Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Perkawinan Itu Privat, Negara Jangan Ikut Campur

Perkawinan, termasuk yang beda agama, seharusnya merupakan urusan privat. Negara mencatatkan saja.

3 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA akhir Januari lalu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang melarang perkawinan beda agama. Akibat putusan tersebut, diskriminasi terhadap pasangan beda agama masih dan akan terus terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal perkawinan semestinya merupakan perkara perdata. Tugas negara hanyalah mencatatkannya. Perihal agama kedua mempelai membolehkan atau tidak, mereka mau pindah agama atau tidak, itu wilayah privat yang negara tidak boleh ikut campur. Bahkan, bila kedua calon pengantin dan keluarganya sepakat untuk tidak menggunakan hukum agama, misalnya, tugas negara untuk mencatatkan sebuah perkawinan tidaklah hilang. Pilihan untuk menggunakan hukum agama, adat, ataukah kebiasaan seyogianya merupakan keputusan mereka yang bersepakat untuk menikah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merujuk pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, hakim konstitusi berpendapat bahwa yang diakui sebagai hak asasi masyarakat hanyalah hak untuk membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Sedangkan perkawinan dipandang sekadar sebagai cara atau sarana membentuk keluarga, yang harus mengikuti aturan negara. Larangan perkawinan beda agama dipandang sebagai aturan yang memuliakan Pancasila.

Ini kali kedua Mahkamah menolak permohonan untuk mengabaikan pasal yang menabrak hak privat warga negara dalam UU Perkawinan tersebut. Sebelumnya pada 2015.

Gara-gara aturan ini, perkawinan yang sejatinya sebuah peristiwa bahagia malah menjadi sumber stres bagi ribuan pasangan di Indonesia. Menikah dengan orang yang mereka cintai jadi seperti sebuah aib, hanya karena beda agama. Padahal kebebasan memeluk agama juga merupakan hak yang dijamin. Kalau nekat, mereka tidak akan mendapat pengakuan dalam bentuk surat nikah dari negara, yang penting untuk mengakses berbagai layanan publik.

Banyak pasangan akhirnya berpisah. Sebagian lainnya bermuslihat untuk mengelabui undang-undang, seperti pura-pura pindah agama agar pernikahan disahkan negara. Atau, bagai yang berduit, menikah di luar negeri, kemudian mencatatkannya di Indonesia. Dengan kata lain, aturan ini telah menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidaksetaraan dalam mengakses keadilan. 

Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat, sejak 2005 hingga 2022 terdapat 1.425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia. Bisa jadi jumlah sebenarnya lebih banyak dari itu.

Dalam masyarakat majemuk yang semakin terbuka seperti di Indonesia saat ini, pasangan beda agama, beda suku, beda ras, akan terus ada dan bisa jadi bertambah. Tak bisa dibendung. Hal tersebut semestinya dilihat sebagai wujud dari keindonesiaan, kesatuan dalam kemajemukan. Apakah Mahkamah dan para pembuat undang-undang pernah terpikir bahwa melarang perkawinan campur malah dapat mendorong segregasi? Kita jelas tidak menginginkan hal itu.

Undang-undang bukan kitab suci. Sebagai aturan yang dibuat oleh manusia, undang-undang boleh, bahkan harus, diubah kalau sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian pula UU Perkawinan. DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang semestinya mempertimbangkan untuk  merevisinya. Kembalikan lembaga perkawinan sebagai urusan privat masyarakat. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus