KENAPA pembentukan Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI) disambut debat meriah? Jawabnya tak tersembunyi di dalam atau belakang ICKI itu sendiri. Tapi dalam gejolak masyarakat Orde Baru akhir-akhir ini. Tampilnya isu ICKI cuma menyulut gairah dan gelisah yang sudah lama bertumpuk dan bersimpangsiur, akibat terpelesetnya kecendekiawanan dan kebangsaan. Ada yang mempersoalkan pembentukan ikatan untuk cendekiawan. Menurut pengamatan ini, cendekiawan adalah kaum yang bebas dan mandiri dari ikatan apa pun. Apalagi ikatan yang formal kenegaraan. Ada yang keberatan, cemas, atau curiga dengan penggunaan istilah "kebangsaan" pada ICKI. Dipertanyakan: apa benar istilah itu akan mengurangi sektarianisme? Apa mungkin ICKI mewakili kebangsaan rakyat Indonesia? Bagaimana bila yang terjadi misrepresentasi, bukan representasi? Atau reduksi kebangsaan untuk melayani sektarian baru dalam menandingi sektarian yang lain? Mereka yang punya koneksi istimewa dengan puncak-puncak politik negara ini bisa menjawab pertanyaan itu dengan mengintip siapa di balik ICKI, mau berbuat apa, dan mengapa. Informasi itu sering dijual sebagai komoditi mewah. Seakan-akan makna ICKI atau dinamika politik negara berpusat di segelintir elite negeri ini. Kita-kita yang jauh dari panggung politik hanya bisa menonton dari jauh pula. Tapi publik tak kalah penting bagi kisah politik dengan lakon apa pun. Kepada publiklah para aktor dan jalannya pertunjukan ditampilkan di panggung. Terlepas dari apa yang mereka siapkan di balik panggung. Kepada publik pulalah, kita-kita ini, ICKI memproklamasikan diri dan diperdebatkan. Bila di panggung politik dikibarkan bendera "cendekiawan" atau "kebangsaan", yang melakukan itu tentunya punya perhitungan dan dugaan apa sikap khalayak luas. Istilah, nama, dan bahasa dalam ruang publik adalah kekuatan mobilisasi massa. Mirip iklan, sirene, atau busana. Lihatlah kekuatan sosial baju safari, jins, atau jilbab. Masalah ICKI memang bukan sekadar soal nama. Soal ini tak usah menggusur perhatian kita dari soal siapa di balik ICKI dan ada target apa di depan ICKI. Tapi keliru jika soal nama, istilah, itu dipisahkan dari persoalan tokoh, kelompok, dan kepentingan mereka. Atau dianggap tak sepenting daripada yang belakangan ini. Kita belum banyak tahu sosok ICKI. Bisa jadi ia tak sehebat perdebatan tentangnya hari ini. Namun, yang kita tahu, ICKI membuka cakrawala kontroversi karena "cendekiawan" dan "kebangsaan" punya bobot makna yang tak sembarangan dalam masyarakat ini. Sosok masyarakat kita yang memanjakan, jika bukan memuliakan, cendekiawan dan kebangsaan inilah yang lebih penting disimak. Kok begitu, ya? Apa implikasinya? Dengan atau tanpa hadirnya ICKI. Istilah "cendekiawan" pada hakikatnya adalah gelar yang dibikin dan dipakai sendiri oleh kelompok yang sama. Yakni mereka yang menikmati sejumlah hak istimewa dalam masyarakat. Status itu tetap berlaku selama masyarakat mengakuinya. Status ini didapat dengan siasat yang paradoksikal. Ia didapat karena posisi dekat dengan kekuasaan (negara/partai/agama/perusahaan) tanpa melebur dalam kekuasaan itu. Bahkan mereka menyangkal bersekutu dengan kekuasaan apa pun. Mereka tampil kritis, mandiri, dan seakan-akan tak punya pamrih. Para tokoh aktivis yang paling "vokal" biasanya bukan mereka yang paling menderita secara lahir maupun batin. Orang yang dianggap cendekia mendapat julukan cendekiawan. Tapi orang yang memperjuangkan kebangsaan tak disebut bangsawan. Karena bangsawan punya arti lain? Tapi lihat: para cendekiawan adalah pemeran utama dalam drama bangkitnya nasionalisme yang merebut kekuasaan bangsawan di Eropa dan jajahan Eropa. Cendekiawan adalah bangsawan baru yang mengkudeta bangsawan lama. Sosok dan sepak terjang kebangsaan atau nasionalisme di masa Orde Baru ini telah berakrobatik. Dalam proses bangkitnya nasionalisme, hak-hak asasi manusia secara individual maupun golongan merupakan unsur-unsur yang tak terpisahkan. Juga internasionalisme. Tapi kini kebangsaan Indonesia sering dipertentangkan dengan kemerdekaan sipil, hak-hak asasi individual, dan internasionalisme. Seakan-akan yang satu dapat dipisahkan dari lainnya. Kemerdekaan sipil dan hak-hak asasi dianggap berbau liberalisme/individualisme. Ditampik semata-mata karena dianggap datang dari Barat. Maka, tak cocok bagi jati diri bangsa. Padahal, tanpa liberalisme dan kolonialisme Barat, tak akan ada nasionalisme Indonesia. Apalagi jati diri Indonesia. Jati diri Indonesia adalah konstruksi wacana romantik dari ilmu-ilmu sosial Eropa abad ke-19. Kini di Indonesia sejarah nasionalisme dikisahkan seakan-akan hanyalah sejarah negatif, yakni melawan kolonialisme. Dan kolonialisme itu sendiri diartikan melulu kekuatan asing. Padahal nasionalisme juga merupakan proyek yang positif. Yakni membangkitkan yang tertindas: kemerdekaan berbicara, berserikat, hidup layak dan bermartabat. Sejak awal hingga akhirnya, kolonialisme adalah kolusi kaum pribumi dan asing. Dari priayi hingga kuli. Tanpa internasionalisme, nasionalisme menjadi chauvinism. Yakni nasionalisme sempit yang hanya membela bangsa sendiri dan bukan kedaulatan semua bangsa di dunia. Menganggap nasionalisme bangsa lain sebagai ancaman, separatisme, ekstrem kiri/kanan merupakan pelecehan nasionalisme versi UUD 1945. Sejak Indonesia berhasil bangkit gagah, berbagai pihak memperebutkan rumusan identitasnya dan berlomba menjadi wakilnya. Kontroversi ICKI membantu kita membongkar soal yang lebih fundamental ketimbang ICKI-nya sendiri. Ada pelesetan demokratisasi dan pelecehan hak-hak asasi yang terlalu lama dibungkam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini