Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Melecehkan martabat wanita?

Tanggapan pembaca atas kolom jalaluddin rakhmat (tempo, 6 november 1993, kolom) tentang perkawinan mut'ah.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom Jalaluddin Rakhmat dalam TEMPO, 6 November, memang ''menggelitik'' dan ''merangsang''. Saudara Arlansyah, misalnya. Ia, lewat tulisannya dalam Komentar TEMPO, 20 November, menggugat Kang Jalal. Kenapa Jalal tak mengkritik kemapanan mazhab Ja'fari yang membolehkan perkawinan mut'ah untuk mengimbangi tema tulisannya? ''Bukankah perkawinan jenis ini sama halnya dengan melecehkan martabat kaum wanita?'' tanya Arliansyah. Benarkah Kang Jalal tak berani menghujat kemapanan fikih Ja'fari? Perkawinan mut'ah dalam tradisi fikih Ja'fari adalah absah. Argumentasi-argumentasi yang mereka bangun berpijak pada dalil-dalil yang kuat, akurat, dan jelas. Otentisitas dan validitas hujjah-hujjah mereka amat bisa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan keabsahannya. Bila kita mau jujur dan menganalisa sumber-sumber hukum Islam secara dalam, yakni dengan berbagai macam sudut pandang, niscaya akan kita dapati titik persamaan persepsi dengan mereka. Hanya pendekatan sepihak dan tersekat dalam fanatisme mazhab sajalah yang menghalangi kita untuk sampai ke kebenaran. Nabi Muhammad saw. menghalalkan nikah ini berdasarkan Quran (Q.S. Annisa 24). Begitu juga para sahabat nabi seperti Abdullah Ibnu Abbas, Jabir Ibnu Abdillah, Anshari Umar Ibnu Hasan, Ibnu Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, dan Ali Bin Abi Thalib. Tapi tak semua mazhab dalam Islam membolehkan perkawinan mut'ah, terutama ahlussunnah. Perlu diketahui, tak semua pula dari golongan ahlussunnah yang melarang mut'ah. Misalnya, Ibnu Abbas dan Hakam Ibnu Ainiyah. Yang mengharamkan beralasan, ayat tentang mut'ah telah dihapuskan oleh ayat lainnya. Ada juga yang berpendapat, ayat itu telah digugurkan oleh hadis Nabi. Tapi argumentasi mereka bertentangan satu sama lainnya. Hadis Bukhori dan Muslim, misalnya, menyatakan bahwa Nabi saw. membatalkan mut'ah ketika Mekah ditaklukkan. Atau pada waktu Benteng Khaibar ditaklukkan. Ada yang mengatakan, itu terjadi ketika perang Iltas. Ketika para sahabat Nabi mengakui keabsahan mut'ah, apakah itu disebut melecehkan wanita? Bukankah Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, ''Kalau saja Umar tak mengharamkan mut'ah, maka tak ada orang yang melakukan zina, kecuali orang yang zalim. Bukankah Ali pintunya ilmu dan Nabi saw. kotanya pengetahuan? Bukankah kebenaran selalu bersama Ali, dan Ali selalu bersama kebenaran?'' Akhirnya dalil tentang keabsahan nikah mut'ah terlalu kuat untuk dirobohkan. Begitu pula dengan mazhab Ja'fari yang menghalalkannya. Saya rasa tepat langkah Kang Jalal untuk tidak mencoba menghujat kemapanan fikih mereka. Kumaha, Kang Jalal? Dan bagaimana, Bang Arlansyah? MUSTOFAKompleks Dosen Jalan ASPI 100 Kelurahan Pisangan, Ciputat Jakarta Selatan 15419

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus