Saudara Odih Juanda mengawali tanggapannya atas tulisan saya dengan semangat yang berbuih (TEMPO, 28 Maret 1992, Komentar). Dari semula saya tidak mempermasalahkan rencana pendirian Museum Multatuli karena tidak mempunyai kepentingan apa pun. Multatuli sendiri mungkin tidak menginginkan dibuatkan museum untuknya. Mau didirikan atau tidak, Multatuli akan tetap dikenang orang seperti kata Paul Natorp, "Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan kebenaran sendiri tidak perlu diutarakan karena ia sendiri yang akan menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku." Mengikuti alur berpikir Saudara Odih, saya menjadi bingung. Ia tampaknya tak mengerti apa yang menjadi terminus ad quo pada tulisan saya yang terdahulu (TEMPO, 29 Februari 1992, Komentar). Saya hanya menyayangkan sikapnya yang berbau cauvinisme. Kedua tulisannya yang pernah dimuat dalam rubrik ini sangat melecehkan -- bahkan menganggap -- Multatuli tak berarti apa pun. Itulah arogansi Saudara Odih. Saya selalu punya rasa berpihak dan bersimpati pada sisi sejarah yang human. Itukah yang dimaksud Saudara Odih dengan humanisme picisan? Kalau itu maksudnya, saya merasa bangga dianggap humanis, sekalipun picisan. Saya tidak pernah merasa melahirkan paham apa pun, apalagi paham besar macam humanisme. Tapi kalau yang dimaksud Saudara Odih dengan humanisme picisan itu karya Multatuli, tak tahulah saya bagaimana pandangannya tentang sebuah karya sastra. Bagaimana Saudara Odih dapat menghargai pemikiran humanis kita seperti Soedjatmoko atau novel Dr. Zhivago karya Borris Pasternak. Sebuah karya sastra tidak selalu lahir dari pengalaman empirik dunia profan. Ia bisa bersifat reflektif, sebab itu ia bisa lahir dari kontemplasi dan intuisi. Jadi, tidak selamanya kebenaran itu bisa dicapai oleh rasionalitas dan obyektivitas. Kebenaran kadang lahir dari irrasionalitas, dari logika hati seperti kata Blaise Pascal, bahwa pemikiran rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang esensial, tapi hati mempunyai alasan-alasan yang sama sekali tidak diketahui akal. Tahukah kita apa yang didapat Dunia Barat yang memuja rasionalitas itu? HERMAN W. SUTISNA Jalan Pangkalan Raya I/7 Bogor 16710 Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini