pada para penerbit yang berhubungan dengan masyarakat luas (koran, majalah, buku, dan sebagainya). Sebab, mereka merupakan korektor terakhir. Bila si korektor sendiri tidak pernah tahu-menahu dengan penulisan bahasa baku, ya, berabe. Tambah kacau. Dan, lagi, tentu saja usaha ini harus didukung para pemegang kekuasaan dalam bidang-bidang ilmu bahasa, ilmu agama, dan lembaga yang berwenang menentukan peraturan tentang hal tersebut. RUSDI SURIPNO SIHA Jalan Solo GK II/185-B Yogyakarta 55222
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini