Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus Teddy Minahasa harus menjadi momentum pembenahan total Kepolisian RI.
Presiden Joko Widodo harus memimpin langsung pembenahan Kepolisian.
Pemilihan pejabat di Kepolisian tak menggambarkan meritokrasi, tapi kedekatan.
POLISI menjual narkotik barang bukti kejahatan susah dicerna akal sehat. Apalagi perbuatan kriminal itu ditengarai melibatkan perwira tinggi, yakni Inspektur Jenderal Teddy Minahasa. Tak ada pilihan, pemerintah Presiden Joko Widodo harus segera membersihkan tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, reformasi Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah kepolisian yang terus tercoreng aneka skandal tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Presiden Jokowi, kepala pemerintahan atasan Kepala Polri. Karena itu, Presiden perlu memimpin langsung reformasi lembaga tersebut. Persoalan besar bertubi-tubi jelas tidak bisa diselesaikan kepolisian secara internal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi selama ini terkesan lepas tangan dalam masalah-masalah besar di lembaga itu. Sejumlah momentum pembenahan yang seharusnya dilakukan setelah meledak berbagai skandal dan peristiwa pun berlalu begitu saja. Antara lain, pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, yang melibatkan 97 anggota Kepolisian dalam upaya mengaburkan kejahatan itu.
Begitu juga tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 134 orang pada 1 Oktober 2022. Alih-alih meminta polisi bertanggung jawab, Jokowi malah menyoroti kualitas stadion sebagai penyebab tragedi. Walhasil, solusinya membangun stadion lebih megah.
Setelah dua peristiwa itu, Jokowi memang memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo serta semua kepala kepolisian daerah ke Istana Negara. Namun, Presiden hanya berpidato normatif—meski juga menyoroti gaya hidup personel kepolisian yang terkesan berlebihan.
Momentum pembenahan kepolisian itu datang lagi. Wajah lembaga tersebut kembali tercoreng ketika tim Provos Markas Besar Polri menangkap Teddy Minahasa. Jenderal bintang dua itu baru empat hari ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, menggantikan Inspektur Jenderal Nico Afinta yang dicopot seusai tragedi Kanjuruhan.
Ketika menduduki jabatan sebelumnya sebagai Kepala Polda Sumatera Barat, Teddy diduga memerintahkan anak buahnya menjual 5 kilogram sabu-sabu barang bukti. Kejahatan ini dibongkar kolega Teddy di kepolisian. Tim Polda Metropolitan Jakarta Raya menangkap jaringan pengedarnya pada hari ketika Teddy diumumkan sebagai Kapolda Jawa Timur.
Terbongkarnya kejahatan—terlepas dari spekulasi adanya “perang bintang” di kepolisian—sekaligus memperlihatkan penunjukan pejabat tidak mengedepankan kepatutan. Atasan Teddy semestinya melihat laporan kekayaannya pada Maret 2022 yang mencantumkan nilai Rp 29,9 miliar. Angka itu tidak sesuai dengan profil pendapatan formalnya.
Mutasi dan promosi di Kepolisian selama ini memang amat tertutup sehingga faktor kedekatan dan loyalitas kerap menentukan. Ini yang menimbulkan friksi internal, intrik, dan klik, sehingga memunculkan “jalur tikus” mutasi dan promosi di Polri. Ketika ada yang naik jabatan, segera ia menarik kelompok dan lingkaran dekatnya.
Sistem pengisian jabatan di Kepolisian memang bermasalah sejak dari atas, ketika Presiden Jokowi memilih Kapolri. Mengabaikan rapor, prestasi, dan rekam jejak, Jokowi memilih Jenderal Listyo Sigit karena kedekatan dan kepentingan politik. Sigit adalah bekas ajudan Presiden Jokowi. Ia menjadi Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta ketika Jokowi memimpin kota itu.
Presiden Jokowi juga mesti mengubah cara pandangnya terhadap polisi. Dia beberapa kali memberikan tugas—bahkan disertai ancaman—yang bukan tanggung jawab dan kewenangan mereka. Misalnya, awal Desember 2021, Jokowi mengancam akan mencopot kepala kepolisian daerah yang tidak bisa menjaga investasi. Agar Presiden senang dan tak dicopot, pada akhirnya kepala Polda tak ubahnya “centeng” investor.
Kunci reformasi Polri ada di pundak Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi. Ia bisa membentuk tim reformasi independen untuk mengubah wajah Korps Tribrata. Tim itu harus diisi orang-orang profesional yang tak memiliki kedekatan dengan Kepolisian dan para petingginya. Masih ada waktu bagi Jokowi untuk meninggalkan warisan baik bagi institusi kepolisian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo