Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Pemilu Presiden

Ke depan, Undang-Undang tentang Pemilu ini yang perlu dievaluasi agar tak mudah diubrak-abrik oleh MK.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemilu Presiden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu tahapan sudah dilalui dalam Pemilihan Umum 2024, khususnya pemilihan presiden (pilpres), yakni pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tinggal Prabowo dan pasangannya yang tak mau grasa-grusu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. (masih mencari akronim yang pas) sudah cawe-cawe tentang visinya. Mahfud Md., misalnya, berbicara tentang masalah penegakan hukum yang lemah. Padahal dia menteri koordinator yang mengurusi masalah hukum. Dia menyebutkan, kalau hukum tegak, separuh masalah negara sudah selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari mana harus mulai membenahi masalah hukum? Jangan-jangan mulai dari bagaimana kita mendapatkan para pemimpin. Baik pemimpin yang duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang akan membuat aturan hukum dan perundangan maupun eksekutif yang menjalankan produk hukum dan aturan perundangan itu. Mereka dipilih lewat pemilihan umum. Jadi aturan pemilunya yang diperkuat, yang tidak mudah diganti-ganti hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu.

Selama ini KPU membagi tiga kategori pemilihan umum. Ada yang disebut pileg, akronim dari pemilu legislatif; lainnya pilpres, akronim dari pemilu presiden; dan pilkada, akronim dari pemilu kepala daerah. Pileg memilih anggota DPR, DPRD, dan Dewan Perwakilan Daerah. Pilpres memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Lalu pilkada memilih bupati/wali kota dan gubernur. Sistem pemilihan inilah yang sering berubah-ubah, dan perubahan itu justru dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas nama uji materi berkaitan dengan konstitusi. Bisa jadi undang-undang itu memang lemah dan terbuka peluang untuk diubah. Atau hakim MK kebablasan mengerjakan sesuatu yang bukan wewenangnya.

Pemilu sampai 2014 dilaksanakan terpisah antara pileg dan pilpres. Partai bertanding dulu dalam pileg untuk mengetahui berapa jumlah suara dan kursi yang didapat. Setelah kursi yang diperoleh itu sah, pilpres baru dilangsungkan. Presidential threshold diberlakukan. Partai yang jumlah suaranya tidak memenuhi syarat bergabung membentuk koalisi. Jadi pengusung capres/cawapres itu didasarkan pada suara nyata dari hasil pileg sebelumnya.

Pileg 2014 dilangsungkan pada 9 April 2014 dan pilpres berlangsung pada 9 Juli 2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangi pilpres mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. 

Sistem Pemilu 2019 diganti. Itu gara-gara MK mengabulkan gugatan yang meminta agar pileg digabung dengan pilpres. MK membatalkan pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg. Pemilu harus serentak, dan itu dilangsungkan pada 17 April 2019. Karena pemilunya serentak, kursi mana yang dijadikan acuan untuk presidential threshold? Maka diambillah kursi berdasarkan pileg lima tahun sebelumnya. Dan itu kita warisi pada Pemilu 2024.

Dengan cara seperti ini, bisa jadi kita mendapat presiden yang dukungan di parlemennya tidak nyata. Sebab, terbuka peluang perubahan kursi. Lalu tawar-menawar jatah menteri pun terjadi. Bahwa pileg dan pilpres, jika dipisah, makan ongkos lebih besar, tentu benar. Tapi kan bisa pilpres diserentakkan dengan pilkada.

Ke depan, Undang-Undang tentang Pemilu inilah yang perlu dievaluasi agar tak mudah diubrak-abrik oleh MK. Sekalian menyikapi perubahan syarat usia capres dan cawapres setelah MK memutuskan ada penambahan klausa yang berbunyi “pernah/sedang menjadi kepala daerah”. Diperjelas, apakah yang dimaksudkan kepala daerah itu sampai di level bupati/wali kota atau cuma gubernur? Syarat baru MK itu disetujui oleh lima hakim, sedangkan empat hakim menolak. Tapi bukankah dari lima hakim yang setuju itu, dua hakim hanya setuju terbatas pada level gubernur?

Siapa pun yang terpilih menjadi presiden nanti, urusan memperkuat hukum harus jadi prioritas. Bisa dimulai dari membenahi Undang-Undang tentang Pemilu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema. Tinggal di Bali

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus