Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
---
Pemerintah melalui Pertamina hanya buang-buang energi dengan rencana menyalurkan bahan bakar minyak (BBM) subsidi lewat penggunaan aplikasi MyPertamina. Jika persoalannya adalah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi yang terus jebol, maka obat paling mujarab adalah pengalihan alokasi ke subsidi langsung yang lebih tepat sasaran, dan BBM dijual dengan harga pasar.
Per 1 Juli 2022, Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), mewajibkan para pengguna bensin Pertalite untuk mendaftarkan diri dan data kendaraannya ke situs web atau aplikasi MyPertamina. Pengguna terdaftar akan mendapatkan QR code khusus jika data mereka dikenali sebagai warga yang berhak menerima jenis BBM tertentu yang disubsidi tersebut. Uji coba mendapatkan QR code dan penggunaan aplikasi itu dimulai di lima provinsi: Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Langkah tersebut dilatari pengajuan tambahan anggaran subsidi energi dan kompensasi oleh pemerintah yang mencapai Rp 520 triliun untuk 2022. Anggaran besar ini merupakan konsekuensi pemerintah tidak menaikkan harga BBM, LPG, dan tarif listrik meski harga minyak dunia meningkat. Awalnya, pada APBN tahun ini subsidi energi hanya dianggarkan Rp 134,03 triliun. MyPertamina diharapkan mampu mengurangi salah sasaran subsidi Pertalite.
Tapi penggunaan MyPertamina juga menimbulkan pertanyaan karena Pertamina sebelumnya sudah mengembangkan teknologi digital untuk mendeteksi kendaraan layak subsidi. Alatnya bahkan sudah terpasang lebih dari 90 persen SPBU di Indonesia. Kenapa Pertamina tidak menggunakan teknologi yang sudah lama disiapkan, yang tentunya telah menghabiskan banyak biaya tersebut?
Dan terbukti, penggunaan aplikasi MyPertamina langsung bermasalah di hari pertama. Di samping sering error, penggunakan MyPertamina untuk transaksi bensin dinilai bertele-tele dan menyulitkan masyarakat yang tidak terbiasa dengan aplikasi digital. Uji coba di hari pertamanya langsung diwarnai server down dan rating aplikasi yang drop karenanya.
Hal lain, wajib menggunakan aplikasi baru untuk isi bensin berarti data pribadi penduduk semakin berserak di negeri ini. Risiko kebocoran semakin tinggi. Ini diperburuk dengan perlindungan dan literasi keamanan data pribadi di Indonesia masih tergolong rendah. Dan, jangan lupa, Pertamina merupakan salah satu lembaga yang dikabarkan mengalami pembobolan data internal pada tahun lalu.
Padahal efektivitas aplikasi MyPertamina dalam menekan subsidi juga masih diragukan. Aplikasi ini hanya akan efektif jika pendataan dilakukan secara benar dan lengkap, dengan kriteria yang jelas, sehingga mudah bagi petugas di lapangan untuk memverifikasinya. Sekadar data jenis kendaraan, seperti yang diminta dalam aplikasi saat ini, tidaklah cukup. Data yang minim akan menyulitkan verifikasi. Ujungnya, orang tidak berhak bisa tetap mendapatkan subsidi.
Dengan segala risiko itu dan potensi permasalahan turunannya, jelas akan lebih mudah bagi pemerintah jika subsidi disalurkan secara langsung kepada masyarakat yang tidak mampu. Pertamina dan pemerintah cuma perlu memastikan data penduduk miskinnya. Semetara itu, BBM bisa dijual dengan harga pasar. Dengan demikian nilai subsidi terkendali, tapi tujuan untuk meringankan beban kelompok ekonomi bawah tetap terpenuhi. Yang dibutuhkan hanyalah langkah tegas pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini