Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLEPAS dari soal siapa yang akan dipilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo dalam pemilihan umum 9 Juli mendatang, figur Jusuf Kalla layak dibicarakan. Ia salah satu calon wakil presiden terkuat dalam daftar partai Banteng. Jika ia yang didapuk, tampaklah bahwa PDI Perjuangan memilih mendahulukan persoalan elektabilitas ketimbang efektivitas pemerintahan yang kelak terbentuk.
Tak ada yang memungkiri senioritas Kalla. Posisinya sebagai wakil presiden 2004-2009 dan mantan Ketua Umum Partai Golkar membuatnya memiliki lebih banyak pengalaman ketimbang Jokowi, yang dinilai masih hijau dalam politik.
Kepiawaian Kalla dalam mengelola hubungan eksekutif dan legislatif, yang kerap panas-dingin di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memastikan senioritas itu. Di atas kertas, didampingi Kalla yang piawai menjaga hubungan dengan Senayan, Jokowi diharapkan bisa leluasa bekerja sebagai presiden, aman dari rongrongan legislatif.
Senioritas Kalla di Partai Golkar membuka peluang merapatnya Beringin dalam koalisi partai pendukung pemerintah kelak. Saat ini, karena sudah punya calon sendiri, Golkar menampik tawaran koalisi dengan Banteng. Tapi peta politik diyakini berubah setelah pemilihan presiden berlangsung. Dalam sejarah politik Indonesia, Golkar tidak pernah mengambil posisi oposisi dan tampaknya belum berencana memulai tradisi baru dalam waktu dekat. Adanya Kalla di kubu Jokowi akan memudahkan perubahan sikap politik Golkar.
Kalla dipercaya "melengkapi" Jokowi dalam pelbagai hal. Ia orang Bugis, Sulawesi Selatan—melengkapi Jokowi, yang datang dari Jawa. Ia dekat dengan Nahdlatul Ulama, aspek penting yang tak dimiliki Jokowi, yang berasal dari partai nasionalis. Sejumlah survei menyebutkan elektabilitas Jokowi paling tinggi jika dipasangkan dengan Jusuf Kalla.
Tapi pilihan pada Kalla berpotensi memunculkan persoalan laten—untuk tak mengatakan bom waktu. Seperti pedang bermata dua, semua kelebihan Kalla sekaligus merupakan kelemahannya. Pengalaman, kompetensi, dan karakternya yang kuat berpotensi membuat Kalla lebih dominan ketimbang presiden yang ia dampingi. Ada kekhawatiran, kompetisi presiden dan wakil presiden seperti yang terjadi pada pasangan Yudhoyono-Kalla kembali terjadi.
Tak lama setelah terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Yudhoyono pada 2004, Kalla mengambil kursi Ketua Umum Partai Golkar melalui musyawarah nasional partai itu. Posisi baru itu memperkuat barisan pendukung pemerintah di parlemen. Tapi, pada saat yang sama, Kalla memainkan kartu lain: melalui Golkar, ia menekan Yudhoyono terutama pada saat ia berbeda pendapat dengan presiden. Pembagian tugas presiden dan wakil presiden—Kalla menangani urusan ekonomi dan Yudhoyono politik—kerap didengung-dengungkan Kalla ketika ia tengah berseteru dengan Yudhoyono.
Sudah kerap terdengar kabar, Kalla "longgar" terhadap hal-hal yang berbau nepotisme. Cerita pengadaan helikopter bencana alam oleh keluarga dekat Kalla serta penundaan penjualan saham Bumi Resources—perusahaan miliki politikus Golkar, Aburizal Bakrie—di lantai bursa adalah contoh nepotisme itu. Kalla juga tak ketat dalam menetapkan batas antara sepak terjangnya selaku pejabat negara dan posisinya sebagai pelaku bisnis.
Kalla juga diyakini dapat "mencemari" citra Joko Widodo sebagai "pemimpin baru". Selama ini, sokongan publik kepada Jokowi berangkat dari pemahaman bahwa mantan Wali Kota Solo ini merupakan antitesis dari elite politik yang kini berkuasa. Dia mewakili wajah politikus yang merakyat serta mendengarkan dan memahami kawula yang dia pimpin. Jusuf Kalla adalah bagian dari konstelasi politik lama.
Mendapuk Kalla sebagai calon wakil presiden tampaknya juga akan mengganggu rencana Jokowi membentuk kabinet kerja dan bukan kabinet bagi-bagi kursi jika kelak terpilih. Dalam cara berpikir "saudagar" ala Kalla, politik adalah pasar yang mempertemukan penjual dan pembeli. Dukungan partai kepada pemerintah, misalnya, harus "dibeli" dengan kursi menteri atau jabatan publik lain. Dengan kata lain, apa yang dicemaskan banyak orang boleh jadi akan terjadi: politik dagang sapi. Pola koalisi "jual-beli" ini juga terjadi di kubu Prabowo Subianto dan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Kalla atau bukan Kalla, bukan itu soalnya. Siapa pun yang nanti terpilih sebagai calon pendamping Jokowi, sang calon presiden harus memastikan bahwa wakil presiden hanya sekadar pembantu. Keputusan akhir tetap berada di tangan orang nomor satu, betapapun aktif dan trengginasnya sang wakil.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo