Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN menahan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sangat terasa polisi sedang unjuk gigi. Bibit dan Chandra ditahan setelah keduanya datang untuk wajib lapor pekan lalu, ”ritual wajib” sejak polisi menjadikan mereka tersangka pada pertengahan September lalu.
Wajar jika reaksi bertebaran. Sebagian tokoh bahkan bersedia ditahan untuk menjamin pembebasan Bibit dan Chandra. Mereka, seperti juga banyak orang, melihat ada yang aneh di balik penahanan ini. Polisi kelihatan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan berlebihan itu. Lumrah saja bila banyak orang percaya tindakan itu hanya untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Yang dikhawatirkan, fakta yang ditutupi adalah bahwa kedua pemimpin KPK nonaktif itu merupakan korban rekayasa jahat.
Polisi menyatakan kedua orang itu kerap melakukan konferensi pers. Pernyataan mereka dianggap mempengaruhi opini publik dan mengganggu penyidikan. Tentu saja Bibit dan Chandra memiliki hak berpendapat, apalagi mereka anggap kasus ini menzalimi mereka. Jika polisi menilai opini publik terpengaruh, gunakan saja cara yang sama: jumpa pers untuk menyanggah pernyataan keduanya.
Alasan polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka pun berganti-ganti. Mulanya tuduhan adalah penyalahgunaan wewenang dalam keluarnya surat cekal untuk Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radikom, dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Menurut polisi, keputusan seharusnya diambil oleh semua pemimpin KPK. Bibit dan Chandra menyanggah. Pencekalan atau pencabutan pencekalan, menurut mereka, tidak membutuhkan keputusan seluruh pemimpin KPK. Prosedur pengambilan keputusan begini sudah pula dilakukan pimpinan KPK terdahulu.
Polisi kemudian menuduh Bibit dan Chandra menerima suap dan memeras. Tuduhan ini didasarkan atas pengakuan Ary Muladi, pengusaha yang diminta Anggodo Widjojo, adik Anggoro, membereskan urusan sang kakak yang sedang disidik KPK. Kepada polisi, Ary Muladi mengaku menyerahkan duit dari Anggoro Rp 5,1 miliar kepada Bibit dan Chandra. Belakangan Ary mencabut pengakuannya. Ia mengakui sebenarnya tidak pernah memberikan uang sepeser pun kepada Bibit dan Chandra. Menurut Ary, pengakuan yang dibuatnya semata-mata hasil rekayasa Anggodo.
Jika polisi bertindak profesional, semestinya berdasarkan fakta-fakta itu segera dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Tak ada lagi alasan polisi untuk menjadikan keduanya tersangka. Tapi polisi ternyata tetap menahan keduanya. Kasus Bibit dan Chandra tetap meluncur ke kejaksaan.
Ada kesan tindakan polisi ”berkejaran” dengan meluasnya peredaran transkrip rekaman pembicaraan antara Anggodo dan sejumlah pihak, termasuk pejabat tinggi Kejaksaan Agung. Pembicaraan itu menyangkut konspirasi ”tingkat tinggi” yang dirancang untuk menjebloskan Chandra dan Bibit. Kebenaran transkrip itu memang masih perlu dibuktikan, tapi tak bisa dianggap sepi karena sangat berpotensi mencoreng wajah penegak hukum kita.
Sudah tepat jika Presiden Yudhoyono memerintahkan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus transkrip itu. Presiden, yang ikut disebut tiga kali dalam rekaman itu, menegaskan namanya sekadar dicatut. Pengusutan dan pengumuman hasilnya kepada publik nanti tentu akan menebalkan keyakinan kita bahwa Presiden tidak terlibat dalam tindak kejahatan ini.
Sebaiknya pertikaian ”cicak” versus ”buaya” ini cepat ditangani. Ini kasus luar biasa karena melibatkan pejabat negara dan komisi yang dibentuk negara. Lembaga yang punya wewenang untuk mengatasi kepolisian dan komisi antikorupsi adalah kepala negara. Presiden Yudhoyono sebagai kepala negara harus turun tangan. Dalam keadaan yang sudah tergolong darurat ini, Presiden tak bisa mendiamkan kasus ini dengan alasan takut disebut melakukan intervensi.
Presiden perlu meminta Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung untuk menonaktifkan semua pejabatnya yang diduga terlibat, termasuk Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Ritonga, dan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto. Ketiganya disebut dalam transkrip rekaman ”rekayasa” untuk merontokkan KPK. Tim pemeriksa independen juga perlu dibentuk untuk memastikan pemeriksaan tak terkontaminasi kepentingan pihak mana pun.
Bibit dan Chandra mesti dikeluarkan dari tahanan. Bila masih belum yakin keduanya tak bersalah, Presiden bisa meminta keduanya diselidiki ulang. Jika mereka bersalah, hukum harus ditegakkan. Tapi, jika tak terbukti bersalah, status tersangka keduanya harus segera dicabut dan nama baik mereka perlu secepatnya dipulihkan. Di Republik ini, perlu dipastikan tak ada seorang pun yang main rekayasa dengan kuasa besar di tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo