Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
T
UNGGAKAN menggunung hanya pucuk gunung es masalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kekeliruan struktural ini membutuhkan penanganan mendasar. Solusi tambal-sulam defisit tak akan menyembuhkan penyakit kronis di arus kas lembaga pengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
Demi mewujudkan cita-cita menjamin hak setiap warga negara mendapat pelayanan kesehatan, JKN sebenarnya dibangun dengan konsep yang realistis. Di tengah keterbatasan fiskal, negara mengajak rakyat bergotong-royong menanggung biaya.
Persoalan muncul ketika pemerintah tak konsekuen menjalankan skema asuransi yang dianut program ini. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara tak didukung dengan instrumen pengelolaan risiko sebagaimana seharusnya bisnis asuransi dijalankan.
Besaran premi hingga kini lebih rendah daripada perhitungan aktuaria. Hingga tahun lalu, rata-rata nilai iuran yang disetor setiap peserta per bulan lebih rendah Rp 5.625 dibandingkan dengan biaya klaim untuk melayani mereka. Inilah penyebab utama kas BPJS Kesehatan selalu tekor sejak tahun pertama JKN bergulir pada 2014.
Pemerintah harus rasional. Kenaikan iuran peserta mutlak dilakukan. Kegagalan tambahan penyertaan modal negara—tiga tahun terakhir mencapai Rp 14,6 triliun—dalam mengakhiri tren defisit BPJS Kesehatan harus dijadikan pelajaran. Sikap pemerintah menolak usul penyesuaian premi karena tak populis terbukti justru memperburuk keadaan.
Bulan ini, utang jatuh tempo BPJS Kesehatan kepada penyedia pelayanan kesehatan yang gagal dibayarkan telah mencapai Rp 7,69 triliun. Hingga akhir tahun, arus kas lembaga pengganti PT Askes Indonesia (Persero) tersebut diperkirakan minus Rp 16,4 triliun.
Keputusan terbaru pemerintah dalam mengatasi buruknya kondisi tersebut tetap tak akan menyelesaikan persoalan. Pekan lalu, lewat revisi Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menyediakan sumber pembiayaan baru program JKN: pajak rokok. Regulasi baru ini menetapkan pengalokasian 75 persen dari separuh nilai penerimaan pajak rokok daerah untuk mendanai BPJS Kesehatan. Potensinya sekitar Rp 5,4 triliun.
Aturan ini bisa jadi akan mengatasi persoalan buruknya akuntabilitas pengelolaan pajak rokok. Tapi, bagi BPJS Kesehatan, “obat” baru ini tak akan mujarab menyehatkan neraca keuangannya. Tak hanya kurang dosis, pengalokasian dana pajak rokok sama dengan solusi jangka pendek sebelumnya, menutup sebagian defisit tahun ini tanpa memberikan jaminan kas tak lagi negatif pada tahun-tahun mendatang. Padahal ancaman defisit bakal meningkat tahun depan seiring dengan target jumlah peserta bertambah 55 juta jiwa dari saat ini sebanyak 202 juta jiwa.
Kebutuhan terhadap solusi yang lebih bersifat jangka panjang kini makin mendesak. Peta jalan mesti segera disusun untuk memastikan kapan ruang fiskal mampu mendanai rencana kenaikan besaran iuran penerima bantuan iuran (PBI). Penerimaan dari kelompok terbesar peserta BPJS Kesehatan ini nilainya lebih rendah Rp 13 ribu per orang dibandingkan dengan perhitungan aktuaria.
Kenaikan besaran iuran peserta mandiri atau non-PBI tak perlu ditunda lagi. Selama ini, lebarnya diskrepansi premi kelompok ini menjadi masalah baru. Banyak peserta kelas I dan II pindah ke kelas III, terutama ketika tak membutuhkan pelayanan kesehatan. Iuran di kelas pelayanan paling bawah ini lebih rendah Rp 27.500 dari nilai seharusnya.
Pemerintah semestinya bergegas membereskan struktur premi dan mengoptimalkan iuran BPJS Kesehatan. Ada pekerjaan rumah lebih besar yang sedang menanti, yakni mengatur ulang jenis pelayanan dan mengidentifikasi celah penyelewengan dalam penyelenggaraan program JKN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo