RADEN Ajeng Kartini lebih kita kenal daripada pamannya. Begitu
terkenalnya anak Bupati Jepara ini sampai-sampai pamannya
Bupati Demak yang juga gandrung pada pendidikan Barat surut ke
belakang. Mungkin karena Kartini hanya seorang wanita (sebab itu
didahulukan) atau mungkin karena tokoh ini punya hobi
tulis-menulis. Sebab lain mungkin terletak pada penghayatan
hidup Kartini yang lebih dekat dengan persoalan-persoalan rakyat
kecil. Kartini bicara soal zaman baru yang memiliki arti lebih
luas daripada jangkauan tembok-tembok adat dan kebangsawanan
Jawa saat itu. Adapun pamannya Bupati Demak Pangeran Ario
Hadiningrat memang merupakan tokoh bangsawan Jawa yang amat
sadar pada harkat dan prestise kebangsawanannya. Sambil rindu
kepada pendidikan Barat ia rindu pula untuk mempertahankan
keutuhan adat bangsa Jawa.
Memorandum Tahun 1871
Setiap orang dalam setiap kurun waktu punya tanggungan
sejarahnya sendiri. Begitu pula Pangeran Ario Hadiningrat yang
hidup antara 1847 - 1915 sudah berupaya merumuskan dan
menanggapi keadaan masyarakat saat itu. Beruntung bahwa ayahnya,
Condronegoro bupati Demak, telah ikut mempersiapkan
kepeloporannya sebagai bupati pertama di tanah Jawa yang
menyadari pentingnya pendidikan di zaman baru. Hadiningrat
mendapat pengajaran dari seorang guru privat yang diundang
ayahnya, selebihnya ia belajar sendiri.
Atas permintaan pihak Belanda tahun 1871 ia menulis sebuah
memorandum yang pada tahun-tahun terakhir abad ke-19 menjadi
amat terkenal. Memorandum itu berbicara tentang 'Kemunduran
prestise penguasa pribumi dan cara-cara untuk mengubah
keadaan semacam itu.' Di dalamnya dituliskan tentang
sebab-sebab yang membuat amtenar pribumi kurang disegani orang,
dan apa pula hendaknya dijalankan agar martabat para amtenar
pribumi itu dapat dipulihkan. Memorandum itu ditulisnya dalam
gaya arsitokrat yang penuh hormat dan halus. Ia mengeluh dengan
hormat kepada pemerintah kolonial bahwa kemampuan para bangsawan
khususnya di lapangan pendidikan semakin mundur. Demikian pula
tugas-tugas yang diembannya menjadi semakin sempit. Seolah-olah
mereka hanya diperintah untuk melakukan tetek-bengek oleh orang
Belanda. Martabat para bangsawan telah jatuh ke tingkat
martabat mandur. Dalam banyak perkara, dalam kualitas
intelektual mereka, mereka tak lagi menempati posisi untuk turut
menentukan kebijakan tertentu di tanah Jawa. Semakin hari para
bangsawan semakin terdepak ke belakang. Sehubungan dengan semua
soal yang ia kemukakan, maka perbaikan dalam rangka keadaan
semacam itu hanya bisa diharapkan apabila para pejabat negeri
pertama-tama diberi pendidikan dan diperlengkapi dengan ethos
yang baru. Tidak lupa Hadiningrat menambahkan bahwa memorandum
itu ia tulis dan serahkan dari dan kepada sahabat.
Bagaimanapun, pada akhirnya memorandum tersebut bisa dianggap
sebagai pemula atau perintis bagi munculnya suatu 'zaman baru'.
Zaman baru bagi dunia pendidikan di Indonesia yang mempunyai
gaung jauh ke masa depan. Memorandum itu merintis jalan ke
pelaksanaan Politik Etik yang akhirnya menjadi bumerang bagi
politik kolonial.
Meskipun orang seperti Hadiningrat sudah berupaya untuk
mengajukan kegandrungan pada pendidikan, namun yang ia
pikirkan pada dasarnya adalah upaya untuk mengembalikan
prestise mereka sebagai warga bangsawan. Kekuatan intelektual
yang mereka harapkan adalah kekuatan untuk memulihkan martabat
sekelompok kecil orang. Sikap ini agaknya tetap mewarnai peranan
politik para bupati pada masa-masa kebangkitan nasional, bahkan
pada masa-masa sesudahnya. Dengan demikian mereka semakin
terisolasi. Perannya yang vital di lapangan pergerakan politik
pada akhirnya digantikan oleh kelas bangsawan yang lebih rendah
tapi yang memiliki tingkat sekolah yang lebih tinggi. Kedudukan
mereka di sangkar aristokrasi menyebabkan para bupati itu tidak
sempat bersaing dengan tuntutan-tuntutan nyata di masyarakat.
Obsesi kebangsawanan mereka semakin membuat mereka undur dari
percaturan masyarakat.
Sekolah-sekolah negeri yang dibuka oleh pemerintah kolonial
pada awal abad ke-20 telah memberikan peta bumi politik yang
baru dilihat dari segi kedudukan para bangsawan Jawa. Kekuatan
intelektual yang baru sebagai hasil dari sekolah-sekolah
tersebut muncul dari segala penjuru. Dan yang terakhir ini
bukanlah orang-orang mempunyai beban untuk menegakkan kembali
adat serta kekuasaan ke tradisional yang semakin menurun.
Mereka adalah orang-orang bebas. Mereka adalah
'perantau-perantau intelektuil.' yang punya alat untuk
mengarungi dan menyerap perbendaharaan 'ide-ide dunia'.
Sebagai kekuatan yang baru mereka bukan hanya mencari kedudukan
dalam birokrasi pemerintah kolonial, akan tetapi bahkan mampu
memberi alternatif kemerdekaan. Perantauan intelektual mereka
telah jauh melewati batas-batas yang diberikan oleh struktur
kolonial.
Sejak cultuurstelsel, ketika Jawa (tanah dan orangnya) semakin
terperangkap oleh birokrasi 'dwitunggal' kolonial-feodal, maka
kekuatan intelektual mereka telah buntu. Pusat kegiatan kreatif
seolah telah berpindah dari kantor para bupati di Jawa ke kantor
para pedagang dan perantau Sumatera Barat. Di masa kemerdekaan
kita kenal lagi 'dwitunggal.' Dwitunggal Sukarno-Hatta agaknya
menjadi simbol sejarah untuk melawan dwitunggal
kolonialisme-feodalisme. Sukarno-Hatta, apakah ia hanya
nostalgia, atau esensi dari kerinduan sejarah yang tak
terpenuhi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini