Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULA-MULA mari memberi selamat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah lama ditunggu, akhirnya ia merombak kabinet. Tidak frontal, memang: lima menteri diganti, dua lainnya bergeser posisi. Yang lain, adem ayem di tempatnya. Di antara para menteri baru, dua datang dari partai politik, tiga lainnya berlatar belakang profesional. Ada, memang, suara-suara yang mengatakan keputusan itu diambil dengan kelewat bertele-tele: menteri dipanggil ke kediaman pribadi Presiden di bawah sorot lampu kamera televisi. Selama berpekan-pekan isu reshuffle dilemparkan ke publik—membuat para menteri tak enak makan, tak nyenyak tidur. Tapi kita tak perlu nyinyir. Reshuffle kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Jadi, biarlah ia menentukan sendiri cara memanfaatkan hak istimewa itu.
Dua yang terpenting dari reshuffle ini adalah penggantian Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendera dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Keputusan Susilo mengganti duo itu menunjukkan Presiden memperhatikan tuntutan publik. Keduanya ditengarai terlibat dalam pencairan dana lebih dari Rp 100 miliar milik Tommy Soeharto di Bank Paribas cabang London. Kejaksaan menduga, duit itu diperoleh Tommy dari korupsi.
Meski kedua menteri belum terbukti mendapat bagian dari uang yang mereka cairkan, nyata terlihat bahwa mereka membuka jalan bagi praktek pencucian uang. Yusril memfasilitasi pencairan itu karena prosesnya dilakukan firma hukum Ihza & Ihza, perusahaan yang ia dirikan. Hamid bahkan meminjamkan rekening pemerintah untuk menampung harta Tommy—sesuatu yang jelas-jelas melanggar undang-undang perbendaharaan negara.
Pemberhentian keduanya diharapkan bisa membuat aparat hukum leluasa bergerak. Polisi tak perlu minta izin Presiden untuk memeriksa mereka. Kepala Polri dan Jaksa Agung tak perlu jengah menelisik Yusril dan Hamid karena keduanya bukan lagi teman sejawat.
Kalau mau dikritik dari reshuffle ini adalah dipertahankannya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie. Ical—begitu Aburizal biasa disapa—adalah bekas bos Grup Bakrie, pemilik Lapindo Brantas Inc., perusahaan yang bertanggung jawab atas bencana lumpur panas di Sidoardjo, Jawa Timur. Presiden mestinya tidak mempertahankan menteri yang punya konflik kepentingan semacam Ical.
Yang juga jadi pertanyaan adalah mengapa Susilo memindahkan Hatta Rajasa dari posisi Menteri Perhubungan ke posisi Menteri Sekretaris Negara. Dengan pengetahuan yang tak banyak tentang hukum tata negara, sulit untuk tak menduga bahwa keputusan itu diambil sebagai upaya untuk mempertahankan dukungan Partai Amanat Nasional—partai asal Hatta—kepada pemerintahan Susilo-Kalla. Alasan politis ini pulalah yang diduga berada di balik pengangkatan Ketua Fraksi Golkar DPR Andi Matalatta sebagai Menteri Hukum dan HAM serta Lukman Edi dari Partai Kebangkitan Bangsa sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Karena itu, rasanya terlalu naif jika kita mengharapkan Indonesia bakal berubah setelah reshuffle. SBY memang tak bisa mengabaikan tuntutan partai politik agar kebijakan pemerintah aman dari serangan legislatif. Di lain pihak, partai bukan tak punya kepentingan dengan masuk kabinet, termasuk memanfaatkan posisi menteri untuk memobilisasi dana menjelang Pemilu 2009. Dengan kata lain, jangan pula menutup mata dengan mengatakan bahwa menteri nakal akan musnah setelah kabinet dibongkar.
Di sini yang diperlukan adalah kepemimpinan yang ”firm” dari SBY. Sudah sering dikatakan orang: kelemahan pemerintah Susilo adalah pada diri presidennya sendiri. Ia peragu. Ia tak cepat mengambil keputusan. Ia kerap melewatkan momentum, membiarkan bola diambil ”musuh” seraya memotretkan diri sebagai pecundang—barangkali dengan maksud agar publik menaruh simpati.
Dengan alasan menjaga ”stabilitas” ia pernah juga tak tegas terhadap penyelewengan. Ambillah contoh kasus tunggakan pajak pengadaan helikopter BO 105 asal Jerman oleh PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan yang didirikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Alih-alih menggebrak dan meminta Wakil Presiden tak ikut campur, Presiden malah memerintahkan Departemen Keuangan membebaskan pesawat-pesawat yang sebelumnya telah dibeslah Bea dan Cukai. Dalam kasus pengadilan Soeharto, ia mengkhianati publik dengan minta Kejaksaan ”mengendapkan” perkara ini hingga akhirnya bekas Presiden Orde Baru itu urung dibawa ke meja hijau.
Susilo mestinya ingat bahwa ia adalah pemenang Pemilihan Presiden 2004—modal yang teramat besar untuk diabaikan. Ia tak boleh lagi menguras rekeningnya dengan mengambil kebijakan yang salah. Reshuffle adalah upaya untuk menambah rekening itu. Susilo harus merombak pola kepemimpinannya, kecuali ia ingin reshuffle ini sia-sia belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo