KENAPA Alfred Hitchcock tak bikin film sejarah seperti Gandhi?
Dia bercenta tentang wanita pirang yang cantik yang dijatuhkan
dari menara tinggi dalam Vertigo. Atau seorang lelaki lumpuh
yang menyaksikan pelbagai kejahatan dari kursinya dalam Rear
Window. Atau seorang gadis muda yang menyusup dalam gelap,
berjalan di atap tinggi, tak disangka-sangka, dalam To Catch A
Thief.
Alfred Hitchcock menandatangani film-filmnya dengan kesuraman:
dengan perut buncit, yang muncul bersama wajah gembil yang
masam, sekejap. Dan bulu roma kita yang berdiri.
Tujuan film-filmnya, demikian ia pernah berkata, adalah seperti
tujuan cerita-cerita Allan Poe: suatu kisah yang sama sekali tak
masuk di akal, tapi diceritakan dengan logika yang begitu
memukau sehingga kita dapat kesan bahwa hal seperti itu dapat
saja terjadi pada diri kita, besok.
Kisah yang "tak masuk di akal" itu karenanya berlangsung di
antara orang-orang yang elegan, sopan, sehat wal afiat, dan tak
kurang suatu apa: tokoh yang dengan kena dimainkan Cary Grand,
Jimmy Stewart, atau Tony Perkins. Wajah dan sosok mereka
bagaikan patung-patung marmar dalam ruang pualam yang tertib.
Tapi, tiba-tiba, dor, segala retak dan khaos terjadi .....
Hitchcock, yang dibesarkan di East End di Kota London dalam
disiplin agama yang ketat, berangkat dengan pandangan yang
sering tak tersembunyi lagi: bahwa dunia ini, juga rasa aman,
pada dasarnya rapuh dan terancam. Bahwa kejahatan berliang di
dalam hati manusia. Bahwa kita punya potensi untuk biadab.
Sir Alfred, dengan kata lain, menolak bahwa si kriminal bisa
jadi kriminal karena sistem sosial atau "struktur", hal-hal yang
bisa digempur secara serentak. Dan bila ia seakan bicara soal
kejiwaan (dalam Psycho, misalnya), ia sebenarnya tidak tertarik
kepada kejutan-kejutannya yang beraneka ragam, tapi kepada satu
ragam yang ia pilih dengan tekun: jiwa yang berlumut, gatal
bagai bulu, tapi tak diketahui.
Kita dengan sendirinya tak bisa mengharap ia akan mencoba suatu
epik, suatu kisah pahlawan, tentang perjuangan yang sukar dan
manusia yang tak disentuh dosa. Untuk itu diperlukan jenis orang
yang lain. Untuk itu diperlukan antusiasme yang cukup kepada
harapan: semoga kita-kita ini orang baik hendaknya. Dan itulah
memang peran pahlawan: peran sang penebus, yang mengangkat
harapan dari sampah dan dunia yang bobrok.
Barangkali itulah sebabnya Hitchcock tak akan memuaskan bagi
masa sekarang. Kita agak dengan pasti boleh meramalkan bahwa
seandainya ia masih hidup, dan terus, ia tak akan dapat
sambutan.
Yang menarik ialah bahwa ia sangat produktif justru di suatu
masa, ketika optimisme bertabur di mana-mana. Dan seakan sejalan
dengan zaman itu -- kira-kira 30 tahun yang lalu -- film-filmnya
pun bisa cemerlang dalam tata warna. Dialognya pun mengandung
rasa segar humor-humor kecil yang halus -- permainan dalam
permainan. Singkatnya, suatu dunia yang tak cemas. Tapi
sekaligus mungkin (dalam tatapan Hitchcock yang membisu dan
seram) dunia yang dungu.
Di masa kini kita seperti jadi Hitchcock dalam pelbagai variasi:
memandang optimisme sebagai sesuatu yang dungu, atau kurang
berakal, atau kurang jujur. Penindasan, pengisapan, penipuan,
pembunuhan, pencemaran, pengangguran, pemborosan semua
berdesak-desak dalam kalimat-kalimat kita sehari-hari.
Kita tak tahu apa sebabnya semua itu terjadi, tapi kita tahu,
kita tidak ingin semua faktor bekerja ke arah dunia yang sedang
ambruk seperti itu. Untuk itu bahkan kita bersedia berdamai
dengan hipokrisi -- sekadar menghibur, mungkin.
Lalu kita pergi nonton, menemukan pahlawan.
Dan Sir Alfred? Pada umurnya yang ke-80, ia tahu ia segera
habis. "Ingrid, aku akan mati," katanya seraya menangis kepada
Ingrid Bergman yang datang menengok. Dan Hitchcock memang mati,
bersama tanda tangannya: perut yang buncit, wajah yang gembil,
mulut yang diam, mata yang tanpa ekspresi, selintas, dan kita
terkesiap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini