Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riki Dhamparan Putra
Deklarator Jaringan Intelektual Berkemajuan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan terhadap hasil hitung cepat (quick count) pemilihan presiden 2019 telah menimbulkan keributan dalam masyarakat. Hal ini bisa menjadi indikasi belum utuhnya penerimaan atas proses demokrasi yang berlandaskan konstitusi pada sebagian elite politik dan massa pendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang juga menarik disoroti dalam proses ini adalah eksploitasi atas simbol-simbol, atribut, dan ungkapan agama (Islam) yang tidak pada tempatnya yang berlangsung sepanjang proses pemilihan presiden 2019. Agama dengan perilaku seperti itu telah dibawa ke ruang yang sempit, rawan, dan antidemokrasi karena berpotensi mengalami benturan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain.
Kita tentu berharap penolakan ini tidak berlanjut hingga Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil penghitungan dan rekapitulasi suara resmi nanti. Kalau hal itu sampai terjadi, bukan hanya proses formal demokrasi yang cacat, tapi hubungan sosial dan budaya juga akan cedera. Hal ini karena energi politik pada dasarnya dipasok dari ruang kultural. Ruang kultural yang rusak akan berdampak kerusakan keseimbangan hidup kita secara luas di masa depan.
Lalu bagaimana unsur-unsur kultural itu bekerja menghadang potensi kerusakan itu? Dalam konteks inilah kita ingin melihat sumbangsih lembaga-lembaga kultural, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menjaga keseimbangan di ruang kultural itu.
NU dan Muhammadiyah memang tidak perlu terlibat secara formal dalam proses politik praktis yang dijalankan sebagai bagian dari proses demokrasi kita. Namun, NU dan Muhammadiyah merupakan organisasi kultural keagamaan sehingga punya tanggung jawab kultural dan moral untuk menjaga sendi-sendi demokrasi itu agar tidak goyah akibat proses politik praktis yang berlangsung.
Peran semacam itu telah dijalankan secara konsisten selama ini. NU, misalnya, pada masa reformasi bergulir mengembangkan wacana melalui diskusi-diskusi intens tentang pluralisme. Bahkan, melalui Musyawarah Nasional Ulama NU pada November 1997 di Lombok Tengah, NU telah mengeluarkan pendapat tentang kemuliaan wanita dan mendukung partisipasi wanita dalam berbagai bidang, termasuk politik.
Masih pada tahun yang sama, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga menegaskan kebolehan perempuan untuk menjadi presiden sesuai dengan dalil-dalil agama. Bibit-bibit pandangan progresif semacam ini, bahkan bagi Muhammadiyah, telah berlangsung pada awal didirikannya Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Salah satunya adalah pendirian Aisyah yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan dan peran kaum wanita dalam ranah sosial.
Putusan-putusan itu membawa dampak besar pada kemajuan demokrasi di Indonesia karena proses demokrasi, terutama nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan, memiliki basis kultural yang kuat melalui keputusan tersebut. Dalam konteks semacam inilah kita melihat peran NU dan Muhammadiyah dalam proses politik praktis tidak mungkin dilewatkan karena politik praktis hanya bagian dari proses yang lebih besar, yakni proses budaya. Atas dasar historis ini pula kita tak perlu heran mengapa pada hari-hari belakangan, NU dan Muhammadiyah aktif mengeluarkan pernyataan terkait dengan pemilihan presiden 2019.
Argumentasinya, ini tentu tidak semata karena faktor elektabilitas, tapi juga timbulnya ketegangan sosial-budaya akibat eksploitasi emosi keagamaan yang meliputi proses pemilihan presiden. Sebagai lembaga besar yang memiliki otoritas kultural dan keagamaan, tak pelak partisipasi NU dan Muhammadiyah dengan sendirinya diperlukan. Dukungan mayoritas ulama dan warga NU terhadap pasangan calon presiden-wakil presiden Jokowi-Ma’ruf Amin, misalnya, muncul bukan hanya karena Ma’ruf Amin maju sebagai wakil presiden, tapi juga karena keduanya dipandang lebih mewakili keberagaman, mewakili asas-asas NU tentang Islam Indonesia. Pilihan dan sikap itu sekaligus menegaskan penolakan kaum NU atas ideologi-ideologi scriptural, seperti khilafah dan negara Islam, yang pendukung-pendukungnya ditenggarai berada di kubu lain.
Peran ulama NU dalam menetralkan isu-isu hoaks tentang rezim yang pro-sekularisme, pendukung LGBT, dan sebagainya yang sangat santer menguasai imajinasi publik selama proses pemilihan presiden itu patut dihargai sebagai usaha untuk mengembalikan keadaban dan kejernihan dalam kehidupan beragama dan budaya.
Muhammadiyah, walaupun tidak eksplisit mendukung calon presiden tertentu, tetap menjalankan tanggung jawab kulturalnya melalui pernyataan-pernyataan yang berpihak pada nilai keberagaman dalam demokrasi, konstitusi, keindonesiaan, dan menolak politisasi agama. Hal ini, selain menjadi titik temu antara akidah modern NU dan Muhammadiyah sekaligus menjadi tamparan bagi pihak-pihak yang memimpikan ideologi lain di luar demokrasi Pancasila.