Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penelitian UIN Jakarta menunjukkan bahwa empati mahasiswa muslim di kampus Islam terhadap penganut agama lain relatif rendah.
Penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah relatif tinggi.
Kementerian Agama harus mendorong pengarusutamaan moderasi beragama di kampus.
Abdallah
Peneliti dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai empati eksternal dan internal, yang merupakan turunan konseptual moderasi beragama dari aspek toleransi, cenderung rentan di kalangan mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan di tiga perguruan tinggi keagamaan negeri: Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Bandung, dan Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa empati seseorang terhadap penganut agama lain relatif rendah dan penolakan terhadap penganut aliran lain di dalam Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah, relatif tinggi.
Itulah temuan utama dari studi mutakhir Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. Penelitian "Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Muslim: Kasus Tiga Kampus Islam (Jakarta, Bandung, Yogyakarta)" ini merekam moderasi beragama yang berhubungan dengan opini pro-ekstremisme kekerasan. Moderasi beragama dilihat dari pelbagai indikator: komitmen kebangsaan, sikap toleran, dan anti-kekerasan. Indikator tersebut, pada kadar tertentu, menunjukkan signifikansi terhadap opini pro-ekstremisme kekerasan yang mengarah pada sikap ekstrem dalam beragama.
Temuan itu setidaknya mengindikasikan dua kesimpulan penting. Pertama, kerentanan dari sisi toleransi sekurang-kurangnya memberi gambaran adanya pergeseran peran perguruan tinggi keagamaan, yang mengaku sebagai salah satu pilar Islam moderat di Indonesia yang sejajar dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mengarahkan lanskap keberagamaan yang inklusif (Bruinessen, 2009). Pendulum peran itu kini bergerak ke arah keberagamaan yang eksklusif. Hal ini juga membatalkan kesimpulan bahwa corak keberagamaan alumni Universitas Islam Negeri bertumpu pada nilai-nilai modernisasi sejak 1980-an.
Modernisasi di perguruan tinggi tidak terlepas dari peran dua intelektual Islam, yakni Harun Nasution dan Mukti Ali. Harun, melalui ide pembaruan Islam, meletakkan fondasi berpikir yang bertumpu pada cara pandang keagamaan rasional ala Mu'tazilah, yang secara konsisten kerap menyuarakan gagasan pluralistik dalam memahami Islam yang bermuara pada nilai penghargaan atas perbedaan. Pada titik ini, menurut Harun, umat Islam dapat berkontribusi dalam proses pembangunan bangsa. Sementara itu, Mukti Ali—saat menjabat Menteri Agama RI (1971-1978)—memiliki peran besar dalam mempercepat laju modernisasi di institusi pendidikan dengan mewacanakan dialog antar-agama dan memasukkan perbandingan agama sebagai bidang kajian di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) saat itu (Jabali dan Jamhari, 2002). Maka, berdasarkan temuan tersebut, pada kadar tertentu, pendulum keberagamaan dalam konteks IAIN mengalami pergeseran yang mengarah pada bandul eksklusif.
Kedua, hasil penelitian itu berbanding terbalik dengan pandangan bahwa wacana keagamaan di institusi pendidikan umum cenderung lebih lemah terhadap serbuan paham ekstremisme keagamaan dibanding institusi keagamaan seperti madrasah. Lebih jauh, argumentasi ini bersandar pada asumsi bahwa pemahaman ajaran Islam yang komprehensif tidak didapatkan pelajar di institusi pendidikan umum karena pelajar yang lulus dari madrasah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang materi-materi keislaman dibandingkan dengan para pelajar dari sekolah umum negeri (Afrianty, 2012). Studi PPIM memberi gambaran bahwa hulu persoalan dari ekstremisme keagamaan merupakan pemahaman keagamaan yang bertengger di tembok-tembok institusi pendidikan, terutama pendidikan keagamaan.
Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan. Sejak 2019, Kementerian Agama merupakan sektor utama dalam mengembangkan konsep, implementasi, dan pengarusutamaan moderasi beragama. Hal ini telah resmi dicanangkan lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Melalui perguruan tinggi keagamaan Islam negeri yang berada di bawah Kementerian Agama, moderasi beragama terlembagakan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam tentang Rumah Moderasi Beragama pada 2019.
Perlu pendekatan yang holistis dan sistemis dalam upaya penguatan ruang penyemaian, edukasi, pendampingan, dan penguatan gerakan moderasi beragama di lingkungan kampus. Regulasi struktur kelembagaan Rumah Moderasi Beragama perlu menjadi bagian terpadu dalam organisasi dan tata kerja perguruan tinggi. Pengarusutamaan moderasi beragama harus dilakukan secara integral di lingkungan kampus, seperti menjadi bagian dari kurikulum, diintegrasikan dalam program, dan menjadi cara pandang semua civitas academica. Perguruan tinggi perlu mengembalikan warisan berpikir rasional yang bertumpu pada keterbukaan dan menerima perbedaan yang pernah ditancapkan para pembaru Islam, seperti Harun Nasution dan Mukti Ali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo