Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DORONGAN untuk bersatu-padu tampaknya lebih kuat daripada kehendak berdiri sendiri. Eropa memberikan contoh bahwa penggabungan ekonomi, keuangan, hukum, bahkan politik, di antara negara-negara di benua itu bukahlah sesuatu yang mustahil.
Di Asean, dorongan bersatu itu diperkuat ancaman dua adikuasa ekonomi baru, Cina dan India. Yang pertama ditopang oleh kekuatan dahsyat, dengan sumber daya manusia yang mencapai 1,3 miliar orang. Yang kedua memiliki 1,2 miliar penduduk. Kita tahu, rasa takut itu juga yang menggiring lima negara Asia Tenggara ini bertemu di Bangkok 42 tahun silam, lantas sepakat mendeklarasikan Asean. Tapi ancaman perang kali ini bukan lagi berasal dari bendera merah Vietkong di Vietnam Selatan dan seolah-olah menyebarkan pesan: giliran kalian tak lama lagi.
Perang kali ini bakal berbeda. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa membayangkan sebuah kekalahan dalam bentuk ketidakmampuan Indonesia menarik investasi dari luar. Seorang pengusaha baja nasional membayangkan rekan-rekannya akan gulung tikar karena produknya kalah bersaing dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah.
Asean memang telah mempersiapkan diri menghadapi persaingan mematikan ini. Krisis ekonomi 1997 yang berubah menjadi krisis multidimensi telah menjadi pelajaran berharga mengenai keterkaitan negara-negara anggotanya. Tak satu pun negara terbebas dari krisis di kawasan itu. Maka semua negara sepakat memperkukuh ketahanan ekonomi kawasan ini. Dan itulah yang melahirkan gagasan pembentukan Komunitas Asean 2015. Apa yang telah dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asean di Hua Hin, Thailand, dua pekan lalu itu menunjukkan bahwa persiapan mewujudkan komunitas tersebut sungguh tidak mudah. Salah satu syaratnya, penghapusan hambatan tarif perdagangan barang mulai 1 Januari 2009, kecuali yang masuk kategori sensitif dan sangat sensitif, tak gampang dicapai.
Menteri Perdagangan Mari Pangestu menyatakan kesiapan Indonesia sudah mencapai 80,9 persen. Apa boleh buat, persiapan ini mengakibatkan benturan antara kepentingan nasional dan kepentingan regional Asean. Sebenarnya, mampukah kita mengintegrasikan sektor-sektor utama yang menjadi prioritas? Sejauh mana persiapan petani kita untuk bersaing dengan petani Vietnam dan Thailand? Ya, keraguan serupa juga muncul manakala kita mulai mempertanyakan kemampuan bersaing kita dalam industri tekstil dan lainnya. Sistem yang terbuka—seperti yang diperlihatkan Menteri Perdagangan dengan menyatakan kesiapan 80,9 persen—akan membuka kemungkinan para petani kita bertarung tanpa proteksi melawan sesama petani Asean. Bisa dipastikan, korban pertama sebelum integrasi tahun 2015 adalah orang-orang dari lapisan terlemah.
Di Hua Hin, Piagam Asean, konstitusi Asean yang memberikan pijakan di bidang politik dan keamanan, telah disetujui secara resmi, dan bayangan tentang Komunitas Asean 2015 kini semakin jelas. Tapi masih ada masalah mendasar bagi Indonesia, yaitu minimnya sinergi antara langkah internasional yang dijalankan para diplomat kita dan langkah-langkah domestik. Keberhasilan diplomasi Indonesia di forum internasional belum diimbangi upaya perbaikan di dalam negeri.
Enam tahun lagi komunitas Asean terbentuk. Dan ternyata masih banyak faktor yang mencemaskan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo