Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Museum multatuli: kebenaran tak selalu lewat rasio

Komentar pendirian museum multatuli. karya sastra dpt lahir dari pengalaman empirik, kontemplasi dan intuisi. kebenaran juga bisa dicapai oleh rasiona- litas, obyektivitas atau irrasionalitas.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Museum multatuli: kebenaran tak selalu lewat rasio
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Saudara Odih Juanda mengawali tanggapannya atas tulisan saya dengan semangat yang berbuih (TEMPO, 28 Maret 1992, Komentar). Dari semula saya tidak mempermasalahkan rencana pendirian Museum Multatuli karena tidak mempunyai kepentingan apa pun. Multatuli sendiri mungkin tidak menginginkan dibuatkan museum untuknya. Mau didirikan atau tidak, Multatuli akan tetap dikenang orang seperti kata Paul Natorp, "Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan kebenaran sendiri tidak perlu diutarakan karena ia sendiri yang akan menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku." Mengikuti alur berpikir Saudara Odih, saya menjadi bingung. Ia tampaknya tak mengerti apa yang menjadi terminus ad quo pada tulisan saya yang terdahulu (TEMPO, 29 Februari 1992, Komentar). Saya hanya menyayangkan sikapnya yang berbau cauvinisme. Kedua tulisannya yang pernah dimuat dalam rubrik ini sangat melecehkan -- bahkan menganggap -- Multatuli tak berarti apa pun. Itulah arogansi Saudara Odih. Saya selalu punya rasa berpihak dan bersimpati pada sisi sejarah yang human. Itukah yang dimaksud Saudara Odih dengan humanisme picisan? Kalau itu maksudnya, saya merasa bangga dianggap humanis, sekalipun picisan. Saya tidak pernah merasa melahirkan paham apa pun, apalagi paham besar macam humanisme. Tapi kalau yang dimaksud Saudara Odih dengan humanisme picisan itu karya Multatuli, tak tahulah saya bagaimana pandangannya tentang sebuah karya sastra. Bagaimana Saudara Odih dapat menghargai pemikiran humanis kita seperti Soedjatmoko atau novel Dr. Zhivago karya Borris Pasternak. Sebuah karya sastra tidak selalu lahir dari pengalaman empirik dunia profan. Ia bisa bersifat reflektif, sebab itu ia bisa lahir dari kontemplasi dan intuisi. Jadi, tidak selamanya kebenaran itu bisa dicapai oleh rasionalitas dan obyektivitas. Kebenaran kadang lahir dari irrasionalitas, dari logika hati seperti kata Blaise Pascal, bahwa pemikiran rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang esensial, tapi hati mempunyai alasan-alasan yang sama sekali tidak diketahui akal. Tahukah kita apa yang didapat Dunia Barat yang memuja rasionalitas itu? HERMAN W. SUTISNA Jalan Pangkalan Raya I/7 Bogor 16710 Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus