Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WALAU pos wakil menteri sudah dicoba dibenarkan dengan berbagai alasan, sesungguhnya keberadaannya tak terlalu mendesak, kalau tak bisa disebut mengada-ada. Di satu-dua departemen, barangkali pos itu memang diperlukan. Tapi, di sebagian besar departemen, menteri sebagai pemegang kewenangan tertinggi tak memerlukan wakil untuk menjalankan tugasnya.
Wakil pemimpin di organisasi mana pun keberadaannya hanya bisa diterima jika tugas sang pemimpin begitu besar ruang lingkupnya dan luas jangkauannya. Jabatan wakil juga bisa diciptakan bila sang pemimpin menjadi lebih sering bepergian. Wakil, dalam keadaan seperti itu, bisa mengambil alih atau diserahi sebagian tugas dan wewenang pemimpin. Tentu saja dalam posisi ini wakil bukanlah jabatan yang bersifat seremonial belaka atau ban serep.
Dibandingkan dengan skala organisasi Wal-Mart, Inc., misalnya, departemen dalam kabinet kita sekarang tak sama besar ukuran dan rentang kendalinya. Wal-Mart adalah salah satu perusahaan terbesar di dunia, dengan operasi di berbagai negara dan pegawai mencapai dua juta orang tahun lalu. Dengan posisi begitu pun, Wal-Mart dikendalikan langsung oleh Mike Duke, sang kepala eksekutif. Ia tidak memiliki wakil. Untuk menjalankan tugasnya, dia punya sejumlah pembantu—yang nama jabatannya menggunakan kata ”wakil”—dengan tugas spesifik. Bidang tertentu—keuangan, kehumasan, penjualan, hukum, dan lain-lain—ditangani para pembantu itu. Lebih-kurang fungsi ini seperti pembantu menteri, bukan deputi menteri.
Di Indonesia, pembantu menteri sudah ada sejak dulu. Direktur jenderal salah satu contohnya. Jumlah mereka lebih dari satu di tiap departemen dan mengepalai direktorat jenderal, membidangi urusan tertentu yang khas dari departemen yang bersangkutan. Merekalah yang mengeksekusi tugas teknis departemen. Direktorat yang mereka pimpin secara keseluruhan meliputi semua pekerjaan yang harus diurus oleh departemen.
Kecuali Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan, tak ada kementerian lain yang begitu banyak ”kerjaan” sehingga memerlukan wakil menteri. Dalam pidato pengumuman kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut tugas tambahan akan diberikan kepada beberapa departemen, dan tugas tambahan itu menuntut posisi wakil menteri. Departemen Perindustrian, misalnya, akan dibebani tugas merevitalisasi perindustrian. Departemen Pertanian mendapat tugas merevitalisasi pertanian. Tapi belum terlihat gamblang seberapa besar beban tambahan yang timbul akibat tugas itu. Sesungguhnya urgensi perlu dipertimbangkan, juga beban tambahan kas negara.
Yang jelas bisa disaksikan, sejauh ini banyak departemen yang masih belum bekerja optimal. Departemen-departemen tertentu malah pantasnya dilebur saja agar kabinet bisa lebih ramping, dan karenanya berpeluang menjadi lebih efektif. Dua situasi ini saja cukup untuk menjadi alasan bagi timbulnya sinisme bahwa pos wakil menteri berlatar belakang politik belaka—yakni untuk mengakomodasi mereka yang telah ikut mendukung Yudhoyono dalam pemilu lalu.
Untuk menepis pandangan semacam itu, Presiden wajib memastikan, dengan mengelaborasi secara terbuka, bahwa pos wakil menteri semata-mata diciptakan untuk memperluas jangkauan tugas departemen. Pos itu mestinya tidak menjadi tambahan jatah bagi kader partai politik—yang sudah terlalu banyak di kabinet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo