Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Putusan MK mengenai syarat usia calon presiden membuka jalan bagi kaum muda lebih berkiprah di ranah politik.
Putusan itu dinilai hanya untuk kepentingan sesaat dan pihak-pihak tertentu.
Partai politik harus mengkader anak muda agar siap memimpin negeri ini.
Mouliza Donna Sweinstani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya figur-figur muda dalam politik Indonesia belakangan ini menunjukkan bahwa lanskap politik saat ini telah cukup inklusif bagi kehadiran tokoh muda. Bahkan, tanpa adanya partisipasi bermakna dari anak muda, demokrasi hanya menjadi suatu ritual pemilihan politik semata. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon presiden membuka lebar kemungkinan itu.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan lima kepala daerah telah menggugat syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu. Mereka mengajukan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden.
PSI mengajukan permohonan agar usia minimal calon presiden dan wakil presiden diturunkan, dari semula 40 tahun menjadi 35 tahun. Beberapa pihak lain juga turut mengajukan permohonan untuk hal yang sama. Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengubah batas minimal usia calon menjadi 21 tahun, 25 tahun, 30 tahun, 35 tahun, hingga 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Memang tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa anak muda dilarang menjadi pemimpin negara. Bahkan, permohonan tersebut secara substansial dapat memberikan kesempatan kepada kelompok muda untuk bisa berpartisipasi dalam dunia politik.
Kaum Muda
Sebagai suatu kelompok usia yang kental dengan ciri idealisnya, keberadaan pemuda di suatu negara dapat menjadi ujung tombak setiap perjuangan suatu bangsa, tak terkecuali bagi Indonesia. Generasi muda bahkan dapat disebut sebagai agen perubahan (agent of change) karena setiap tindak tanduk positifnya, baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok, dapat membawa perubahan yang mendasar bagi sebuah bangsa dan negara.
Dalam sejarah Indonesia, setiap jejak perjuangan bangsa ini memang tidak dapat lepas dari partisipasi para pemuda. Di era kolonial, peran pemuda, melalui momentum Sumpah Pemuda 1928, dapat disebut sebagai penanda munculnya kesadaran dan pemikiran kebangsaan bangsa Indonesia. Di era kemerdekaan, idealisme dan semangat yang tinggi dari kaum muda pula yang pada akhirnya mampu mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, gerakan pemuda berubah menjadi gerakan nasionalis yang sekaligus berperan sebagai kontrol bagi pemerintah.
Pada era reformasi, pemuda bergerak dan berjuang melawan otoritarianisme dan mendorong proses demokratisasi untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Sekarang, setelah reformasi, liberalisasi politik memungkinkan setiap warga negara dapat berpartisipasi politik aktif, baik melalui saluran politik formal maupun nonformal, yang berhasil ditangkap oleh golongan milenial dan generasi Z sebagai ajang ekspresi mereka.
Secara global terdapat dua pendapat tentang partisipasi kelompok muda. Pertama, pemuda dianggap apolitis dan menjadi penyebab dari krisis demokrasi (Bessant, 2004; Collin, 2015; Furlong and Cartmel (2007) dalam Longstaff, 2001) karena mereka menganggap politik itu kotor, toxic, memerlukan biaya tinggi, hingga dianggap sulit memberikan ruang gerak bagi karakter pemuda (Shames, 2017; Sweinstani & Idris, 2019). Kedua, pemuda justru dianggap sebagai motor penggerak bentuk-bentuk politik baru yang canggih, terutama untuk beberapa hal yang berhubungan dengan penggunaan teknologi dalam politik (Coleman, 1999; Coleman, 2006).
Meskipun demikian, satu dekade setelah reformasi, geliat partisipasi kelompok muda yang kerap disebut sebagai generasi milenial/generasi Y, yang lahir pada 1981-1994, dan awal generasi Z (Codrington & Grant-Marshall, 2011), yang setidaknya lahir pada 1995-2002, mulai terlihat. Pada Pemilihan Umum 2014, dari total 6.397 calon legislator, hanya ada 414 calon legislator (6,4 persen) yang berusia muda (21-30 tahun) (BPS, 2014). Hasil pemilu menunjukkan bahwa, dari total 560 anggota DPR periode 2014-2019, hanya sekitar 4 persen atau 24 orang yang berusia kurang dari 30 tahun (Irdiana et al., 2021).
Pada Pemilu 2019, terjadi peningkatan jumlah calon legislator muda DPR yang signifikan. Jumlah calon legislator berusia muda (21-30 tahun) sebesar 878 orang. Dari jumlah tersebut, calon termuda, yang berusia 21 tahun, mencapai sekitar 11 persen dari total 7.968 calon. Ratusan calon legislator muda itu tersebar di semua partai.
Calon legislator muda diproyeksikan masih akan mewarnai Pemilu 2024 mendatang. Bahkan, bisa jadi jumlahnya lebih besar dibanding pemilu sebelumnya, mengingat kampanye untuk “memudakan” politik semakin santer terdengar dengan adanya lesson learned dari Move Forward Party, partai politik anak muda Thailand yang berhasil memenangi pemilu terakhir di Negeri Gajah Putih.
Kepentingan Siapa
Perubahan batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden akan memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk maju ke kontestasi politik dan membuat demokrasi Indonesia diharapkan menjadi lebih baik. Terhadap berbagai permohonan dari PSI dan pihak lain, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa syarat usia calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun, sebagaimana disebut dalam salah satu pasal dalam Undang-Undang Pemilu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah kemudian menyatakan bahwa pasal itu selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah". Dengan kata lain, orang yang belum berusia 40 tahun pun sudah bisa menjadi calon sesuai dengan ketentuan tersebut.
Putusan MK itu kemudian menjadi polemik karena keluar pada masa injury time pencalonan presiden dan wakil presiden. Isu ini digulirkan seolah-olah serba terburu-buru, mengejar waktu sebelum tahapan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dimulai. Jika memang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada kelompok muda untuk dapat mengambil posisi-posisi strategis di kursi penyelenggara negara, semestinya aturan ini diatur oleh pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, dengan saksama dan penuh dengan pertimbangan dari segala aspek.
Keputusan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden perlu dirumuskan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Artinya, hal ini jangan sampai hanya ditujukan untuk kepentingan praktis sesaat. Bilamana memang diperlukan pembahasan mengenai syarat usia, sudah semestinya aturan yang telah direncanakan secara komprehensif ini ditujukan untuk pergelaran pemilihan umum selanjutnya, yakni Pemilu 2029.
Kaderisasi Partai
Putusan MK itu menimbulkan beragam respons cepat dari berbagai kelompok. Ada yang bersorak karena kepentingan dan aspirasinya terakomodasi, tapi ada pula yang menayangkannya. Banyak pakar menyatakan bahwa keputusan mengenai syarat usia itu adalah ranah pembuat undang-undang. Yang jelas, pekerjaan rumah setelah keluarnya putusan MK ini adalah bagaimana pemerintah mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan Komisi Pemilihan Umum menerbitkan peraturan baru.
Apakah putusan MK ini, untuk kepentingan jangka panjang, menjamin partisipasi kaum muda, yang tidak hanya terbatas pada pihak-pihak dengan keistimewaan tertentu, dapat terakomodasi? Tentu tidak serta-merta demikian. Menghadirkan politikus muda yang mumpuni untuk berkiprah memimpin negeri ini perlu tempaan yang serius dari partai politik.
Partai politik harus serius menjadi gerbang pertama dan utama lahirnya politikus muda yang siap memimpin negeri ini. Artinya, partai harus terlatih dalam menjalankan sistem merit (berbasis kompetensi) dan terlepas dari oligarki serta personifikasi politik agar dapat mencetak kader-kader muda yang potensial. Selanjutnya, partai juga perlu memberi mereka kesempatan yang sama untuk muncul.
Apabila demokrasi internal partai masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, putusan MK ini sebetulnya tidak bermakna signifikan. Pasalnya, putusan itu bisa saja mengkonfirmasi beragam pendapat bahwa putusan tersebut mengarah pada kepentingan politik praktis tertentu dan bersifat sesaat.
Karena itu, bila putusan MK ini tidak dibarengi dengan komitmen jangka panjang partai politik untuk melahirkan kader-kader muda berkualitas, kemunculan figur muda tak ubahnya sebuah upaya melanggengkan politik familisme, yakni perluasan keluarga sebagai lembaga, ideologi, ikatan, praktik-praktik, dan hubungan sosial dalam lembaga publik (negara) oleh individu guna memenuhi tuntutan (kepentingan pribadi) mereka, maupun oleh aparatur publik (termasuk partai politik) untuk memobilisasi sumber daya di ranah tata kelola lembaga publik guna memelihara keistimewaan yang mereka miliki (Joseph, 2011).
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected].id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo