Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peringkat Indonesia dalam indeks negara hukum semakin terpuruk tahun ini.
Sejumlah undang-undang dihasilkan dari proses legislasi yang menyimpang dari ketentuan.
Penegakan hukum oleh kepolisian belum memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum.
Adam Setiawan
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dan dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan indeks negara hukum yang dirilis oleh World Justice Project (WJP) pada 2021, Indonesia menempati peringkat ke-68 di dunia. Ada penurunan peringkat jika dibanding pada 2020, ketika Indonesia menempati peringkat ke-59. Jika dibanding negara Asia Tenggara lain, Indonesia berada jauh di bawah Singapura, yang menempati peringkat ke-17 dan Malaysia di peringkat ke-54.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan secara serius mengenai kondisi hukum di Indonesia sepanjang tahun ini. Pertama, proses legislasi yang tidak sesuai dengan aturan main. Ada beberapa produk undang-undang yang dihasilkan dari proses legislasi yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan bahkan mendapat penolakan dari masyarakat sehingga patut dipertanyakan legitimasinya. Legislasi itu, antara lain, adalah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang terakhir itu telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, tapi masih tetap berlaku. Kendati ada ambiguitas dalam putusan Mahkamah, tapi putusan itu perlu diapresiasi dan ini untuk pertama kalinya Mahkamah menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap uji formal suatu undang-undang.
Kinerja para pembentuk undang-undang belakangan ini patut dikritik karena sering kali alpa untuk membuka ruang bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Mahfud Md. (2017) membuat dikotomi karakter produk hukum, yaitu produk hukum responsif dan konservatif. Secara sederhana, produk hukum yang responsif memberikan peranan besar dan partisipasi penuh bagi seluruh elemen masyarakat. Sebaliknya, produk konservatif bersifat eksklusif serta mengabaikan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Beberapa produk undang-undang yang diterbitkan belakangan ini cenderung berkarakter konservatif karena tidak memberikan ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu berbenah dan taat pada prosedur legislasi yang telah ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan serta mengingat pula ada undang-undang yang ternyata secara formal dinyatakan inkonstitusional.
Kedua, terjadinya inkonsistensi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Menurunnya akselerasi lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi berimbas pada menurunnya tingkat kepercayaan publik. Hal ini sesuai dengan hasil survei Indikator yang menunjukkan kepercayaan publik terhadap KPK menurun pada tahun ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti belum tertangkapnya buron Harun Masiku dan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus Samsul Nursalim, tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Ada pula vonis pengadilan terhadap mantan Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, dalam kasus korupsi bantuan sosial Covid-19. Juliari dihukum 12 tahun penjara, yang dinilai oleh sebagian pihak terlalu ringan. Meskipun, dalam hal ini, KPK tidak dapat disalahkan karena keputusan akhir sepenuhnya ditentukan oleh hakim.
Ketiga, penegakan hukum oleh Kepolisian RI belum memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Kinerja polisi justru dinilai rendah, antara lain dengan munculnya tagar #PercumaLaporPolisi sebagai respons atas beberapa kasus penolakan polisi atas laporan sejumlah korban. Tagar itu juga muncul dari tidak jelasnya proses hukum di kepolisian, misalnya dalam penanganan kasus pemerkosaan terhadap tiga anak perempuan yang dilakukan oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Secara formal, kasus ini dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
Kinerja kepolisian semakin dipertanyakan ketika ada satu kasus yang cukup menyita perhatian publik, yakni seorang istri yang dituntut di pengadilan karena memarahi suaminya yang suka mabuk-mabukan dengan dasar kekerasan dalam rumah tangga secara psikis. Seharusnya, sejak tingkat penyelidikan, polisi bisa menilai secara obyektif dan tidak hanya mengedepankan aspek legal formal an sich serta mengabaikan keadilan substantif. Setelah kasus ini merebak dan menimbulkan kegaduhan, akhirnya sang istri diputus bebas sehingga muncul narasi dan stigma "viral dulu di media sosial, baru lakukan penindakan". Kepolisian RI hendaknya segera berbenah dan melakukan evaluasi internal.
Sebenarnya masih banyak catatan yang perlu dikemukakan, seperti rencana mengamendemen UUD 1945 hingga tidak dibahasnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam rapat paripurna DPR. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Kita berharap pemerintah dapat berfokus dalam menangani isu-isu hukum ini untuk memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum terhadap masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo