Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Merdeka Siap Kerja

Kampus harus menjadi pusat diskursus publik yang terbebas dari kepentingan politik pemerintah. Tak boleh hanya menjadi semata institusi penyedia tenaga kerja.

10 Maret 2020 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI namanya, Kampus Merdeka yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terdengar seperti kampus dengan kebebasan penuh di bidang akademis. Setelah Presiden Joko Widodo merekrut banyak aktivis masyarakat sipil menjadi pembantunya di Istana Negara, kampus memang diharapkan menjadi penyeimbang dan pengkritik di luar sistem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi jangan cepat-cepat bergede rasa. Yang dimaksud Mas Menteri bukan itu. Kampus Merdeka versi Nadiem adalah kampus yang membolehkan mahasiswanya mengambil mata kuliah di luar jurusan. Juga membuka kesempatan kepada mahasiswa untuk magang tiga semester dan bertukar studi di luar negeri. Kampus juga akan dimerdekakan dalam mengatur tetek-bengek akreditasi dan badan hukum. Kata Nadiem, selama ini mahasiswa hanya dilatih berenang dengan satu gaya. Dalam Kampus Merdeka, mereka diceburkan ke laut, dilatih berbagai macam keahlian supaya bisa bertahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika yang diinginkan bekas Direktur Utama Gojek itu adalah memperkuat hubungan kampus dengan industri dan menyiapkan mahasiswa untuk siap kerja, Kampus Merdeka bukan istilah yang tepat. Semestinya pakailah terminologi Kampus Industri atau Kampus Link and Match saja.

Lebih dari persoalan istilah, Nadiem tampaknya telah salah kaprah. Setelah sekian lama kampus hanya disibukkan oleh persoalan administrasi, Nadiem seharusnya mengembalikan universitas sebagai kawah untuk menggodok pelbagai diskursus publik. Kampus hendaknya kembali menjadi ilham bagi gerakan masyarakat sipil. Penyediaan tenaga kerja siap pakai cukup dilakukan sekolah vokasi yang sigap menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri.

Telah lama dikeluhkan: suara universitas hilang seiring dengan okupasi politik yang menggeret para dosen ke dalam pemerintahan. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan, betapapun mahasiswa turun ke jalan, nyaris tak ada suara serentak kampus-kampus untuk menentang upaya jahat itu. Kampus juga tak bersuara keras terhadap omnibus law cipta lapangan kerja-upaya pemerintah untuk memberangus hak-hak masyarakat sipil demi kepentingan investasi. Sejumlah kampus diketahui mengurungkan niat menggelar diskusi omnibus law setelah "diingatkan" aparat agar tak macam-macam.

Karena itu, "Kampus Merdeka" Menteri Nadiem semestinya mula-mula ditujukan untuk membebaskan kampus dari okupasi pemerintah demi tujuan politik dan meredam kritik. Pemerintah harus membebaskan perguruan tinggi dalam berkreasi, berpikir, serta melahirkan konsep dan strategi untuk kemaslahatan publik-tanpa pretensi membela kepentingan politik tertentu.

Kebebasan akademis adalah keniscayaan dalam demokrasi. Kekuasaan, betapapun pemimpinnya terlihat santun dan peduli kepada rakyat, akan cenderung korup. Kekuasaan yang absolut melahirkan korupsi yang absolut pula. Karena itu, kekuasaan perlu dikontrol masyarakat sipil, termasuk kampus. Sejarah perubahan Indonesia adalah sejarah gerakan anak muda yang lahir dari kampus dan masyarakat sipil.

Jika benar hendak membuat kampus merdeka, Nadiem mesti mengembalikan esensi kata "merdeka" pada kebebasan akademis dan kontrol sosial. Ia harus membiarkan kampus mengkritik kebijakan pemerintah dan menentang pelbagai upaya mengerdilkan kampus. Tanpa itu semua, kampus hanya akan menjadi penyedia tenaga kerja bagi pabrik dan industri-sebuah institusi yang dingin, kopong, dan miskin gagasan.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus