TERUNGKAPNYA dugaan korupsi penjualan logam mulia ilegal yang menyeret pejabat PT Aneka Tambang (Persero) atau Antam menandakan persekongkolan jahat perusahaan negara dan pengusaha nakal tak pernah surut. Ini buntut lemahnya pengawasan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan buruknya penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Kejaksaan Agung menetapkan enam general manager Antam periode 2010-2022 menjadi tersangka korupsi tata kelola emas yang diklaim merugikan negara ratusan triliun rupiah. Mereka disangka telah menyalahgunakan wewenang karena melekatkan merek logam mulia (LM) Antam pada emas milik perusahaan swasta. Sebagian emas tersebut ditengarai ilegal karena berasal dari penambang tak berizin. Logam mulia itu dijual ke pasar bersamaan dengan emas resmi produksi Antam.
Para pejabat Antam tersebut dituding menabrak aturan karena pelekatan merek LM Antam ini wajib didahului dengan kontrak kerja dan ada biaya yang harus dibayarkan pihak swasta. Sebab, merek ini merupakan hak eksklusif Antam. Menurut kalkulasi kejaksaan, sebanyak 109 ton emas ilegal berlogo Antam dengan berbagai ukuran diproduksi sepanjang 2010-2022.
Skandal emas Antam ini kian menambah panjang deretan kasus kongkalikong perusahaan tambang negara itu dengan pihak swasta nakal. Kongsi dagang Antam dengan perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara sudah berulang kali terjadi.
Sebelumnya, Antam diterpa perkara korupsi pengusaha properti asal Surabaya, Budi Said, pada 2018. Pengusaha berjulukan Crazy Rich Surabaya itu menjadi tersangka kasus rekayasa jual-beli emas logam mulia bersama sejumlah oknum pegawai Antam dengan kerugian negara mencapai Rp 1,1 triliun.
Lalu, kasus bisnis pengolahan emas Siman Bahar pada 2023. Saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi menduga Siman berkolusi dengan pejabat Antam sehingga perusahaannya mendapat kontrak pemurnian anoda logam menjadi emas. KPK mencurigai kejanggalan transaksi bisnis pengusaha asal Pontianak itu yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.
Praktik serupa terjadi ketika Antam menyerahkan Blok Mandiodo—area konsesi tambang nikel Sulawesi Tenggara—kepada PT Lawu Agung Mining milik Windu Aji Sutanto. Dalam perkara yang juga diusut Kejaksaan Agung ini, bekas bos Antam divonis bersalah karena memberikan hak pengelolaan konsesi tambang nikel milik perseroan kepada Windu Aji, pengusaha yang juga bekas tim sukses Jokowi dalam Pemilu 2019.
Kongsi lancung ini sulit diterima akal sehat. Perusahaan negara bidang pertambangan menjalin bisnis dengan perusahaan antah-berantah di bidang yang semestinya dikuasai Aneka Tambang selama bertahun-tahun.
Kerja sama operasi (joint operation) selalu menjadi modus Antam menyerahkan aset-aset bernilainya kepada perusahaan swasta yang memiliki kedekatan dengan penguasa dan petinggi lembaga penegak hukum.
Bukan hanya di Antam, praktik bisnis kotor yang sama juga berlangsung di BUMN lainnya, seperti PT Timah. Contohnya, penyelidikan kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah di Bangka Belitung periode 2015-2022 yang diduga menimbulkan kerugian hingga Rp 271 triliun.
Sederet kasus itu menunjukkan bahwa komitmen perusahaan negara untuk menciptakan praktik bisnis sesuai dengan good corporate governance masih jauh panggang dari api. Kementerian BUMN, sebagai pemegang saham mayoritas, tidak pernah mengevaluasi pelbagai penyimpangan tersebut.
Melihat pelbagai penyimpangan yang terjadi di Antam itu, Kejaksaan Agung mesti berfokus dan mengusut sampai tuntas dugaan jual-beli logo logam mulia tersebut. Penting bagi penyidik untuk memastikan jumlah kerugian negara, yang sempat diklaim sebanyak 109 ton.
Saatnya kejaksaan tidak lagi tergoda mengulangi kebiasaan mengumumkan total kerugian negara yang bombastis, tapi berpotensi meleset dalam pembuktian di pengadilan. Populisme adalah kuman dalam penegakan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini