Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dunia menunggu komitmen baru para pemimpin dunia dalam KTT perubahan iklim di Glasgow.
Strategi mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menurunkan emisi gas rumah hanya ilusi.
Paradigma baru blue degrowth menahan pertumbuhan dan menyelamatkan lingkungan.
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini perhatian masyarakat dunia tertuju pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, yang berlangsung pada 31 Oktober-12 November. Seluruh kepala negara berkumpul dan akan menyepakati komitmen baru dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Saya berharap pengurangan emisi gas rumah kaca tak hanya dilakukan melalui produksi energi baru terbarukan (EBT), tapi juga lewat strategi global yang lebih radikal, khususnya bagi wilayah pesisir dan laut, supaya manusia nyaman menghuninya serta sumber dayanya berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilayah pesisir di dunia, termasuk di Indonesia, merupakan kawasan padat dan dengan beragam aktivitas, dari permukiman, bisnis, pelabuhan, transportasi laut, perikanan tangkap, budi daya laut, hingga industri maritim. Wilayah pesisir juga memiliki sumber daya dan ekosistem khas, seperti mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Semuanya berperan meningkatkan produktivitas perairan dan menjaga keseimbangan ekologi. Terganggunya salah satu bagian akan mempengaruhi metabolisme alam perairan.
Wilayah dan ekosistem pesisir ini rentan terhadap pemanasan global, seperti suhu dan permukaan laut yang naik serta terjadinya pengasaman. Bila hal itu terjadi, kehidupan manusia di sana terancam oleh, antara lain, hantaman gelombang laut, rob, perubahan arus laut, dan curah hujan yang tinggi disertai badai. Akibatnya, tak sedikit korban jiwa, banyak orang kehilangan mata pencarian, serta kota-kota pesisir terancam tenggelam.
Dampak Lingkungan
Berbagai hasil riset ilmiah menunjukkan kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim. Pertama, perubahan iklim mempengaruhi distribusi spesies dan kelimpahan organisme di wilayah tersebut. Peneliti memprediksi kenaikan karbon dioksida mencapai 720 part per million (ppm) di atmosfer hingga 2100 akan menghilangkan 25 persen tangkapan ikan Indonesia. Pemicunya, ikan bermigrasi dari perairan tropis ke subtropis. Negara subtropis bakal mengalami surplus tangkapan ikan. Akibatnya, penangkapan ikan akan kian jauh dan mahal (Cheung et al, 2009). Dampaknya, tangkapan nelayan tradisional semakin merosot. Mereka juga tersingkir dari ruang hidupnya dan ekonomi rumah tangganya terancam (Assan et al, 2020). Jika suhu air laut naik 1,5 derajat Celsius, ia diramalkan akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut dunia hingga 2050. Kenaikan suhu air laut dan keasamannya bakal memutus rantai makanan katastropik perairan, yaitu pteropoda. Populasi salmon, makerel, herring, dan cod juga akan merosot tajam.
Kedua, perubahan iklim mempengaruhi reproduksi dan pertumbuhan organisme yang hidup di wilayah pesisir. Selama ini, wilayah pesisir kian terpapar hebat akibat tekanan antropogenik, yakni sedimentasi, eutrofikasi, dan polusi. Perubahan iklim semakin membuat runyam kehidupan biota dan ekosistem di sana. Akibat perubahan suhu, proses reproduksi hewan akan terganggu sehingga keberlangsungan hidupnya terancam, terutama di estuari. Contohnya, pertumbuhan dan pola makan ikan terganggu sehingga kelimpahan biomassa merosot (Assan et al, 2020).
Ketiga, melonjaknya emisi gas rumah kaca membuat sistem laut mengalami risiko transformasi ekologis mendasar yang tak bisa berubah (irreversible). Secara antropogenik, hal ini bakal mengakibatkan penurunan produktivitas perairan pesisir, berubahnya dinamika rantai makanan, berkurangnya kelimpahan spesies pembentuk habitat pesisir, bergesernya distribusi spesies, serta munculnya ancaman potensi penyakit (Hoegh-Guldberg & Bruno, 2010). Ancaman penyakit muncul akibat jangkauan geografis organisme patogen makin luas. Jenis sumber daya yang rentan adalah udang, padang lamun, tiram, bintang laut, terumbu karang, abalon, dan bulu babi (Johan et al, 2015). Manusia terancam tak dapat mengkonsumsi makanan laut. Aktivitas wisata selam menikmati keindahan terumbu karang juga bakal terancam hingga tinggal cerita.
Keempat, perubahan iklim mempengaruhi kehidupan masyarakat pemukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemicunya adalah kenaikan permukaan laut, peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca buruk (gelombang tinggi, badai, dan topan), serta perubahan sebaran dan kesehatan hewan perairan pesisir dan laut. Mereka terancam kehilangan permukiman dan pulau kecil beserta ekosistemnya terancam tenggelam (Douglassa & Cooperc, 2020). Apalagi pasokan pangan masyarakat pulau kecil tergantung dari luar sehingga mereka pun terancam kelaparan.
Ragam dampak perubahan iklim ini membuktikan bahwa wilayah pesisir beserta ekosistem, biota, hingga manusia yang menggantungkan hidup pada sumber dayanya akan terancam. Sudah waktunya kita mengubah paradigma pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir.
Blue Degrowth
Perubahan iklim global melahirkan beragam paradigma pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam. Ragam paradigma tersebut, di antaranya, adalah pertumbuhan hijau (green growth) dengan ekonomi hijaunya serta pertumbuhan biru (blue growth) dengan ekonomi birunya. Semua paradigma itu gagal mengerem emisi gas rumah kaca. Pertumbuhan ekonomi tinggi berbanding lurus dengan kenaikan emisi. Ertör & Hadjimichael (2020) secara kritis menyebutkan bahwa pertumbuhan biru yang diusung ekonomi biru hanyalah ilusi.
Memang, negara-negara berkembang berbasis sumber daya pesisir dan lautan, termasuk Indonesia, masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menyediakan lapangan kerja serta meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan devisa. Ini ditambah jargon mengenai jaminan kesehatan dan keberlanjutan ekosistem laut.
Nyatanya, produksi emisi karbon juga malah tumbuh kian pesat, termasuk di sektor perikanan tangkap yang mengoperasikan kapal berbobot lebih dari 30 GT. Parker et al (2018) menyebutkan bahwa pada 2011 total pendaratan ikan dunia mencapai 80 juta ton. Penangkapannya menghabiskan 40 miliar liter bahan bakar minyak dan memproduksi emisi gas rumah kaca setara dengan karbon dioksida sebesar 179 juta ton ke atmosfer. Negara-negara penyumbang emisi terbesar dari armada tangkapnya adalah Cina, Indonesia, Vietnam, Amerika Serikat, dan Jepang.
Bagaimana hubungan emisi gas rumah kaca dengan pendapatan domestik bruto (PDB) riil sebagai indikator pertumbuhan ekonomi? Ternyata, secara global, emisi karbon dioksida per unit PDB riil menurun relatif kecil dengan tingkat decoupling (keterlepasan) antara pertumbuhan PDB dan dampak lingkungan sebesar 1,8 persen per tahun sepanjang 1995-2018. Apabila dunia menargetkan emisi nol persen pada 2050, semestinya emisi karbon per unit PDB riil turun 9 persen (Tagliapietra & Wolff, 2021). Tentu hal tersebut disertai pertimbangan populasi dunia saat ini. Jika populasi dunia bertambah, otomatis penurunannya harus lebih tinggi lagi.
Sudah waktunya dunia mengembangkan paradigma baru pembangunan ekonomi berorientasi emisi rendah karbon secara radikal, termasuk di wilayah pesisir. Sudah saatnya para pemimpin dunia di KTT COP26 mempertimbangkan penurunan pertumbuhan untuk kawasan pesisir dan laut (blue degrowth). Demaria et al (2013) menyebut blue degrowth sebagai upaya mengurangi redistribusi produksi dan konsumsi yang dikendalikan secara demokratis, terutama negara-negara industri maju produsen tinggi emisi gas rumah kaca, supaya terwujud keadilan sosial-ekonomi, ekologi, dan kesejahteraan masyarakat global.
Premis blue degrowth adalah dunia sulit mengerem kenaikan emisi karbon secara signifikan jika PDB riil terus dipaksa tumbuh. Padahal ekonom Simon Kusznet mengakui bahwa teori pertumbuhan itu tak bakal terus tinggi dalam jangka panjang. Ia akan mencapai “keadaan ekonomi mapan” (steady state economics), sebagaimana dikehendaki degrowth lewat pertumbuhan rendah untuk menghindari bencana ekologi. Gagasannya memang radikal jika diterapkan dalam pembangunan ekonomi berbasis sumber daya wilayah pesisir sekaligus mengatasi dampak perubahan iklim.
Orientasi blue degrowth adalah membangun visi bersama masyarakat pesisir secara partisipatif, memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir atas akses dan kelola sumber daya, mengutamakan produksi skala kecil, konsumsinya bersifat lokalitas, mengembangkan koperasi perikanan disertai dukungan teknologi informasi, serta mengelolanya bersama wilayah laut (common pool resources). Paradigmanya adalah antitesis dari pertumbuhan yang eksploitatif, ekstraktif, berlebihan produksinya, dan cara konsumsinya kapitalis neoliberal. Ilmuwan pengusung blue degrowth yakin paradigma ini mampu mewujudkan keadilan sosial dan ekologi dengan minimalkan pemanfaatan energi dan material dari lautan hingga mendistribusikannya secara adil.
Riset terbaru Keyßer & Lenzen (2021) menyebutkan degrowth akan menekan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius sesuai dengan target Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Pasalnya, jika melampaui target tersebut, dampak di wilayah pesisir seperti diuraikan di atas bakal merebak.
Ironisnya, Indonesia kini malah mau memprivatisasi wilayah pesisirnya lewat kebijakan tambak estate dan sistem kuota di 11 wilayah pengelolaan perikanan. Jelas, kebijakan ini berorientasi pada PDB riil lewat target ambisius PNBP sebesar Rp 12 triliun hingga 2024. Bukankah kebijakan ini akan memperlambat penurunan emisi karbon? Bukankah dengan kebijakan ini Indonesia menyalahi Kesepakatan Paris yang telah diratifikasinya agar menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 dan net-zero emission pada 2060?
Dengan demikian, pemerintahan Presiden Jokowi mesti meninjau ulang kebijakan privatisasi perikanan serta sumber daya dan lahan di pesisir untuk menekan dampak perubahan iklim yang dapat memicu krisis ekonomi dan ekologi. Pemerintahan Jokowi juga perlu mempertimbangkan paradigma blue degrowth dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo