ALCESTE adalah pembenci kemunafikan.
Barangkali tak ada duanya tokoh dalam komedi yang diciptakan
Moliere di Prancis abad ke-17 ini. Dengan penuh kepahitan,
Alceste menentang kepura-puraan di masyarakat, hingga ia
memutuskan untuk hengkang saja dari keramaian dunia. Seorang
penulis menyebutnya sebagai "antihipokrit profesional", dan ia
memang berkata garang:
Biarkan manusia berlaku seperti manusia, biarkan
Mereka tunjukkan isi hati bila bicara.
Biarkan jantung didengar, dan perasaan kita lepas
Jangan tutupi dengan pujian dipulas-pulas
Memang memuakkan, hipokrisi. Tapi tidakkah Alceste berlebihan
Bagi Moliere, pujangga kraton yang pintar itu, memang
demikianlah. Alceste pada akhirnya terdengar sebagai pembenci
kehidupan, bukan sekedar musuh masyarakatnya. Moliere menamakan
komedinya Le Misanthrope.
Di akhir cerita Alceste gagal bercinta. Tapi ia mencoba
memaafkan dengan syarat, agar si pacar undur saja dari
keramaian. Gadis culas itu emoh. Maka Alceste pun memutuskan
untuk menyingkir sendiri. Ia pergi dari apa yang disebutnya
sebagai onggokan najis tempat dari setiap hal yang keji. Tentu
saja yang dimaksudkannya masyarakat khususnya masyarakat yang ia
lihat.
Keberatan yang umum terhadap Alceste ialah bahwa ia bersikap
ekstrim. Keberatan yang lain ialah bahwa ia sendiri pada
dasarnya seorang hipokrit: seorang yang tak hendak mengakui
kelemahan manusia, sama saja dengan seorang yang mengingkari
kemungkinan dosa. Maka psikologinya adalah psikologi seorang
yang takut, sangat takut, yang mencoba menutup mata kepada
cacing dalam perutnya sendiri.
Namun kecaman kepada Alceste yang seperti itu akan merupakan
lingkaran setan. Jika seorang yang antihipokrisi kemudian kita
bongkar sebagai contoh lain dari hipokrisi, maka apakah yang
tinggal dalam diri kita sebagai penentang kemunafikan si
antimunafik? Bukankah kenunafikan lagi?
Maka, marilah kita cari jalan lain untuk penyelamatan. Sirkel
itu terlampau memusingkan, dan muram. Alceste mungkin bisa
dilihat sebagai potensi yang mulia. Kita mungkin bisa berkata
kepadanya seperti Zarahustra, dalam ciptaan Nietzsche, berbicara
kepada seorang pemuda yang mencemburuinya: "Jangan kau tolak
kasih dan harapanmu! . . . Jangan kau tolak sang pahlawan yang
ada dalam sukmamu!"
Bahkan dalam kemunafikan ada sesuatu yang positif. Seorang yang
cendekia pernah mengatakan bahwa hipokrisi adalah suatu
penghormatan yang diberikan oleh keburukan kepada kebajikan.
Setidak-tidaknya persoalannya harus dilihat sebagai sesuatu yang
remeh, dan Alceste tetap hanya seorang tokoh komedi.
Kesulitan yang mungkin dihadapi ialah bahwa pada saat hukum
tidak berhasil mengatur kelakuan menurut kebajikan yang diakui
umum, masalah hipokrisi menjadi lebih serius. Jika tak ada
ketentuan yang bersifat publik, banyak hal dipulangkan kepada
tauladan. Dan itu berarti tingkah laku pribadi-pribadi. Dengan
demikian kebajikan di depan umum dituntut harus sama dengan
kebajikan dalam hidup privat. Seorang, apalagi yang harus jadi
tauladan, diberi beban yang lebih besar--tanpa batas yang jelas
mana yang patut dan mana yang tidak, tanpa batas yang jelas di
mana perannya sebagai pribadi berakhir dan di mana perannya
sebagai tokoh publik bermula.
Memang berat, agak terlampau berat. Terutama bila hati nurani,
atau yang bisa disebut seperti itu, tengah berada dalam zaman
yang ruwet seperti sekarang. Dalam hal sedemikian mungkin
Alceste bisa merebut simpati kita, atau sekali-sekali ia
sebaliknya menimbulkan kejengkelan. Apa pun penampilannya, ia
selalu mengingatkan, bahwa kita harus mencari tempat di hadapan
pertunjukan yang mengasyikkan ini. Ataukah ia tidak mengasyikkan
lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini