Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema Surplus Listrik dan Energi Hijau

PLN kelebihan pasokan listrik. Indonesia dalam dilema untuk tetap menggunakan energi fosil atau melanjutkan transisi ke energi hijau.

10 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah mencanangkan megaproyek listrik 35 ribu megawatt sejak 2015.

  • Kini PLN mengalami kelebihan pasokan listrik.

  • Akan dikemanakan kelebihan listrik itu dan bagaimana nasib transisi energi?

Moh. Samsul Arifin
Mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV dan mantan Supervisor Program Green Talk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah terus-menerus defisit listrik selama 75 tahun sebelum 2020, akhirnya PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menghadapi kelebihan atau surplus listrik. PLN kelebihan listrik sebesar 7.000 megawatt pada Februari 2022. Angka itu setara dengan seperlima dari target kebutuhan listrik dalam megaproyek listrik 35 ribu megawatt, yang diusung pemerintahan Joko Widodo sejak 2015.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Megaproyek listrik 35 ribu megawatt merupakan misi besar pemerintah meskipun sempat ada ketidaksinkronan pendapat di lingkup internal kabinet. Rizal Ramli, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, mengkritik proyek tersebut dan terlibat "gontok-gontokan" di media massa dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rizal menilai proyek itu lebih besar daripada kebutuhan rakyat dan memaksakannya hanya akan merugikan PLN. Sedangkan Kalla "firm" dengan kebijakan tersebut karena listrik selalu dibutuhkan dan penting untuk membangun, menggerakkan industri, dan memutar roda ekonomi.

Enam tahun kemudian, hingga Agustus 2021, megaproyek itu berbuah listrik dengan kapasitas 10.469 megawatt yang masuk tahap commercial operation date (mulai beroperasinya suatu sistem atau fasilitas) atau hampir sepertiga dari target. Sisanya akan dirampungkan selama 2026-2028. Intinya, megaproyek tersebut baru akan selesai dua tahun sebelum negeri ini mulai "memensiunkan" pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara pada 2030.

Megaproyek itu digeber dengan asumsi ekonomi bakal tumbuh 7-8 persen per tahun dan pertumbuhan listrik 1,2 kalinya. Kenyataannya jauh panggang dari api. Bahkan, jauh sebelum pandemi Covid-19 menerjang, pertumbuhan ekonomi di Tanah Air paling jauh cuma 5 persen. Dalam tiga kuartal 2020-2021, negeri kita bahkan jatuh ke dalam resesi dan baru siuman lagi pada kuartal kedua 2021.

Megaproyek 35 ribu megawatt dibiayai uang PLN dengan utang hingga Rp 100 triliun per tahun. Akibatnya, proyek ini membebani PLN karena bikin utangnya menumpuk hingga Rp 500 triliun.

Sebulan sebelum pandemi Covid-19 melanda, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan pertumbuhan listrik cuma 4,5 persen, jauh dari proyeksi sekitar 6,9 persen setahun. Kini, PLN kelebihan setrum 7.000 megawatt, tapi daya beli masyarakat turun dan ekonomi tidak meroket seperti yang diharapkan.

Dalam keadaan normal, surplus listrik merupakan anugerah, prasyarat untuk membangun dan menggerakkan ekonomi. Tapi, saat roda ekonomi tidak berputar kencang, surplus listrik justru menerbitkan dilema. Mau dikemanakan surplus listrik itu? Bagaimana kelanjutan megaproyek listrik 35 ribu megawatt? Lebih jauh lagi, jika negeri kita surplus listrik dari energi yang bersumber fosil, bagaimana dengan masa depan transisi ke energi ramah lingkungan atau energi hijau?

Energi Terbarukan

Tahun 2015 adalah momen penting bagi Indonesia dan dunia. Pada tahun itu, pemerintahan Jokowi mencanangkan megaproyek listrik 35 ribu megawatt. Pada tahun itu pula, 195 negara, termasuk Indonesia, menyepakati Perjanjian Paris, yang antara lain mengendalikan suhu agar tidak melompat di atas 1,5 derajat Celsius, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menetapkan target pengurangan emisinya secara berkala.

Pemerintah Indonesia memutuskan menjalankan transisi energi ke energi baru dan terbarukan dengan target mencapai bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Namun jalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca itu cukup terjal. Hingga 2021, bauran energi primer energi baru terbarukan cuma 11,7 persen, naik 0,5 persen dari bauran pada 2020.

Pemanfaatan energi terbarukan masih lambat. Hingga kini, baru 0,3 persen energi terbarukan yang berhasil dioptimalkan. Padahal potensinya besar, yaitu 3,68 juta megawatt, yang bersumber dari energi surya, air, bioenergi, panas bumi, dan gelombang laut. Yang terbesar berasal dari energi surya, yang menembus 3.295 gigawatt.

Penyediaan dan pemanfaatan energi berkelanjutan telah menjadi agenda internasional sejak 20 tahun silam. Surna Tjahja Djajadiningrat dan Sutanto Hardjolukito (2013) menjelaskan bahwa penyediaan dan pemanfaatan energi berkelanjutan dapat ditempuh dengan memadukan optimalisasi energi terbarukan, menggunakan teknologi yang efisien, dan membudayakan pola hidup hemat energi.

Masalahnya, harga energi terbarukan belum kompetitif dibanding harga energi berbasis fosil. Sebab, teknologi pengembangan energi terbarukan belum dikuasai sepenuhnya dan belum disokong kebijakan mengenai harga energi yang mendorong pengembangan energi terbarukan (Djajadiningrat dan Hardjolukito, 2013).

Arifin Panigoro (2015) pernah menyarankan Indonesia agar menoleh ke sumber daya non-fosil yang melimpah, yakni minyak sawit mentah (CPO). Saran Arifin itu kemudian dijalankan pemerintahan Jokowi melalui program B20, yakni pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam bahan bakar, pada 1 September 2018. Lalu dilanjutkan dengan B30 (30 persen biodiesel) pada 1 Januari 2020. Mulai akhir Juli 2022, program B35 (35 persen biodiesel) diluncurkan.

Jika Indonesia serius melakukan transisi ke energi terbarukan secara lebih signifikan, hal itu wajib ditunjang komitmen dan kemauan politik yang besar. Persis seperti Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dengan amat yakin mencanangkan megaproyek listrik 35 ribu megawatt.

Langkah "business as usual" ini belum cukup. Transisi ke energi hijau perlu ditopang dengan perencanaan yang terarah, mitigasi yang cespleng, dan konsistensi kebijakan serta pendanaan yang memadai dari dalam ataupun bantuan negara maju.

Perang di Ukraina

Keadaan lebih berat karena medan geopolitik berubah. Perang Rusia-Ukraina telah mengganggu pasokan energi dunia, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas. Jika pasokan minyak dari Rusia ke daratan Eropa disetop, harga minyak mentah dunia akan melambung lebih tinggi lagi. Hal itu punya konsekuensi langsung terhadap Indonesia sebagai importir minyak. Subsidi bahan bakar minyak bakal membengkak, dari Rp 170 triliun menjadi Rp 502 triliun.

Kemungkinan lainnya, Rusia mencari pasar baru non-tradisional untuk membeli minyaknya dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Indonesia bisa saja menangkap peluang ini, seperti yang telah dilakukan India.

Indonesia juga mendapat durian runtuh dengan melonjaknya harga batu bara, yang belakangan nyaris menembus US$ 400 per metrik ton. Pada 2021 saja, negeri kita mengekspor 435 juta metrik ton batu bara.

Tapi, lagi-lagi ada dilema di sini. Negeri kita berada di persimpangan jalan dalam upaya transisi ke energi hijau. Godaan untuk terus bergantung pada energi fosil ternyata tetap menggelayuti. Itulah pragmatisme yang kontraproduktif terhadap ikhtiar kita untuk lebih banyak memanfaatkan energi yang ramah lingkungan secara signifikan.

Presidensi Indonesia dalam perhelatan G20 tahun ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggalang percepatan transisi ke energi hijau. Terlebih jika Indonesia sanggup meyakinkan anggota G20 untuk menurunkan subsidi energi fosil yang menembus US$ 3,3 triliun sejak Perjanjian Paris 2015. Betapapun sulitnya, pengembangan energi hijau bukan mustahil. Setiap negara perlu berikhtiar untuk memenuhi komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca. Perjanjian Paris dan kesepakatan dalam KTT Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada 2021 haruslah diwujudkan dalam aksi-aksi yang konkret.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moh. Samsul Arifin

Moh. Samsul Arifin

Pemerhati energi bersih

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus