Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rekonsiliasi Jangan Basa-basi

Simposium mengenai tragedi 1965 digelar. Jika negara tak siap meminta maaf, lupakan saja rekonsiliasi.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Rekonsiliasi Jangan Basa-basi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965" merupakan langkah penting dalam perjalanan bangsa. Sebuah ikhtiar yang hendak menyembuhkan luka. Tapi upaya ini tidak bisa dilakukan setengah hati.

Jempol layak kita acungkan kepada Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, penggerak simposium yang digelar pekan lalu itu. Ini pertama kali pemerintah mempertemukan sejumlah pihak yang berkaitan dengan tragedi 1965. Berbagai kubu yang berseberangan hadir. Penyintas, keluarga korban, akademikus, aktivis, juga tentara yang mendaki karier sejak awal Orde Baru berada di satu ruangan. Begitu banyak orang berebut bersuara, menumpahkan gundah yang terpendam lebih dari setengah abad.

Simposium ini memang belum ideal. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan membuka dengan pernyataan aneh. "Minta maaf kepada siapa? Korban mana? Tak ada pikiran bahwa pemerintah akan ke sana-kemari minta maaf. Tak ada." Ucapan ini menerbitkan pertanyaan: jika negara tak mau mengakui dan meminta maaf atas perannya "mendorong" kekerasan massal 1965, lantas mengapa pula ada gagasan rekonsiliasi? Bukankah langkah awal rekonsiliasi adalah mengakui kesalahan?

Beberapa pembicara dalam simposium juga terkesan mereduksi skala tragedi, dengan menyebut kejadian 1965-1966 adalah konflik horizontal. Pandangan ini dibantah dengan bagus oleh sosiolog Ariel Heryanto. Perjalanan sejarah membuktikan selalu ada campur tangan negara dalam kekerasan yang begitu masif di berbagai penjuru negeri. Ratusan ribu orang dibunuh dan puluhan ribu orang dipenjarakan belasan tahun tanpa pengadilan.

Konflik horizontal dan vertikal bukan sekadar istilah, masing-masing punya konsekuensi berbeda. Konflik yang berkobar di kalangan masyarakat berlangsung sporadis, acak, dengan korban nyawa mungkin puluhan atau beberapa ratus orang. Namun, pada 1965-1967, ada mobilisasi kekerasan sehingga jatuh korban ratusan ribu dalam waktu singkat. Ada pelatihan, pembagian senjata, juga pengerahan logistik. Bahkan, setelah para tahanan pulang dari Pulau Buru, Presiden Soeharto masih melestarikan kekerasan dengan menerbitkan peraturan "bersih lingkungan", 1981. Maka berlanjutlah pengucilan bagi mereka yang terlibat PKI, yang dituduh PKI, juga keluarganya.

Rekonsiliasi memang tak bisa hanya berdasarkan saling-silang komentar, tapi harus berangkat dari fakta. Menteri Luhut pun menantang disodorkan data yang membuktikan peran negara dalam tragedi 1965. Sebetulnya ini tantangan yang tak sulit. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada 2009-2012, telah menginvestigasi kasus ini di seluruh negeri. Testimoni korban dan pelaku serta penelusuran kuburan massal menguatkan adanya mobilisasi kekerasan massal dan pelanggaran berat hak asasi manusia pada 1965 dan meluas hingga awal 1970.

Simposium ini memang bukan garis finish. Ini baru langkah awal. Jika sungguh-sungguh ingin menyembuhkan luka, negara perlu meminta maaf atas perannya di masa lalu. Perlu upaya pula mengungkap kebenaran dalam berbagai bentuk. Rehabilitasi nama orang-orang, terutama yang difitnah dan dijebloskan ke Pulau Buru tanpa pengadilan, adalah keharusan.

Jika pemerintah tak siap, atau tak punya nyali mengakui peran negara dalam tragedi 1965, sebaiknya lupakan saja gagasan rekonsiliasi. Tanpa pengakuan dan permintaan maaf, rekonsiliasi hanya akan jadi basa-basi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus