Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Patuhilah Ulil Amri

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalaluddin Rakhmat

  • Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia

    Dua puluhan tahun yang lalu, aku membangun jemaah setia di kalangan mahasiswa. Setelah lulus, mereka tersebar di seluruh Indonesia. Menjelang Ramadan atau Lebaran, teleponku biasanya tidak henti-hentinya berdering. ”Ustad, kapan Ustad mulai berpuasa?” ”Ustad, kapan berlebaran?”

    Dengan bangga aku menyebarkan fatwa tentang ”ijtihadku”. Kebanggaanku lebih besar jika ijtihadku bertentangan dengan keputusan pemerintah. Aku mengumpulkan informasi siapa saja yang mengikuti atau sepaham dengan fatwaku. Dengan begitu, aku bisa ”mengukur” jangkauan pengaruhku.

    Menjelang Lebaran tahun ini, teleponku berdering biasa-biasa saja. Untuk urusan yang enak dan perlu. Bahkan tidak ada yang bertanya: ”Mengapa kita tidak bersatu dalam urusan menentukan hari Lebaran?” Apakah aku sudah kehilangan pengaruhku pada jemaahku? Apakah fatwaku sudah tidak didengar lagi?

    Bukan. Mereka tahu. Aku akan menjawab pertanyaan mereka: patuhi keputusan pemerintah. Menurut para ahli fikih, keputusan waliyyul amri, atau hakim syar’i, atau sulthan, atau pemerintah bisa yarfa’ul khilaf, menyelesaikan perpecahan.

    Secara sederhana, hukum-hukum fikih itu bisa dibagi dua bagian: urusan privat dan urusan publik. Kita boleh berbeda dalam mengamalkan hukum-hukum fikih yang berkaitan dengan urusan privat. Wudu, salat, puasa, bahkan haji boleh kita lakukan sesuai dengan mazhab kita masing-masing. Anda boleh melakukan salat tarawih 11, 23, atau 100 rakaat atau tidak sama sekali.

    Tapi, ketika ibadat kita atau hukum-hukum fikih sudah memasuki wilayah publik, kita tidak boleh khilaf. Demi kepastian hukum dan demi ketertiban umum. Mazhab-mazhab yang berbeda menetapkan hari wukuf di Arafah yang bermacam-macam. Tapi, ketika Kerajaan Saudi menetapkan wukuf pada hari Kamis—sebagai misal—seluruh jemaah haji mematuhinya. Sunni dan Syiah berwukuf pada hari yang sama. Bayangkan apa yang terjadi sekiranya setiap mazhab bertahan dengan ijtihad mereka. Bayangkan kacau-balaunya ibadat haji karena ada dua kali wukuf, dua kali tiga hari melempar jumrah, dan seterusnya.

    Ada dua pendapat tentang talak orang mabuk. Menurut mazhab Syiah, Zhahiriyah, Laytsiyyah, dan Abu Tsawr, tidak sah. Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Awza’i, sah. Ada dua pendapat dari Syafi’i dan Ahmad; sah dan tidak sah. Untuk kepastian hukum dan supaya Anda dan istri Anda tidak bingung, keputusan pengadilan menyelesaikan ikhtilaf. Pengadilan harus merujuk hanya satu mazhab.

    Ada dua pendapat tentang metode menentukan hari Idul Fitri: rukyat dan hisab. Konon, berdasarkan hadis Nabi SAW: Berpuasalah kamu dengan melihat bulan dan berbukalah dengan melihat bulan. Ini rukyat. Nabi juga bersabda: Jika terhalang, maka ukurlah atau perkirakanlah. Ini hisab. Sekarang sebenarnya kedua-duanya digabungkan. Untuk menentukan bisa dilihat atau tidak, kita menggunakan hisab. Akurasi hisab juga harus diuji dengan data empiris selama bertahun-tahun.

    Jadi perbedaan penetapan awal Syawal bukan pemilihan metode hisab dan rukyat. Yang menjadi masalah kita sekarang adalah kriteria atau ukuran yang kita pergunakan. Menurut keputusan Muktamar Muhammadiyah tahun 2000, kriterianya ialah wujudul hilal. Bulan telah berada di atas ufuk setelah matahari tenggelam, walaupun hanya beberapa menit. Jangan kira NU tidak menggunakan hisab. Apalagi jangan mengira orang NU tidak mahir ilmu falak. Mereka menguji akurasi rukyat dengan hisab. Tapi kriteria yang mereka pergunakan bukan sekadar wujudul hilal. Mereka menggunakan kriteria imkanur ru’yat, kemungkinan bisa dilihat.

    Pada 1992, Menteri-menteri Agama dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) bersepakat untuk menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah berdasarkan kriteria imkanur ru’yat; tinggi bulan minimum 2 derajat, jarak bulan-matahari minimum 3 derajat, dan umur bulan saat magrib minimum 8 jam. Menurut T. Djamaluddin, anggota Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, Lapan, Bandung, dalam Pustaka Online Media ISNET, kriteria ini ”secara internasional sangat diragukan karena terlalu rendah. Kriteria internasional mensyaratkan tinggi bulan minimum 4 derajat bila jauh dari matahari dan tinggi bulan minimum 10,5 derajat bila dekat matahari.”

    Jadi mana yang betul, dong? Menurut Al-Quran, patuhilah ulil amri, yakni pemerintah. Menurutku, dahulukan akhlak di atas fikih!

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus