Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kritik Wakil Presiden Jusuf Kalla soal perbankan yang lebih suka menempatkan dana di Sertifikat Bank Indonesia ketimbang menyalurkannya ke dunia usaha sepintas lalu tepat. Juga ketika Kalla menyentil pedas perbankan yang cenderung menganaktirikan usaha kecil dan menengah. Data yang ada di Bank Indonesia menunjukkan kritik Kalla memang benar adanya.
Data di bank sentral menunjukkan, ketika dana pihak ketiga di perbankan pada Februari lalu mencapai Rp 1.284 triliun, kredit yang disalurkan hanya Rp 778 triliun (61 persen). Sebaliknya, dana perbankan di SBI malah melonjak 47 persen menjadi Rp 201 triliun pada periode Oktober 2006-Februari 2007. Bahkan, pada periode yang sama, kredit untuk usaha kecil dan menengah turun 2,3 persen menjadi Rp 105,54 triliun.
Namun tak semua kesalahan bisa ditimpakan pada pengelola bank. Sebagai institusi bisnis, pengelola perbankan pasti ditugasi pemiliknya—termasuk pemerintah—untuk mencari untung. Ketika dunia usaha dianggap masih rawan, masuk akal jika perbankan memilih jalan aman. Apalagi penyerapan kredit oleh dunia usaha ternyata juga lamban.
Kalaupun perbankan harus dipersalahkan, itu menyangkut suku bunga. Ketika BI Rate yang menjadi patokan perbankan untuk menetapkan bunga sudah turun sampai 8,75 persen pada pekan lalu, suku bunga kredit masih di atas 15 persen. Perbankan lebih responsif menurunkan bunga simpanan ketimbang bunga kredit.
Yang aneh, masalah ini seolah-olah seperti soal ayam atau telur. Padahal soalnya bisa dibuat sederhana. Pemerintahlah yang harus berada di depan untuk memecahkan persoalan ini. Pemerintah memiliki segala sarana dan prasarana untuk memecahkan kebuntuan yang sudah bertahun-tahun ini. Saat ini, kemauan pemerintah untuk segera memperbaiki keadaan belum terlihat.
Pemerintah bisa memulainya dengan perbaikan iklim investasi. Ini syarat mutlak. Hal ini bisa dilakukan dengan menyederhanakan, mempermudah, dan mempercepat proses perizinan impor bahan baku dan ekspor barang. Yang tak kalah penting adalah menghapuskan pungutan, baik oleh aparat birokrasi maupun masyarakat sipil.
Bertahun-tahun dunia usaha meminta semua itu, tapi pemerintah sangat lamban. Padahal Kabupaten Sragen, misalnya, membuktikan bahwa dengan kemauan yang kuat, perbaikan bisa dilakukan. Hanya dengan cara itu, investasi di sektor riil akan meningkat, baik melalui pabrik baru maupun perluasan usaha. Pada gilirannya, itu akan mengurangi angka pengangguran.
Jika kesempatan kerja bertambah, kita bisa berharap daya beli masyarakat meningkat. Bila daya beli menguat, konsumsi akan meningkat, dan dunia usaha bisa berkembang untuk merespons penguatan daya beli tersebut. Perbankan pun maju karena simpanan masyarakat akan meningkat dan ini bisa diputar kembali di dunia usaha.
Namun perbaikan iklim investasi saja tidak cukup. Pemerintah juga harus punya blueprint mengenai sektor industri yang hendak diprioritaskan. Infrastruktur jelas yang paling utama, tapi pilihan tempat dan jenisnya menjadi sesuatu yang krusial. Janganlah pemerintah sibuk mengurus jalan tol dalam kota atau monorel di Jakarta tapi membiarkan jalur lintas Sumatera babak-belur.
Sektor usaha yang menyerap banyak pekerja juga penting dikembangkan. Pemerintah juga harus memberikan nilai tambah kepada sektor yang daya saingnya rendah, terutama pertanian. Pemerintah juga perlu mendorong dunia usaha memperbaiki diri agar tampak bankable. Ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan lembaga penjamin kredit PT Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha.
Jika semua itu dilakukan, perekonomian pasti akan berjalan lebih cepat. Pemerintah dan dunia usaha serta perbankan tak perlu saling tuding. Kalau situasinya memang kondusif, kredit pasti akan mengucur. Sebaliknya, kalau rawan, didorong sekeras apa pun, perbankan akan lebih prudent.
Pengalaman masa lalu jelas tak bisa diabaikan. Ketika praktek perbankan ngawur—antara lain lebih banyak memberikan utang kepada pemilik bank dan tidak hati-hati dalam memberikan pinjaman—bukan hanya mereka yang kolaps. Negeri ini terjungkal ke dalam jurang yang begitu dalam. Kita tak perlu mengulang kesalahan yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo