Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pada dasarnya

Alfred hitchcock tak membuat film-film bertemakan sejarah. dia dibesarkan dalam disiplin agama yang ketat & sering memandang, pada dasarnya dunia ini rapuh dan terancam, hati manusia itu jahat & biadab.

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA Alfred Hitchcock tak bikin film sejarah seperti Gandhi? Dia bercenta tentang wanita pirang yang cantik yang dijatuhkan dari menara tinggi dalam Vertigo. Atau seorang lelaki lumpuh yang menyaksikan pelbagai kejahatan dari kursinya dalam Rear Window. Atau seorang gadis muda yang menyusup dalam gelap, berjalan di atap tinggi, tak disangka-sangka, dalam To Catch A Thief. Alfred Hitchcock menandatangani film-filmnya dengan kesuraman: dengan perut buncit, yang muncul bersama wajah gembil yang masam, sekejap. Dan bulu roma kita yang berdiri. Tujuan film-filmnya, demikian ia pernah berkata, adalah seperti tujuan cerita-cerita Allan Poe: suatu kisah yang sama sekali tak masuk di akal, tapi diceritakan dengan logika yang begitu memukau sehingga kita dapat kesan bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi pada diri kita, besok. Kisah yang "tak masuk di akal" itu karenanya berlangsung di antara orang-orang yang elegan, sopan, sehat wal afiat, dan tak kurang suatu apa: tokoh yang dengan kena dimainkan Cary Grand, Jimmy Stewart, atau Tony Perkins. Wajah dan sosok mereka bagaikan patung-patung marmar dalam ruang pualam yang tertib. Tapi, tiba-tiba, dor, segala retak dan khaos terjadi ..... Hitchcock, yang dibesarkan di East End di Kota London dalam disiplin agama yang ketat, berangkat dengan pandangan yang sering tak tersembunyi lagi: bahwa dunia ini, juga rasa aman, pada dasarnya rapuh dan terancam. Bahwa kejahatan berliang di dalam hati manusia. Bahwa kita punya potensi untuk biadab. Sir Alfred, dengan kata lain, menolak bahwa si kriminal bisa jadi kriminal karena sistem sosial atau "struktur", hal-hal yang bisa digempur secara serentak. Dan bila ia seakan bicara soal kejiwaan (dalam Psycho, misalnya), ia sebenarnya tidak tertarik kepada kejutan-kejutannya yang beraneka ragam, tapi kepada satu ragam yang ia pilih dengan tekun: jiwa yang berlumut, gatal bagai bulu, tapi tak diketahui. Kita dengan sendirinya tak bisa mengharap ia akan mencoba suatu epik, suatu kisah pahlawan, tentang perjuangan yang sukar dan manusia yang tak disentuh dosa. Untuk itu diperlukan jenis orang yang lain. Untuk itu diperlukan antusiasme yang cukup kepada harapan: semoga kita-kita ini orang baik hendaknya. Dan itulah memang peran pahlawan: peran sang penebus, yang mengangkat harapan dari sampah dan dunia yang bobrok. Barangkali itulah sebabnya Hitchcock tak akan memuaskan bagi masa sekarang. Kita agak dengan pasti boleh meramalkan bahwa seandainya ia masih hidup, dan terus, ia tak akan dapat sambutan. Yang menarik ialah bahwa ia sangat produktif justru di suatu masa, ketika optimisme bertabur di mana-mana. Dan seakan sejalan dengan zaman itu -- kira-kira 30 tahun yang lalu -- film-filmnya pun bisa cemerlang dalam tata warna. Dialognya pun mengandung rasa segar humor-humor kecil yang halus -- permainan dalam permainan. Singkatnya, suatu dunia yang tak cemas. Tapi sekaligus mungkin (dalam tatapan Hitchcock yang membisu dan seram) dunia yang dungu. Di masa kini kita seperti jadi Hitchcock dalam pelbagai variasi: memandang optimisme sebagai sesuatu yang dungu, atau kurang berakal, atau kurang jujur. Penindasan, pengisapan, penipuan, pembunuhan, pencemaran, pengangguran, pemborosan semua berdesak-desak dalam kalimat-kalimat kita sehari-hari. Kita tak tahu apa sebabnya semua itu terjadi, tapi kita tahu, kita tidak ingin semua faktor bekerja ke arah dunia yang sedang ambruk seperti itu. Untuk itu bahkan kita bersedia berdamai dengan hipokrisi -- sekadar menghibur, mungkin. Lalu kita pergi nonton, menemukan pahlawan. Dan Sir Alfred? Pada umurnya yang ke-80, ia tahu ia segera habis. "Ingrid, aku akan mati," katanya seraya menangis kepada Ingrid Bergman yang datang menengok. Dan Hitchcock memang mati, bersama tanda tangannya: perut yang buncit, wajah yang gembil, mulut yang diam, mata yang tanpa ekspresi, selintas, dan kita terkesiap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus