Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memorandum pak bupati

Th 1871 pangeran ario hadiningrat, bupati pertama di jawa yang memikirkan pendidikan di zaman baru. ia menulis memorandum, terkena di abad ke-19, tentang kemunduran prastise penguasa pribumi.

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADEN Ajeng Kartini lebih kita kenal daripada pamannya. Begitu terkenalnya anak Bupati Jepara ini sampai-sampai pamannya Bupati Demak yang juga gandrung pada pendidikan Barat surut ke belakang. Mungkin karena Kartini hanya seorang wanita (sebab itu didahulukan) atau mungkin karena tokoh ini punya hobi tulis-menulis. Sebab lain mungkin terletak pada penghayatan hidup Kartini yang lebih dekat dengan persoalan-persoalan rakyat kecil. Kartini bicara soal zaman baru yang memiliki arti lebih luas daripada jangkauan tembok-tembok adat dan kebangsawanan Jawa saat itu. Adapun pamannya Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat memang merupakan tokoh bangsawan Jawa yang amat sadar pada harkat dan prestise kebangsawanannya. Sambil rindu kepada pendidikan Barat ia rindu pula untuk mempertahankan keutuhan adat bangsa Jawa. Memorandum Tahun 1871 Setiap orang dalam setiap kurun waktu punya tanggungan sejarahnya sendiri. Begitu pula Pangeran Ario Hadiningrat yang hidup antara 1847 - 1915 sudah berupaya merumuskan dan menanggapi keadaan masyarakat saat itu. Beruntung bahwa ayahnya, Condronegoro bupati Demak, telah ikut mempersiapkan kepeloporannya sebagai bupati pertama di tanah Jawa yang menyadari pentingnya pendidikan di zaman baru. Hadiningrat mendapat pengajaran dari seorang guru privat yang diundang ayahnya, selebihnya ia belajar sendiri. Atas permintaan pihak Belanda tahun 1871 ia menulis sebuah memorandum yang pada tahun-tahun terakhir abad ke-19 menjadi amat terkenal. Memorandum itu berbicara tentang 'Kemunduran prestise penguasa pribumi dan cara-cara untuk mengubah keadaan semacam itu.' Di dalamnya dituliskan tentang sebab-sebab yang membuat amtenar pribumi kurang disegani orang, dan apa pula hendaknya dijalankan agar martabat para amtenar pribumi itu dapat dipulihkan. Memorandum itu ditulisnya dalam gaya arsitokrat yang penuh hormat dan halus. Ia mengeluh dengan hormat kepada pemerintah kolonial bahwa kemampuan para bangsawan khususnya di lapangan pendidikan semakin mundur. Demikian pula tugas-tugas yang diembannya menjadi semakin sempit. Seolah-olah mereka hanya diperintah untuk melakukan tetek-bengek oleh orang Belanda. Martabat para bangsawan telah jatuh ke tingkat martabat mandur. Dalam banyak perkara, dalam kualitas intelektual mereka, mereka tak lagi menempati posisi untuk turut menentukan kebijakan tertentu di tanah Jawa. Semakin hari para bangsawan semakin terdepak ke belakang. Sehubungan dengan semua soal yang ia kemukakan, maka perbaikan dalam rangka keadaan semacam itu hanya bisa diharapkan apabila para pejabat negeri pertama-tama diberi pendidikan dan diperlengkapi dengan ethos yang baru. Tidak lupa Hadiningrat menambahkan bahwa memorandum itu ia tulis dan serahkan dari dan kepada sahabat. Bagaimanapun, pada akhirnya memorandum tersebut bisa dianggap sebagai pemula atau perintis bagi munculnya suatu 'zaman baru'. Zaman baru bagi dunia pendidikan di Indonesia yang mempunyai gaung jauh ke masa depan. Memorandum itu merintis jalan ke pelaksanaan Politik Etik yang akhirnya menjadi bumerang bagi politik kolonial. Meskipun orang seperti Hadiningrat sudah berupaya untuk mengajukan kegandrungan pada pendidikan, namun yang ia pikirkan pada dasarnya adalah upaya untuk mengembalikan prestise mereka sebagai warga bangsawan. Kekuatan intelektual yang mereka harapkan adalah kekuatan untuk memulihkan martabat sekelompok kecil orang. Sikap ini agaknya tetap mewarnai peranan politik para bupati pada masa-masa kebangkitan nasional, bahkan pada masa-masa sesudahnya. Dengan demikian mereka semakin terisolasi. Perannya yang vital di lapangan pergerakan politik pada akhirnya digantikan oleh kelas bangsawan yang lebih rendah tapi yang memiliki tingkat sekolah yang lebih tinggi. Kedudukan mereka di sangkar aristokrasi menyebabkan para bupati itu tidak sempat bersaing dengan tuntutan-tuntutan nyata di masyarakat. Obsesi kebangsawanan mereka semakin membuat mereka undur dari percaturan masyarakat. Sekolah-sekolah negeri yang dibuka oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20 telah memberikan peta bumi politik yang baru dilihat dari segi kedudukan para bangsawan Jawa. Kekuatan intelektual yang baru sebagai hasil dari sekolah-sekolah tersebut muncul dari segala penjuru. Dan yang terakhir ini bukanlah orang-orang mempunyai beban untuk menegakkan kembali adat serta kekuasaan ke tradisional yang semakin menurun. Mereka adalah orang-orang bebas. Mereka adalah 'perantau-perantau intelektuil.' yang punya alat untuk mengarungi dan menyerap perbendaharaan 'ide-ide dunia'. Sebagai kekuatan yang baru mereka bukan hanya mencari kedudukan dalam birokrasi pemerintah kolonial, akan tetapi bahkan mampu memberi alternatif kemerdekaan. Perantauan intelektual mereka telah jauh melewati batas-batas yang diberikan oleh struktur kolonial. Sejak cultuurstelsel, ketika Jawa (tanah dan orangnya) semakin terperangkap oleh birokrasi 'dwitunggal' kolonial-feodal, maka kekuatan intelektual mereka telah buntu. Pusat kegiatan kreatif seolah telah berpindah dari kantor para bupati di Jawa ke kantor para pedagang dan perantau Sumatera Barat. Di masa kemerdekaan kita kenal lagi 'dwitunggal.' Dwitunggal Sukarno-Hatta agaknya menjadi simbol sejarah untuk melawan dwitunggal kolonialisme-feodalisme. Sukarno-Hatta, apakah ia hanya nostalgia, atau esensi dari kerinduan sejarah yang tak terpenuhi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus