Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Model pembangunan ala Jokowi ditandai dengan proyek-proyek berskala besar, yang berisiko tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Megaproyek food estate berpotensi meningkatkan laju deforestasi dan menambah emisi karbon Indonesia.
Model pembangunan Jokowi terjebak pada etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta.
Firdaus Cahyadi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Lingkungan Pascasarjana IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muncul artikel berjudul "Jokowisme" di kolom opini media massa arus utama di Jakarta pada Mei tahun lalu. Penulisnya mengungkapkan Jokowisme adalah metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat. Perlahan-lahan, istilah Jokowisme menjadi simbol kultus terhadap model pembangunan. Bahkan Jokowisme juga menjadi justifikasi dalam majunya Gibran Rakabuming Raka, anak Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kultus model pembangunan Jokowi itu terjadi di tengah berbagai bencana ekologi yang terjadi di negeri ini. Bencana ekologi itu berupa banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga polusi udara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sepanjang 2015, ada 1.694 kejadian bencana ekologi. Jumlahnya terus naik dan mencapai titik tertinggi pada 2021, yakni 5.402 kasus. Bencana ekologi itu tidak bisa dilepaskan dari dampak buruk model pembangunan Jokowi.
Bagaimana tidak, model pembangunan ala Jokowi ditandai dengan proyek-proyek berskala besar, yang memiliki risiko tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur yang berbasis jalan raya, penghiliran industri ekstraktif, dan pembukaan lahan berskala besar untuk food estate adalah sebagian contoh megaproyek dalam model pembangunan Jokowisme.
Pembangunan jalan tol meningkatkan risiko hilangnya banyak area resapan, baik yang secara langsung disebabkan oleh konstruksi jalan raya maupun secara tidak langsung oleh maraknya alih fungsi lahan yang tak terkendali akibat aktivitas ekonomi yang timbul. Polusi udara juga merupakan risiko ekologi pembangunan infrastruktur transportasi berbasis jalan raya. Penambahan panjang jalan melalui pembangunan jalan tol akan membangkitkan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Dampak buruk bagi lingkungan hidup juga terjadi pada proyek penghiliran industri ekstraktif nikel. Laporan Climate Rights International (CRI) yang dirilis pada 17 Januari 2024 menunjukkan kompleks industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara, telah menyebabkan deforestasi hingga pencemaran udara dan air.
Megaproyek Jokowi berikutnya, food estate, juga meningkatkan risiko kerusakan lingkungan hidup. Megaproyek itu berpotensi meningkatkan laju deforestasi karena diperbolehkannya penggunaan kawasan hutan lindung menjadi lahan food estate. Selain itu, proyek tersebut meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim akibat mengeringnya lahan gambut yang sangat besar.
Analisis spasial yang dilakukan Pantau Gambut menyebutkan lebih dari 1.500 hektare hutan telah dibuka di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sekitar 700 hektare hutan dibuka untuk perkebunan singkong di bawah proyek food estate. Data itu memperkuat estimasi Greenpeace Indonesia pada 2022, yang menyebutkan 760 hektare hutan telah dibuka di Kabupaten Gunung Mas sejak November 2020.
Terjebak Etika Antroposentrisme
Pertanyaan berikutnya, apa yang salah dengan model pembangunan Jokowi? Letak kesalahannya adalah hanya mengutamakan kepentingan ekonomi sebagai panduannya. Etika lingkungan hidup tidak menjadi panduan dalam model pembangunan Jokowisme.
Model pembangunan Jokowi terjebak pada etika antroposentrisme. Etika ini memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Etika antroposentrisme memandang hanya manusia yang punya nilai. Alam hanya alat bagi pemuasan manusia. Eksploitasi alam secara ugal-ugalan dan kerusakan lingkungan hidup menjadi keniscayaan dalam etika antroposentrisme. Ini sangat terlihat jelas dalam model pembangunan Jokowisme.
Model pembangunan ala Jokowi ini harus dikoreksi secara total. Etika antroposentrisme yang menjadi panduan bagi model pembangunannya harus ditinggalkan. Model pembangunan ke depan harus dipandu oleh etika lingkungan hidup.
Etika ini memandang manusia bukan lagi pusat alam semesta. Etika lingkungan hidup dalam pembangunan ke depan harus menempatkan manusia pada bagian yang tak terpisahkan dari alam. Pelestarian alam bukan sekadar untuk kepentingan manusia, tapi juga untuk kepentingan alam guna untuk menopang kehidupannya.
Pertanyaannya adalah apakah setelah Jokowi tidak menjadi Presiden Indonesia, model pembangunannya akan terus dilanjutkan? Melihat visi-misi para calon presiden dan beberapa debat yang telah digelar, tampaknya model pembangunan ala Jokowi ini akan terus dilanjutkan. Etika antroposentrisme masih mendominasi dalam visi-misi para capres dan pernyataan mereka dalam debat.
Jika para capres itu tidak meninggalkan etika antroposentrisme, dapat dipastikan bahwa setelah terpilih menjadi presiden, mereka akan terus melanjutkan model pembangunan yang merusak alam seperti saat ini. Hutan-hutan akan tetap digunduli. Daerah aliran sungai, pantai, dan laut akan terus dirusak serta dicemari. Batu bara dan energi fosil lain tetap menjadi andalan dalam pemenuhan energi nasional. Mobil pribadi tetap menjadi tulang punggung transportasi. Publik akan tetap menghirup udara beracun dan meminum air yang tercemar. Publik tidak hanya akan menjadi korban, tapi juga tumbal pembangunan yang tak pernah mereka nikmati hasilnya.
Publik, sebagai pembayar pajak, tentu tidak boleh diam. Jika diam, publik benar-benar akan menjadi korban. Publik harus terus bersuara mendesak calon pemimpin negara ini mengubah arah pembangunan yang hanya dipandu kepentingan ekonomi. Publik harus mendesak agar etika lingkungan hidup menjadi panduan pembangunan ke depan. Model pembangunan Jokowisme yang mengesampingkan etika lingkungan harus dijadikan sekadar kenangan yang tidak boleh terulang di masa depan.
Pemilu seharusnya menjadi jalan bagi publik untuk mengoreksi total arah pembangunan yang melenceng. Namun, melihat dinamika politik akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin model pembangunan yang melenceng akan tetap terus dilanjutkan tanpa koreksi. Jika hal itu yang terjadi, pemilu tidak menjadi pesta demokrasi, melainkan pesta kaum oligark yang selama ini diuntungkan oleh model pembangunan Jokowi, yang mengesampingkan etika lingkungan hidup.
Kolom Hijau merupakan hasil kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.