Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Obituari Slamet Abdul Sjukur

Erie Setiawan,
penyunting buku Sluman, Slumun, Slamet, yang mendokumentasikan esai-esai komponis Slamet Abdul Sjukur

Dunia musik Indonesia berduka. Slamet Abdul Sjukur, 79 tahun, komponis legendaris Indonesia, baru saja dipanggil Tuhan, di Surabaya, 24 Maret, karena sakit. Namun ia sendiri sudah meramalkan takdir itu. Biasanya, menurut sebagian kepercayaan, orang ampuh selalu diberi firasat untuk mengetahui kapan dia harus "kembali".

26 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erie Setiawan,
penyunting buku Sluman, Slumun, Slamet, yang mendokumentasikan esai-esai komponis Slamet Abdul Sjukur

Dunia musik Indonesia berduka. Slamet Abdul Sjukur, 79 tahun, komponis legendaris Indonesia, baru saja dipanggil Tuhan, di Surabaya, 24 Maret, karena sakit. Namun ia sendiri sudah meramalkan takdir itu. Biasanya, menurut sebagian kepercayaan, orang ampuh selalu diberi firasat untuk mengetahui kapan dia harus "kembali".

Seperti dituturkannya secara langsung kepada saya di Surabaya, saat kami berkegiatan bersama dua minggu yang lalu, "Mas, sudah tiga bulan ini saya rasanya berada di antara hidup dan mati. Mau mati hidup lagi. Gitu terus. Bingung saya"

Begitulah Slamet.

Tokoh ini dikenal oleh banyak sahabatnya sebagai orang yang humoris, bahkan hingga menjelang kepergiannya. Di samping itu, tentu ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, yang setiap orang belum tentu mampu menandinginya.

Slamet turut menginspirasi banyak komponis dan musikus dengan debut yang tak bisa dibilang remeh: Tony Prabowo, Franki Raden, Gilang Ramadhan, Diddi AGP, hingga generasi baru semacam Gema Swaratyagita, Joko Porong, dan seterusnya. Belum lagi para guru piano yang belajar langsung kepadanya.

Slamet dikenal teliti dalam hal ilmu, jujur dalam berkarya, sekaligus penuh perhatian kepada yang benar-benar mau belajar. Itulah sumber magnet yang menjadi inspirasi banyak orang.

Lebih dari 50 karya sudah ia buat dalam rentang puluhan tahun, dipentaskan di berbagai negara, dan ia mendapat belasan penghargaan dari dalam maupun luar negeri atas jasanya bagi musik alternatif yang jarang diperhatikan di Indonesia.

Pergulatan intelektualnya juga dituangkan dalam banyak tulisan yang tersebar di berbagai media, lantas kemudian menjadi dua buku, Virus Setan: Risalah Pemikiran Musik Slamet Abdul Sjukur (2012), dan Sluman Slumun Slamet: Esai-esai Slamet Abdul Sjukur 1976-2013 (2014).

Memang, tak masif jumlah publik yang mengenal Slamet Abdul Sjukur, sosok yang mendalami musik di Prancis selama 14 tahun ini. Ia bukan berada di wilayah industri musik spektakuler yang penuh glamor dan semu. "Saya memilih menempuh jalan sunyi, jauh dari yang normal," begitulah Slamet menyebutkan dirinya.

Ia sosok yang tak peduli dengan keterkenalan. Ia sendiri, sepi, dan mencari hakikat terdalam dari laku hidup manusia. Dan ia percaya musik menjadi jalan tempuh paling efektif untuk mencapai apa yang ia harapkan. Cita-citanya itu berhasil. Manusia selalu diukur dari jasanya selama hidup, dan apa yang ia wariskan kemudian. Slamet membuktikan hal itu tanpa berhenti sedikit pun.

Jika saya bertemu beliau, saya selalu berbincang menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat kromo alus. Ini lebih melekatkan hubungan kami, sekaligus mencitrakan bahwa Slamet tetap menjadi Jawa dengan berbagai parameternya, meskipun ia bersentuhan langsung dengan dunia Barat cukup lama. Itu tak berpengaruh bagi sikap hidupnya. Slamet tetap menjadi Jawa dengan kerendahhatian yang bukan basa-basi. Jiwanya sangat spiritualis dan pertapa, pandai menyerap inti sari, serta tahu mengalah pada saat ia harus mengalah.

Tak banyak yang mengetahui, selain jabatan formalnya sebagai komponis, ia adalah seorang peramal dan jago berfilsafat. Slamet menggemari falsafah Timur dan memiliki banyak koleksi buku dan pengetahuan. Ia mewujudkan wawasan itu untuk laku kesehariannya. Sederhana, penuh ketakterdugaan, sekaligus mendalam. Ia bersahabat mesra dengan kosmos, yang selalu ia percayai turut membentuk dirinya. Slamet menghormati semua yang ada di dunia ini.

Maka, terlampau banyak dikatakan untuk seorang Slamet, terlepas dari segala kekurangannya sebagai manusia biasa yang jauh dari ukuran kenabian. Banyak yang pernah berguru padanya, tapi kemudian mengambil jarak karena hanya melihatnya dari satu-sisi: kekurangannya. Padahal Slamet percaya penuh pada keseimbangan, pada falsafah yin-yang.

Beberapa murid yang memiliki kesabaran merasa betah berhubungan dengannya, dan merasakan faedah ilmu yang berguna bagi hidup. Beberapa yang lain merasa harus lepas begitu saja, tak sedikit yang membencinya. Ini wajar sebagai dialektika kehidupan.

Pada puncaknya, Slamet Abdul Sjukur adalah sejarah itu sendiri, yang wajib kita catat sebagai bukti perjuangan tanpa henti, bahkan hingga menjelang kepergiannya. Ketika terbaring di rumah sakit, ia masih meminta untuk diperdengarkan musik Bach, dan ia masih mampu melakukan analisis terhadapnya. Pikirannya masih melesat, tapi raganya tidak mendukung.

Pada hari-hari terakhir hidupnya, ia juga berpesan kepada murid-muridnya, untuk terus merawat Pertemuan Musik Surabaya, yang sudah ia dirikan sejak 1950-an, dan Pertemuan Musik Jakarta, yang muncul belakangan. Dua pertemuan musik itu adalah warisan yang ada secara konkret, dan harus terus dihidupi atas niat baik. Selamat jalan, Mas Slamet. Doa kami menyertaimu. *

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus